Tidak bisa dipungkiri, dalam dunia pendidikan, kesehatan mental guru dan murid adalah hal yang berkelindan. Karena kedua-duanya merupakan tolak-ukur maju atau mundurnya kualitas pendidikan bangsa Indonesia. Jika guru dan murid sehat mentalnya, maka bisa dipastikan pembelajaran di ruang-ruang kelas menjadi menyenangkan dan prestasi bisa mudah diraih dengan maksimal. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka bisa dipastikan pembelajaran antara guru dan murid cenderung monoton dan membosankan, sehingga murid tidak memiliki semangat dalam menciptakan kreativitas, inovasi, dan prestasi yang membanggakan di berbagai bidang.
Menurut data hasil riset penelitian Gaol (2021) menyebutkan bahwa ada 7 penyebab utama guru mengalami stres di lingkungan sekolah, yaitu; pertama, perliaku murid yang memiliki akhlak tidak baik sehingga guru pun mudah tersulut amarahnya; kedua, kepemimpinan atasan yang tidak adil (tidak sesuai harapan); ketiga, rekan kerja yang kurang mendukung dengan suasana kerja yang kondusif; keempat, ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan pendapatan yang diperoleh; kelima, lingkungan pekerjaan yang kurang nyaman; keenam, kebijakan pendidikan dari pemerintah yang sering berubah-ubah; dan ketujuh, tidak tersedianya fasilitas yang memadai untuk meningkatkan mutu kualitas satuan pendidikan dan lulusan.
Jika dianalisa secara kritis, ketujuh penyebab stresnya seorang guru tersebut adalah fakta yang terjadi hampir mayoritas guru pada satuan pendidikan di Indonesia. Namun yang perlu dicatat di artikel ini adalah bagaimana seharusnya solusi yang tepat untuk setidaknya meminimalisir—jika memang tidak bisa dihilangkan—rasa stres tersebut? Tentu banyak tawaran solusi yang bisa dihadirkan untuk mencegah stres akut tersebut. Dalam hemat penulis, setidaknya ada lima solusi yang bisa dilakukan oleh seorang guru agar kesehatan mentalnya senantiasa stabil dan semangat dalam menjalankan tugasnya sehari-hari sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yaitu sebagai berikut;
1. Meet time bersama keluarga tercinta
Tidak bisa dielakkan, hampir semua aktivitas sosok guru dalam keseharian di sekolah pastilah padat-merayap. Sebut contoh seperti; mulai dari menyiapkan administrasi perangkat kurikulum, menyiapkan media dan sumber ajar untuk murid, melakukan refleksi dengan murid, menyiapkan perangkat asesmen, hingga melaporkan hasil asesmen kepada manajemen sekolah dan wali murid. Tentu hal ini pastilah menguras tenaga dan pikiran mereka, sehingga tak jarang banyak guru mengalami stres akut atau burnout.
Maka, agar kesehatan mental seorang guru tetap terjaga dengan baik, maka seorang guru bisa mengambil waktu weekend untuk meet time (kumpul) bersama keluarga tercinta. Apapun bentuk kegiatannya. Bisa dengan berenang bersama anak, mengunjungi tempat wisata, olahraga bersama, atau sekedar bermain dengan anak meski tidak harus keluar rumah, dan lain sebagainya. Hal ini penting, karena waktu weekend atau hari libur kerja adalah waktu yang tepat untuk men-charge semangat seorang guru sebelum melanjutkan kembali aktivitasnya di sekolah. Selain itu, meet time dengan keluarga juga bisa meningkatkan keharmonisan hubungan keluarga antara suami, istri, dan anak-anaknya. Jangan sampai, seorang guru menghabiskan waktunya untuk bekerja terus-menerus hingga lalai dan tidak pernah punya waktu dengan keluarga karena kesibukannya, dan berujung pada beragam masalah pelik rumah tangga.
2. Mengetahui skala prioritas pekerjaan
Seorang guru yang cerdas pasti akan memprioritaskan dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang lebih urgen dahulu, dan mengakhirkan hal-hal yang bisa dikerjakan jangka panjang. Artinya, guru yang hebat adalah guru yang tahu apa kebutuhan pendidikan muridnya. Bukan sebaliknya, guru yang memaksakan kehendak dirinya untuk diterapkan kepada muridnya. Oleh karena itu, penerapan pembelajaran berdiferensiasi pada Kurikulum Merdeka yang berpusat pada peserta didik adalah solusi yang sudah tepat untuk pembelajaran generasi milenial saat ini. Bahwa ada diferensiasi proses, konten, dan produk itu adalah stimulus yang tepat untuk dapat membantu para peserta didik mencapai tujuan pembelajaran dan capaian pembelajarannya di setiap mata pelajaran.
