C. Rita Anggun Susilawati, S.Pd
SMA PL St. Yosef Surakarta
Hang karena Prank
16 tahun yang lalu, saya mengambil pilihan menjadi seorang guru yang merupakan impian masa kecilku. Saya berpikir bahwa menjadi seorang guru sangat cocok dengan gaya dan passionku . Saya melihat sosok Ibuku yang selalu bisa meluangkan waktunya untuk mengajariku setelah beliau pulang kerumah, memasak dan bahkan masih bisa melayani anak- anak dan suaminya dengan sabar dan telaten. Terlihat sangat menyenangkan , berwibawa , dan luar biasa menginspirasi.
Perubahan zaman, dari conventional to digital dan dari generasi Y to Z, membuatku berpikir kembali apakah tepat pilihanku menjadi seorang guru? Banyak pola pikir yang harus kuubah dan sesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang membuatku kadang melemah adalah ketika melihat perubahan sikap dan karakter generasi muda jaman sekarang. Banyak dari Gen- z yang kurang memiliki kepekaan dan tata krama. Sering muncul pertanyaan besar dikepalaku kenapa peraturan sekolah tidak bisa kuat dalam mendisiplinkan peserta didik dan karakternya? Apa posisi sekolah dan guru benar- benar lemah? Tidak heran jika banyaknya kasus malpraktek dalam dunia Pendidikan semakin membuatku seakan terkena prank pada perkembangan pola Pendidikan sekarang. Sebut saja satu kasus yang terjadi di daerah Bengkulu Ketika seorang guru Bernama Zuharman (58) buta setelah matanya diketapel wali murid. ( https://www.tribunnews.com/regional/2023/08/03/nasib-guru-yang-tegur-siswa-merokok-matanya-diketapel-hingga-buta-kini-dilaporkan-balik .
Apa yang salah dengan Zuharman? Beliau hanya menegakkan kedisiplinan sekolah tantang aturan sekolah tentang merokok tetapi orang tua merasa tersinggung dan membela anaknya sampai beliau diketapel dan matanya buta. Dimanakah keadilan dalam dunia Pendidikan dimana yang benar jadi salah sedang yang salah jadi benar. Seharusnya kita belajar bahwa sekolah mestinya ambil peranan dalam pembentukan karakter anak dan seharusnya orang tua bisa bersinergi dengan baik sebagai bagian dalam komunitas pendidikan. Dalam dunia pendidikan, hubungan antara guru dan orang tua murid memiliki peran kunci dalam membentuk pengalaman belajar yang sukses dan memberikan dampak positif pada perkembangan anak-anak. Membangun kolaborasi yang kuat antara kedua pihak ini adalah penting. (https://guruinovatif.id/artikel/pentingnya-kerja-sama-guru-dan-orang-tua-dalam-pendidikan-manfaat-yang-tak-terbantahkan ).
Dalam kasus Zuharman diatas, guru kena mental health. Jika saya berada diposisi beliau pasti ada rasa sedih dan kecewa tentang bagaimana nasib Pendidikan saat ini. Bagaimana seorang guru bisa menjadi pendidik untuk mewujudkan profil murid yang humanis dan human being jika tidak saling mendukung dan seirama. Guru akan takut dan enggan untuk menertibkan dan mendidik jika sudah ada tekanan dari pihak luar untuk tidak terlampau keras dalam mendisiplinkan anak. Sebenarnya seorang guru sudah tahu batas dalam mengingatkan muridnya tetapi âbudi pekerti dan rasa tanggungjawabâ peserta didik ini kurang sehingga meski hanya diingatkan seakan seperti sudah menghakimi dan menyalahkan. Padahal kami guru hanya ingin meluruskan, memberi coaching dan menerapkan segitiga restitusi yang penting untuk menyadarkan peserta didik akan kesalahannya dan perbaikannya kedepan. Meskipun kami guru memberi kemerdekaan tetapi hendaknya tetap ada batasan dan norma yang tidak seharusnya dilanggar.
