"Kesehatan mental bukanlah tujuan, tetapi sebuah proses. Ini tentang bagaimana Anda mengemudi, bukan kemana Anda pergi." – Noam Spencer, PhD
Siang selepas jam mengajar, masih ada dua guru yang belum pulang ke rumah. Ibu Bi sibuk membuat teh panas dan menyiapkan kue kering yang selalu tersedia di almari kantor Sedangkan Ibu Neng mencetak daftar nama siswa yang data kartu keluarganya belum terkumpul. Budaya kumpul sejenak pascamengajar sudah ada sejak lama, tetapi ya tidak pernah lengkap. Sudah menjadi rahasia umum jika para guru di desa dengan geografis kepulauan ‘berkompetisi’ pergi ke kota untuk berbagai keperluan.
Di kabupaten yang jarak antardesa terpisahkan oleh laut tentu saja cara tempuh yang tidak mudah juga waktu tempuh yang lama menjadi masalah utama. Akses pendidikan, kesehatan, juga pemerintahan terhambat dari berbagai sisi, termasuk pasokan bahan makanan. Itulah mengapa para pegawai berlomba-lomba untuk ke kota demi penghidupan.
Ibu Bi dan Ibu Neng berceloteh tentang kehadiran siswa yang setiap harinya tidak mengalami peningkatan. justru menurun ketika musim barat. Musim barat di Kepulauan Aru ini memang musimnya ‘mencari’ sebab kendala ombak dan angin tidak terlalu membahayakan. Seperti biasa, orang tua mengajak anaknya untuk berpindah ke rumah wakat1 yang jauh dari desa untuk menghimpun hasil laut, sumber kehidupan mereka. Hal ini tidak berlangsung dua atau tiga hari saja, melainkan dua sampai tiga bulan tanpa jeda.
Menurut data Bappenas tahun 2022 tentang Indeks Pembangunan Manusia, Kabupaten Kepulauan Aru masih berada jauh di bawah nilai rata-rata nasional, yaitu 64,21 dari skor nasional 72,92. Indeks Pembangunan Manusia merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas masyarakat dari segi pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Angka ini menunjukkan bagaimana kurang acuhnya masyarakat di sana terhadap peningkatan kualitas dirinya sebagai seorang manusia. Belum ada kerja sama yang saling mendukung untuk perkembangan sumber daya manusia di daerahnya sendiri.
“Beta pung air su habis ini, tapi hujan seng turun jua,2” keluh seorang guru yang tiba-tiba masuk dari muka kantor. Wajahnya cemas sebab air yang ia tampung dari kolam hutan dan hujan sudah menipis, bahkan katanya sudah habis. Bagaimana tidak cemas, manusia yang pada umumnya mandi dua kali sehari dan minum minimal dua liter air sehari harus mempertimbangkan berulang-ulang kali dalam mengambil keputusan menggunakan air. Keluhan ini menjadi keluhan wajib para guru saat musim kemarau tiba dengan cukup panjang. Sumber air memang sudah dekat, sayangnya hidup hanya satu bulan sekali. Kabarnya, permasalahan birokrasi tak kunjung memperlancar jalannya air.
“Nanti dong kasih bantu angkat air sudah. Dong paling semangat itu bajalan ta putar-putar pi kolam dari pada belajar!3” sambung Ibu Bi sembari menikmati teh panasnya.
Ada yang unik dari perayaan Hari Guru Nasional 2023, Bapak Jokowi dalam pidatonya memaparkan bahwa tingkat stress guru menduduki peringkat atas dari pada profesi-profesi lainnya. Hal ini sangat menarik untuk dibahas. Menurut Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi Volume 6 tentang Resiliensi Diri dan Stres Kerja pada Guru Sekolah Dasar, stress yang dihadapi oleh guru tidak hanya terjadi di sekolah, namun masalah yang memicu terjadinya stress pada guru juga ada pada lingkungan luar sekolah yang jauh lebih kompleks (Zarina, 2017). Ini artinya lingkungan kerja dalam lingkup yang lebih luas seperti masyarakat sekitar dan kondisi alam juga mempengaruhi kesehatan mental guru dalam mengerjakan tanggung jawabnya.