3. Mencari bimbingan konseling
Seringkali guru hanya berpikir bahwa bimbingan konseling itu hanya diperuntukkan peserta didik di sekolah, padahal bimbingan konseling untuk kesehatan mental guru juga sangat penting. Guru bisa mencari bimbingan konseling untuk dirinya kepada psikolog atau psiakiater profesional yang terpercaya. Tujuannya adalah agar guru bisa mendapat bimbingan dan arahan bagaimana seorang guru bisa mengungkapkan seluruh perasaan hatinya, mampu mengelola emosi dan rasa saat sebelum berhadapan dengan murid, manajemen sekolah, maupun dengan wali murid saat beraktivitas kembali. Hal ini penting karena tidak semua guru memiliki perasaan emosi yang stabil saat menghadapi berbagai pihak tersebut. Bimbingan konseling ini bisa direncanakan sebulan sekali jika benar-benar mendesak dan libatkan semua warga sekolah untuk saling peduli sesama untuk kemajuan bersama.
4. Memiliki gaji yang menarik
Gaji menarik memang bukan satu-satunya faktor utama dalam menentukan sehat atau tidaknya seorang guru. Namun faktanya, gaji guru ternyata masih menjadi persoalan yang rumit dan pelik bagi guru-guru di Indonesia, apalagi bagi guru swasta honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun di sekolahnya. Bagaimana tidak merusak kesehatan mental guru, jika faktanya guru honorer saja masih digaji dengan nominal yang tidak manusiawi? Bagaimana tidak merusak psikologi guru, jika gaji guru saja masih simpang siur kejelasannya. Oleh karena itu, gaji menarik yang penulis maksud di sini adalah gaji guru yang sesuai dengan pangkat jabatan dan sesuai dengan tugas kinerjanya. Maksudnya, sebuah yayasan, lembaga tertentu, atau pemerintah tidak boleh menzalimi guru dengan membayarkan gaji atau upahnya yang tidak sesuai dengan jabatan atau kinerjanya, apalagi sampai tidak dicairkan.
Perlu dipahami bersama, bahwa status dan besaran gaji guru honorer dengan guru PNS/PPPK memang berbeda di Indonesia, namun aturan pemberian gaji (upah kerja) guru yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan masing-masing daerah tentu sudah ada. Nah, jangan sampai aturan yang sudah ada ini dilanggar hanya karena dana gaji guru dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan lain. Salah satu faktor utama stabilitas kesehatan mental guru adalah dengan menerima hak gaji yang layak dan menarik.
Pendek kata, gaji menjadi salah satu faktor utama bagi stabilitas kesehatan mental guru, karena dengan gaji guru yang semakin tinggi dan menarik, maka semangat guru untuk berkreativitas dan berinovasi melahirkan berbagai karya dalam pembelajaran tentu akan semakin menggeliat. Sebaliknya, guru dengan perolehan gaji yang semakin rendah maka kreativitas dan inovasinya cenderung monoton dan statis, sehingga pembelajaran di kelas pun menjadi membosankan dan menyebalkan.
5. Melibatkan murid untuk merefleksikan kinerja gurunya
Dalam kurikulum merdeka ini, ada momen di mana refleksi bersama baik dari guru kepada murid atau sebaliknya. Nah, di momen inilah kesempatan untuk saling memberi dan berbagi pendapat antara guru dan murid. Tujuannya tidak lain adalah agar keduanya bisa saling mengevaluasi dan saling memberikan pendapatnya setelah pembelajaran dilaksanakan. Pada bagian apa yang harus dipertahankan dan ditingkatkan, dan pada bagian apa yang harus diubah, diperbaiki, dan dikembangkan. Refleksi menjadi kata kunci penting yang harus dijalankan oleh para guru agar kesehatan mentalnya senantiasa stabil dan baik-baik saja.
Ada sebuah pepatah dari Ali ibn Abi Thalib, didiklah murid sesuai zamannya. Artinya, seorang guru tidak boleh memaksakan kehendak metode mengajar, prinsip mengajar, bahan atau sumber pembelajarannya di masa lalu dengan masa kini. Karena kebutuhan murid di masa lalu tidak sama dengan murid di masa kini. Kompetensi dan keterampilan murid masa lalu bisa jadi juga tidak sama dengan murid masa kini.
Seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi, guru era milineal saat ini dituntut harus bisa menyesuaikan diri, memahami, meresapi, dan mengimplementasikan kodrat alam dan kodrat zaman sebagaimana pernah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan lingkungan di mana peserta didik itu berada. Sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan kompetensi atau keterampilan yang akan diberikan kepada peserta didik agar mereka dapat hidup dan berkarya sesuai dengan perkembangan zaman.
Jika seorang guru masa kini bisa merefleksikan kompetensi dan kemampuan muridnya secara tepat dengan berbagai alat ukur, maka stress akut pada guru tidak akan terjadi. Salah satu faktor penyebab stress berlebihan pada guru muncul disebabkan kegagalan guru dalam mengukur dan merefleksikan kondisi muridnya.
#ArtikelYEF
Penyunting: Putra