Tidak hanya itu saja, carut marutnya system PPDB zonasi juga membuat banyaknya ketidakjujuran dalam dunia Pendidikan. Tujuan mulianya untuk memeratakan Pendidikan tidak tercapai (hang ) karena kasus- kasus orang tua yang melegalkan segala cara demi menyekolahkan anaknya. Sejumlah orang tua mencoba mengakali sistem dengan memindahkan anaknya dan bahkan membuat Kartu Keluarga palsu demi memasukkan anaknya kesekolah tertentu. https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/07/16/kecurangan-zonasi-dalam-ppdb-menunjukkan-standar-pendidikan-belum-merata . Dimanakah prinsip kejujuran dan akuntabilitas dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kenapa kita sebagai orang tua tega membutakan hati Nurani demi memenuhi egoisme semata?
Merebaknya konten- konten yang tidak bertanggung jawab di medsos juga semakin memperparah kondisi dalam dunia Pendidikan. Tayangan TV yang bahkan membombardir gaya hidup remaja yang bebas, tanpa aturan dan budaya hedonisme membuat mereka lebih cepat menyerap informasi tanpa filter yang baik. Maka tidak heran jika banyak generasi muda yang boleh dibilang kurang peka dan kurang berattitude baik. Hal inilah yang membuat kami sebagai pendidik menjadi letih dan melemah. Semangat yang biasanya kami dengungkan untuk bisa menciptakan generasi yang beraklak mulia menjadi sulit karena derasnya arus globalisasi dan teknologi. Saya terkadang iri bagaimana di Jepang pola Pendidikan bisa berkembang dengan pesat tetapi tidak mengesampingkan attitude. Anak- anak di Jepang sejak dini sudah diajarkan kemandirian, penghormatan dan kejujuran. Belajar dari hal itu, sistem inilah yang membentuk Pendidikandi Jepang menjadi lebih maju. Sedangkan di Indonesia, kami jadi hang karena prank yang seringkali muncul Ketika kita mencoba menegakkan kedisiplinan. senantiasa kami coba terapkan di sekolah ada bagian yang seharusnya menjadi support system seperti orang tua atau masyarakat malah memperburuk dan bertentangan dengan peraturan yang ada. Ada model pembiaran dan bahkan penolakan peraturan karena dianggap kita sekolah atau guru terlalu lebay dalam menangani kasus pelangaran yang ada. Semisal sekolah kejuruan yang berada tepat dilingkungan sekolahku, setiap pagi saya melihat banyak anak laki- lakinya merokok diluar gerbang sekolah dan tidak ada teguran. Bagaimana saya sebagai guru dan sekaligus pendidik bisa teguh dalam prinsip jika Ketika kita mendengungkan tidak boleh merokok ternyata dilain tempat banyak anak- anak remaja yang melakukannya dijalan dengan berpakaian sekolah dengan bangga dan tidak ada rasa takut melanggar peraturan. Seringkali saya berpikir apakah saya yang kuno ataukah gaya hidup ini modern dan bebas ini sudah menjadi kewajaran? Satu hal yang saya yakini, saya benar karena memperjuangkan kebenaran dan Pendidikan.
Sebagai seorang guru, kadang muncul rasa tidak nyaman. Bagaimana bisa nyaman dan mengembangkan pembelajaran dengan baik jika lingkungan tumbuh kembangnya tidak bisa bersinergi? Tetapi yang saya Yakini seperti ketika petani menanam di benih anggur di semak belukar tentunya hasilnya tidak bisa maksimal dalam tumbuhnya pohon anggur karena tanah yang tidak subur. Oleh sebab itu, pendidikan memerlukan ekosistem yang baik yang bisa membuat peserta didik dapat tumbuh dengan optimal dan menjadi pibadi yang seutuhnya. Seperti kata Kihajar Dewantara, âPendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat .â Budaya positif dilingkungan sekolah hendaknya ditumbuh kembangkan dengan adanya kerjasama yang baik anatara peserta didik, guru, orang tua dan masyarakat. Supaya guru tidak jadi hang karena prank dalam dunia Pendidikan maka sewajarnya ada sinergi yang baik sehingga semangat guru dalam mencerdaskan dan mendidik karakter sehingga terwujud profil pelajar Pancasila. Jangan sampai guru hanya akan jadi robot dalam dunia Pendidikan yang disetel dan diarahkan sesuai dengan kemauan dan perkembangan zaman. Tetapi hendaknya guru mampu untuk memegang kendali sebagai bagian dari Pendidikan. Jangan biarkan guru melemah karena prank dalam majunya globalisasi Pendidikan. Kami tetap ingin bersinergi, berdinamika dan bergelut dengan remaja yang penuh dengan lautan cita dan asa. Sebagai seorang guru, saya masih meyakini bahwa impian menjadi seorang guru ini adalah pilihan yang tepat. Saya masih optimis jika ada semangat, komunikasi, keterbukaan dan kolaborasi pasti Pendidikan di Indonesia akan lebih maju. Guru bukan hanya simbol identitas sebuah pekerjaan tetapi guru adalah bentuk pengabdian untuk membawa kearah kebaikan dan human being.
