Menjadi guru di Indonesia berarti harus siap menghadapi tekanan mental yang sangat serius. Bejibunnya administrasi, jam mengajar, kegiatan kepanitiaan, ditambah tingkah siswa generasi Z yang semakin tidak bermoral membuat guru kerap keteteran dan stres. Sialnya lagi, stres tidak memliki obat berbentuk pil pereda seribuan seperti Bodrex atau Inza, sekalipun ke psikolog profesional, biayanya bisa menghabiskan gaji dua bulan guru honorer. Untuk itu, para guru perlu mencari alternatif gratis nan hemat untuk meredakan mumetnya kepala. Salah satu alternatifnya adalah melakukan rihlah, tidak harus ke area wisata mahal, bisa juga sekedar mengamati ketabahan orang-orang kurang beruntung, atau sesederhana berjalan kaki mengelilingi sawah dan lembah.
Sebagai guru, suatu malam saya pernah berkendara untuk mencari tukang cukur, sembari memikirkan setumpuk masalah sekolah yang tidak kunjung usai. Tibalah di sebuah tempat cukur yang dimiliki seseorang yang usianya cukup tua. Ketika hendak masuk, dia menyampaikan bahwa besok, dia akan melakukan operasi, jadi harus beristirahat. Meski tidak jadi bercukur, saya tertegun saat memperhatikan Bapak tua itu menutup pintu. Ternyata, dia tidur di ruang tempatnya bekerja. Saya jadi menyadari bagaimana manusia harus tabah menjalani hidup. Maksud saya, setidaknya saya masih punya ruang-ruang lain meski masih di kos. Ada dapur untuk memasak, kamar kecil untuk mandi dan buang air, plus ruang kerja di sekolah dengan halaman luas. Tapi Bapak itu, dia tidur dan bekerja di ruang (kecil) yang sama. Mental saya membaik malam itu. Kadang, melihat ke bawah itu penting untuk merenungi pelajaran ketabahan.
Selain melihat kesabaran kaum duafa, instrumen penenang lain yang bisa dimanfaatkan guru adalah sawah. Kepenatan dan formalitas di arena kerja sesekali perlu direduksi dengan mengunjungi area hijau pedesaan. Saat bosan, saya dan kawan-kawan biasanya meluangkan waktu untuk mandi ke umbul, duduk di tepian kolam, setengah kaki masuk air, serta mata memandang padi berjejer melambai. Bisa juga mengelilingi sawah sembari memperhatikan petani yang selalu semangat bekerja, meski belum pasti harga jual ke depan, meski tidak ada gaji tetap bulanan, meski ada potensi gagal panen. Momentum semisal tadi bisa menjadi pemicu untuk kembali semangat untuk melayani para penuntut ilmu di madrasah.
Faktor vital yang juga harus dijaga guru untuk menunjang kesehatan mental adalah kebugaran raga. Untuk itu, para guru perlu menjadwalkan waktu berolahraga ringan seperti lari atau jalan cepat. Saya dan teman-teman pengajar lain biasanya mengunjungi lembah Taman Kearifan untuk berdiskusi, lari-lari kecil atau berjalan mengitari seluruh area lembah. Selain berolahraga, menghirup udara segar dari pohon-pohon besar taman juga perlu untuk menyegarkan paru. Sebanyak apa pun pekerjaan, bisa dieksekusi selama badan masih sehat. Jika tubuh sakit, semakin banyak pekerjaan yang tertunda dan menambah beban pikiran.
Menjadi guru tidak hanya membutuhkan kesabaran dan pita suara ekstra kuat, tapi juga kestabilan mental dan pengendalian emosi yang baik. Untuk itu, tiga hal di atas bisa menjadi jalan untuk mengontrol diri. Melihat ke bawah diperlukan agar para guru senantiasa bersyukur. Sedangkan menengok sawah membawa atmosfer kedamaian dalam pikiran yang berkecamuk memikirkan siswa. Terakhir, mengitari lembah tidak kalah pentingnya dalam rangka merawat raga. Sebanyak apa pun tugas dari sekolah, beserta tekanan mental di dalamnya, ia bisa dikerjakan dan dihadapi satu per satu dengan kondisi tubuh yang segar.
Penyunting: Putra