Perkembangan zaman menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan. Salah satu yang sangat berpengaruh yaitu bidang pendidikan yang harus diakui kecanggihan teknologi menuntut digitalisasi pendidikan. Tentunya, guru sebagai fasilitator pendidikan diwajibkan untuk dapat beradaptasi dengan situasi teraktual.
Kondisi ideal tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan realitanya di kehidupan sehari-hari. Guru berpengalaman belum tentu siap dan melek teknologi. Guru millenials cenderung belum dapat memaksimalkan pembelajaran meskipun melekat dengan label pinter komputer . Pada akhirnya, guru yang gagal beradaptasi hanya menyelesaikan tugas guru yang sekadar âmengajarâ, lantas selesai tanpa ada umpan balik. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi salah satu faktor pemicu pendidikan âjalan di tempatâ.
Bergerak
Pembelajaran di sekolah dilarang monoton. Guru harus menggerakan murid untuk seutuhnya dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan kompetensi yang dimiliki sebagai individu yang unik. Gerak guru yang menghidupkan suasana kelas menjadi antusias belajar tentunya akan menginspirasi siswa untuk dapat berkontribusi secara bebas dan aktif membagikan ide cemerlang dengan percaya diri. Dengan kata lain, guru dapat menggerakan murid sebagai centre of learning.
Pembelajaran abad 21 juga menjunjung tinggi kolaboratif. Berdiskusi, berbagi pengalaman, brain storming menjadi praktik yang efektif dalam berkolaborasi. Dengan bertukar pikiran, murid mendapatkan sudut pandang baru didukung dari proses kreatif ditandai dengan sesi tanya jawab yang antusias, penilaian kerja dan umpan balik, kerja sama mengembangkan ide dari pendapat yang beranekaragam, serta kemandirian untuk berekspresi secara bebas.
Belajar
Sangat sependapat dengan ungkapan sakti âMengajar, berarti belajar kembaliâ. Belajar refleksi diri sendiri sebagai cerminan untuk memantaskan menjadi pengajar yang ideal. Guru yang sekadar ceramah tanpa ada aksi nyata akan menimbulkan tanda tanya dalam benak murid. Berbeda dengan guru dengan berbagai karya dan prestasi, dengan lantang akan berseru âIni aksiku! Mana aksimu!â yang akan menggugah jiwa murid untuk dapat meneladani aksinya.
Digitalisasi pendidikan menuntut guru meng-upgrade kompetensi. Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, begitu mudahnya guru dapat mengikuti berbagai kegiatan peningkatan kemampuan guru seperti pelatihan, workshop, webinar, kursus, training secara tatap muka maupun hanya duduk manis sembari mengakses secara daring.
Berubah
Kita semua pernah menjadi murid. Tentunya, zaman ketika kita menjadi murid sangat jauh berbeda anak kita menjadi murid. Jadi, haram untuk menyamakan hasil belajar kita dengan anak kita. Apabila disadari banyak orang tua, perkataan âdulu saat seusiamu, mama ga pernah HP-an terusâ seharusnya tidak terucap. Kecuali jika memang murid tidak dapat mengonrtrol diri. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran pun perlu kesepatakan saat pembahasan kontrak belajar. Karena untuk mengoptimalkan pembelajaran tidak merujuk dari kacamata yang sama.
Guru adaptif menyisipkan implementasi teknologi dalam menciptakan pembelajaran bermakna, berkarakter, dan berorientasi pada keterampilan abad 21. Pembelajaran yang menyenangkan tidak kalah esensial untuk membangkitkan kedekatan emosional murid untuk dapat mengikuti insruksi guru dengan senang hati. Pada akhirnya, siswa yang menyukai seni tidak akan terbebani ketika guru matematika mengadakan kuis karena sudah terjadi pemahaman antara kedua pihak.
Terakhir, untuk meraih tujuan profil guru professional dari Program Keprofesian Berkelanjutan (PKB),akses tersebut terbuka lebar kapanpun dan di manapun. Semua kembali pada inisiatif guru sebagai penggerak pendidikan. Mau-tidak mau, siap-tidak siap, semua akan menjadi tantangan yang dihadapi bagi seorang guru.