Sekarang bagaimana solusi kita sebagai seorang guru agar tidak hang karena prank didalam dunia Pendidikan karena mental health seperti jauh dari stress dan tekanan pekerjaan akan membuat kenyamanan dalam proses pembelajaran. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan yakni:
1. Adanya Perlindungan hukum, perlindungan profesi serta keselamatan dan kesehatan kerja bagi Guru. Perlindungan guru yang dimaksud sebagaimana pada UU Guru dan Dosen. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen berbunyi: âprofesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip tersebut antara lain memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Perlindungan yang dimaksud adalah hak atas kekayaan intelektual; memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan .â Dengan adanya UU tersebut diharapkan guru tenang dalam melaksanakan tugas dan mampu bekerja dengan baik.
2. Adanya peningkatan kesejahteraan guru. Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 40 ayat (2) tercantum hak pendidik dan tenaga kependidikan dalam memperoleh: a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. Dengan peningkatan kesejahteraan kerja pastinya guru lebih nyaman dalam mengembangkan profesinya. https://jendela.kemdikbud.go.id/v2/fokus/detail/peraturan-tentang-perlindungan-guru-diatur-dalam-undang-undang-hingga-peraturan-menteri
3. Sosialisasi dan Seminar Pendidikan dan pembinaan Karakter anak khususnya Gen- Z dan oramg tua dalam membentengi dan menfilter derasnya arus globalisasi zaman. Disinilah peran Bimbingan Konseling dan Sekolah bisa memaksimalkan tugasnya untuk bersinergi dalam Pendidikan karakter anak dan orang tua. Sehingga orang tua juga lebih bijak dalam menghadapi generasi â Z dan bisa membuka diri dan pemikiran bahwa sekolah dan guru berusaha mengatur dan mendidik anak untuk bekal kedepan kelak.
Berikut Gambar 1, merupakan keterkaitan antara ketiga kompoen dalam rangka pembentukan karakter yang baik menurut Lickona Keterkaitan antara ketiga komponen moral dalam rangka pembentukan karakter yang baik menurut Lickona Posisi pendidikan sebagai pemberi masukan pengetahuan tentang moral dan kebaikan kepada peserta didiknya, jelas menjadi rujukan penting untuk pembentukan karakter siswa yang diharapkan. Dan salah satu program pendidikan yang disusun untuk itu adalah Bimbingan dan Konseling yang bertujuan untuk mendorong lahirnya peserta didik yang berperilaku baik. Siswa yang tumbuh dalam karakter yang baik, maka melakukan sesuatu dengan benar dan cenderung memiliki tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Battistich (2008) bahwa pendidikan karakter yang efektif akan ditemukan di sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting.
4. Peningkatan komunikasi dan koordinasi dengan peserta didik, orang tua dan masyarakat khususnya dalam sosialisasi peraturan Sekolah sebagai salah satu media yang berfungsi sebagai pembentukan karakter anak. Selain itu, Komite Sekolah juga sangat penting dalam melancarkan komunikasi dan mengawasi tindak kejahatan disekolah dan juga mensupport kesejahteraan guru lahir dan batin.
Keempat hal tadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia karena dengan kuatnya perlindungan hukum dan komunikasi akan membuat guru sebagai tenaga pengajar lebih nyaman dan terhindar dari Kesehatan mental yang buruk. Dengan suasanya kenyamanan maka semakin maju dan berkembangnya Pendidikan anak.
Penyunting: Putra