Kesehatan mental adalah aspek penting bagi kesejahteraan seseorang, sayangnya sering diabaikan dalam dunia profesi guru. Guru memegang peran penting pada pembentukan generasi masa depan. Apabila mental para guru tidak sehat maka banyak hal yang berkaitan dengan kualitas pembelajaran mengalami penurunan. Itulah mengapa, guru perlu memiliki resiliensi diri. Menurut Kuiper (dalam Zarina & Pratastiwi, 2017) resiliensi merupakan bagian dari psikologi positif, resiliensi akan mengarahkan individu untuk memaknai kembali kualitas hidup dan mengarahkannya pada gaya hidup yang sehat.
Keluhan demi keluhan yang dituturkan guru pelosok negeri, hendaknya juga menjadi renungan bersama para aktor pendidikan di Indonesia. Tentunya kita sepakat, jika aktor pendidikan tidak hanya berhenti di guru. Orang tua, kepala sekolah, pemangku kebijakan daerah, dan pemerhati pendidikan juga ikut andil dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh semua aktor pendidikan untuk menemukan jalan keluar permasalahan kesehatan mental seorang guru.
1. Kampanye Keseimbangan antara Hidup dan Kerja (promotes work-life balance)
Menerapkan keseimbangan dalam melakukan pekerjaan dengan kehidupan pribadi merupakan hal yang penting. Keseimbangan ini dapat menghilangkan rasa bosan seorang guru dalam bekerja tanpa mengabaikan tanggung jawab guru sebagai peran lain. Dengan keseimbangan yang baik, tujuan pembelajaran akan lebih efektif dicapai. Work- life balance dapat dijalankan dengan memasang batasan antara jam kerja dengan kebutuhan lainnya. Praktik pada guru daerah 3T, para guru dapat bekerja sama untuk membuat jadwal ke kota bergantian, dengan begitu sekolah bisa tetap aktif dan guru tetap memenuhi kebutuhannya.
2. Menerapkan Diferensiasi dalam Pembelajaran
Bagi guru, diferensiasi pembelajaran bukan suatu hal yang asing lagi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang dikembangkan untuk merespons kebutuhan belajar siswa yang berbeda-beda, meliputi kesiapan belajar, minat, potensi, atau gaya belajarnya. Pentingnya penerapan diferensiasi ini agar guru dapat merespons dengan baik sehingga pembelajaran dapat terancang secara kontekstual. Pembelajaran yang kontekstual akan membantu guru mengelola ekspektasi pada respons dan hasil belajar siswa.
3. Suportif dan Apresiatif Antar Aktor Pendidikan
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, aktor pendidikan tidak hanya guru. Dukungan dan apresiasi dibutuhkan guru agar para guru dapat merasakan bahwa perannya sangat penting bagi kemajuan bangsa. Dukungan dan apresiasi yang cukup dapat meningkatkan kepercayaan diri dan self care seorang guru yang sangat penting untuk kesehatan mental. Contoh praktik yang dapat dilakukan adalah orang tua dapat membantu guru menemani anaknya belajar di luar jam sekolah, juga menyemangati anak-anaknya untuk berangkat ke sekolah dengan rajin.
4. Menanamkan Pola Pikir Berkembang (growth mindset)
Kita semua adalah pembelajar sepanjang hayat, termasuk guru. Dengan berpikiran terbuka dan tidak menutup diri untuk memperbaiki hal-hal yang dapat dikontrol maka selalu ada jalan keluar dari sebuah masalah pendidikan. Memiliki growth mindset berarti cenderung melihat tantangan sebagai peluang, bukan hambatan. Guru akan aktif mencari cara untuk mengatasi kesulitan dan terus berinovasi dalam mengatasi masalah pendidikan.
Sekali lagi, langkah di atas tidak dikhususkan untuk guru tetapi juga para aktor pendidikan yang diharapkan lebih memperhatikan kesehatan mental para guru. Jangan lupa dengan guru-guru kita yang mengabdikan dirinya di pelosok Indonesia. Bukankah mereka masih menjadi bagian bangsa ini?
Catatan kaki:
- Rumah wakat : rumah nelayan yang akses dalam mencari hasil laut relatif lebih dekat
- Arti: air saya sudah habis, tapi hujan tidak segera turun
- Arti: nanti mereka bantu ambil air, mereka lebih semangat pergi ke kolam dari pada belajar.
Penyunting: Putra