PANGGUNG “WHO AM I” : CARA EFEKTIF MENJAGA KESEHATAN MENTAL GURU
OLEH SOFIAN HADI, S.Pd., M.Pd.
GURU SMA NEGERI 9 CIREBON
Ditengah hiruk pikuk kehidupan kebangsaan Indonesia di Tahun 2023 ini, terselip kegelisahan saya sebagai seorang guru ketika mendengar salah satu bagian pidato kepala negara dalam peringatan hari guru nasional (HGN) Tahun 2023 dan HUT PGRI ke 78, Presiden Republik Indonesia seperti dikutip Kompasiana tanggal 25 November 2023 menyatakan bahwa tingkat stres para guru menduduki posisi tertinggi dari pekerja lainnya. Lebih lanjut Beliau merinci tiga hal penyebab tingkat stres yang tinggi tersebut diantaranya kenakalan siswa, perubahan kurikulum dan perubahan teknologi.
Pidato Presiden ini, bagi saya sebagai guru merupakan salah satu alarm yang mengingatkan kepada semua guru diseluruh pelosok negeri untuk senantiasa menjaga kesehatan fisik terlebih kesehatan mental yang terkadang selalu terabaikan. Guru dalam konteks pendidikan yang memerdekakan tetap saja memiliki peran yang vital dan strategis yang dapat membantu murid berkembang sesuai dengan kodratnya dengan satu catatan kesejahteraan guru (teacher wellbeing) terpenuhi dan guru tidak dihadapkan pada problematika kesehatan mental yang dapat mengacaukan proses pembelajaran didalam kelas.
Gejala terganggunya kesehatan mental nampak dari situasi yang kita jumpai dalam berbagai tindakan seperti guru memasuki ruang kelas dengan raut wajah yang tidak ceria dan cenderung marah tanpa alasan yang dapat dipahami murid sehingga menjadi contoh buruknya regulasi emosi guru sebagai orang dewasa didalam kelas serta guru gagal memanajemen kelas secara efektif sehingga murid tidak mampu menyerap materi pelajaran secara optimal. Gambaran tersebut mengingatkan kepada kita tentang pentingnya kesehatan mental bagi guru yang dapat berimplikasi bagi perkembangan psikologis dan prestasi murid.
Menurut American Psychological Association (APA) dikutip Chatman (2017), kesehatan mental merupakan perwujudan dari penyesuaian diri yang berhasil atau tidak adanya psikopatologi dan sebagai keadaan dimana seseorang tidak memiliki gangguan pada bidang psikologis, emosional, perilaku dan sosial. Menurut Prof. Dr. Niko Sudibjo, S.Psi., MA dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar di Universitas Pelita Harapan Tahun 2022 bahwa guru dengan kesehatan mental baik yaitu mereka yang memiliki karakteristik seperti kondisi tubuh yang sehat, memiliki kondisi psikis atau mental yang baik untuk mampu menikmati pekerjaan, mampu berelasi dengan rekan kerja dan peserta didik, serta mampu mengatasi tantangan pekerjaan sehari-hari secara baik.
Melalui hasil penelitiannya tersebut, Prof. Niko, mengemukakan dua komponen penting yang mempengaruhi kesehatan mental guru yaitu kebahagiaan ditempat kerja (happiness at work) dan persepsi dukungan organisasi (perceived organizational support). Merujuk pada hal tersebut, menurut hemat penulis, di perlukan sebuah terobosan yang dapat mendorong terwujudnya kebahagiaan guru dan murid dalam proses pembelajaran serta menumbuhkan keyakinan bagi guru, bahwa perannya disekolah sangat penting dan Ia dapat berkonstribusi mewujudkan pembelajaran yang berkualitas melalui upaya pembelajaran yang ditunjukkan dalam kelas sehingga mampu memelihara kesehatan mental tidak hanya bagi guru terlebih bagi murid yang merupakan subjek utama pembelajaran.
PANGGUNG “WHO AM I” DALAM PEMBELAJARAN
Terobosan dimaksud yaitu implementasi panggung “Who Am I” dalam pembelajaran sosial emosional (PSE) didalam kelas guna meminimalisir kenakalan murid yang seolah tidak pernah berhenti sehingga membuat guru frustasi serta berdampak pada kesehatan mental guru. Tanggung jawab pendidikan untuk membentuk karakter warga negara yang baik bukan hanya menjadi tanggung jawab mutlak sekolah, namun di butuhkan pula peran serta semua pihak, terutama keluarga untuk membimbing murid menjadi warga negara yang baik (to be good citizenship).
Pada kenyataannya banyak keluarga yang apatis terhadap perkembangan anaknya dan memilih menyerahkan sepenuhnya pada pendidikan di sekolah. Kondisi seperti itu menjadi kompleks ketika potensi kecerdasan peserta didik berada pada tingkat rata-rata atau bahkan berada pada level bawah, faktor keluarga dan lingkungan masyarakat tidak juga menjadi penguat dalam pembentukan karakter yang baik bagi murid melainkan menjadi faktor yang melemahkan, seperti keluarga tidak mampu memberikan ruang bagi anak-anaknya mengembangkan karakter baiknya karena masalah tekanan ekonomi yang berdampak pada keharmonisan keluarga serta faktor lingkungan yang kurang kondusif mengakibatkan murid tidak bersemangat dalam belajar, kecenderungannya menjadi rendah diri (inferiority complex) dan bahkan melakukan tindakan kenakalan (juvenile deliquency)
Menyikapi kondisi tersebut, pembelajaran diruang kelas harus mampu memelihara terwujudnya kesehatan mental guru dan murid dengan menggunakan pendekatan panggung Who Am I, yaitu penyedian ruang dan waktu bagi murid untuk dapat menunjukkan potensi berdasarkan kecerdasan majemuk (multiple intelegency) yang di milikinya di awal dan akhir pembelajaran.
Secara teknis guru menyusun jadwal per minggu bagi empat orang murid yang akan tampil yaitu dua diawal pembelajaran dan dua lainnya diakhir pembelajaran. Murid mempersiapkan tampilannya guna menunjukkan segenap potensi dirinya dapat berupa membaca puisi, menggambar, bermain musik, bernyanyi, monolog, ketrampilan praktis, stand up comedy dan lainnya. Masing-masing tampilan kurang lebih lima menit dan diakhiri dengan penghargaan bagi murid yang tampil dengan memberikan tepuk tangan (applause).
Pendekatan ini di harapkan dapat menstimulasi murid untuk berfikir kreatif menggali potensinya sehingga mereka menjadi lebih bersemangat dalam belajar karena eksistensinya dihargai oleh lingkungan dimana Ia berada, selain itu murid diharapkan menyadari bahwa kecerdasan bukan terletak pada intelegency quotient (IQ) semata, melainkan banyak kecerdasan lain yang dapat di kembangkan agar setiap murid termotivasi untuk berprestasi dan memiliki karakter kewarganegaraan yang baik.
Melalui implementasi panggung “Who Am I” dalam pembelajaran ini diharapkan terjalinnya hubungan yang erat antara guru dengan murid (Bounding). Peran guru tidak lagi terjebak pada relasi formal guru dengan murid sebagai pemberi ilmu dan penerima ilmu, melainkan membentuk suatu relasi baru dengan terbangunnya hubungan psikologis yang erat dimana murid merasa aman dan nyaman belajar, merasa dihargai keberadaanya, termotivasi sehingga dapat menekan kenakalan murid yang berdampak langsung pada terpeliharanya kesehatan mental guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik.
Penyunting: Putra