Resiliensi Kesehatan Mental Guru
oleh: Fika Rofiuddin Izza, S.Pd.
Resiliensi merujuk pada kemampuan suatu sistem atau individu untuk pulih dari tantangan, hambatan, atau cobaan. Resiliensi mencakup kapasitas untuk beradaptasi, bangkit kembali, dan menjaga atau mengembalikan fungsionalitas dalam menghadapi gangguan atau tekanan (Guy & Day, 2013). Resilensi dalam konteks psikologi, mengacu pada kemampuan individu untuk mengatasi dan mengatasi kesusahan, trauma, atau stres yang signifikan. Individu yang memiliki resiliensi dapat mempertahankan pandangan yang positif, beradaptasi dengan perubahan situasi, dan muncul lebih kuat setelah mengalami pengalaman sulit.
Membangun resiliensi sering melibatkan pengembangan mekanisme penanganan, memupuk pola pikir positif, membangun jaringan dukungan sosial, dan menerapkan strategi untuk beradaptasi dengan perubahan. Konsep resiliensi mengakui bahwa tantangan dan gangguan adalah tak terelakkan, dan kemampuan untuk menavigasi melalui diri mereka sangat penting untuk kesejahteraan individu, keberhasilan organisasi, dan keberlanjutan sistem secara umum.
Kemampuan resilensi harus dimiliki oleh setiap orang, baik ia yang bekerja di sektor industri, ekonomi, maupun pendidikan yaitu guru. Sebab guru termasuk orang yang rentan terhadap serangan mental, baik disebabkan karena lingkungan kerja, pengalaman, atau faktor biologis yaitu semakin bertambahnya umur. Seorang guru maka harus memiliki resiliensi mental yang baik. Sebab mereka tidak hanya sekedar menjadi penyalur pengetahuan namuan masih banyaknya tuntutan lain yang tidak banyak diketahui pembuat kebijakan kurikulum.
Seorang guru memegang peranan yang sangat vital. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga sosok pembimbing dan pahlawan tanpa jasa dalam kehidupan setiap siswa. Guru tidak hanya bertugas menyampaikan fakta dan pengetahuan, tetapi juga mendampingi siswa dalam proses belajar. Mereka menciptakan lingkungan yang mendukung kreativitas dan rasa ingin tahu, membantu siswa memahami materi dengan cara yang bersahaja dan mendidik (Wardhani, 2017).
Setiap siswa memiliki potensi yang berbeda-beda. Guru memiliki peran untuk mengidentifikasi dan menggali potensi tersebut. Melalui pengamatan dan pengenalan mendalam terhadap siswa, guru dapat membantu mereka menemukan bakat dan minat yang dapat menjadi fondasi untuk masa depannya. Selain pengetahuan akademis, guru membantu siswa dalam pengembangan keterampilan sosial. Interaksi di dalam kelas mengajarkan siswa tentang kerjasama, toleransi, dan rasa tanggung jawab, keterampilan ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan masa depan profesional mereka. Guru melibatkan siswa dalam proses berpikir kritis. Mereka mendorong pertanyaan, diskusi, dan analisis yang mendalam, membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan kritis yang akan membantu mereka menghadapi berbagai tantangan di masa depan (Iskandar, 2009).
Seabregnya tugas guru yang tidak terduga membuat guru sangat rentan terhadap kesehatan mental. Hal ini akan membuat proses belajar mengajar akan terganggu, dan ujungnya siswalah yang akan menjadi korban (Wardhani, 2017). Oleh itu, guru perlu mempunyai resiliensi diri. Penelitian yang dilakukan oleh Matiz et al. (2020) menunjukkan bahwa guru, terutama yang kemampuan beradaptasi yang lemah, mengalami emotional distress dan psychological well-being yang rendah. Para guru perempuan memiliki kondisi kesehatan fisik dan mental yang lebih rendah dan tingkat stres terhadap pekerjaan yang lebih tinggi dibanding guru laki-laki (Bogaert et al., 2014). Kondisi ini menunjukkan tingginya tingkat tanggung jawab dari profesi guru dalam kelompok masyarakat tertentu yang kemudian dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mentalnya. Hadi (2004) dalam (Budiyoko, (2010) mengatakan bahwa terlalu lelahnya seorang yang diakibatkan pengurasan tenaga baik secara fisik ataupun emosi dapat menyebabkan seseorang stress.
Stres adalah salahsatu bagian dari terganggunya kesehatan mental dari guru (WHO, 2004). Penyebab dari stress seorang guru bisa didapat dari dalam kelas yaitu berkaitan dengan managemen kelas dan luar kelas, bisa disebabkan keluarga, dengan kekasihnya, atau sebab di jalan ketika hendak datang ke sekolah, dan juga karena faktor kesejahteraan guru. Hal tersebut meyebabkan kesehatan mental terganggu. Kesehatan mental merupakan sumber penting untuk seseorang. Jika seseorang memiliki mental yang tidak sehat, ia tidak akan memiliki keinginan dan usaha untuk mengaktualisasikan potensinya secara optimal meskipun ia memiliki kemampuan secara potensial. Kondisi kesehatan mental guru banyak yang terganggu saat kondisi pandemi covid 19. Penelitian yang dilakukan oleh Fauzi dan Khusuma (2020) menunjukkan bahwa guru mengalami permasalahan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi dalam pembelajaran, serta kesulitan dalam berkolaborasi bersama orang tua. Sebanyak 80% guru mengalami ketidakpuasan dalam aktivitas belajar secara daring. Penelitian ini menandakan bahwa guru masih mengalami permasalahan dalam pembelajaran daring sehingga pelaksanaannya kurang optimal. Permasalahan pembelajaran ini berpotensi menjadi pemicu stres pada guru.
Diera pasca pandemi ini guru mendapatkan tugas berat untuk memulihkan pembelajaran, yang dimana pada saat pandemi kurang optimal. Akhirnya bagi yang terlalu berfikir keras dengan jumlah siswa yang satu kelasnya mencapai 30 siswa membuat guru bertambah stress. Sebab, masih banyaknya siswa yang sudah duduk di kelas 3 atau 4 bahkan 5 dan 6 literasi dan numerasinya sangat kurang.Dalam membaca satu kalimat saja, membutuhkan waktu mengeja walaupun dia sudah ada di kelas tinggi. Apalagi dalam numerasi yang perkalian dan pembagian. Hal itu memicu stersnya guru, sebab masih banyaknya sekolah, yang mana kepala sekolah tidak faham dengan tuntutan kurikulum merdeka, tetap memaksakan agar isi dari mata pelajaran disampaikan hingga selesai dan tuntas, padahal tidak demikian dengan maksud dari kurikulum merdeka.
Kesehatan mental para guru menjadi topik yang penting untuk diteliti karena melihat peran guru sebagai pendamping atau model dari para peserta didik. Menurut Braun et al. (2020), guru yang memiliki kesehatan mental yang baik berimplikasi pada keterampilan regulasi emosi guru yang baik pula. Dengan demikian, para guru dapat menggunakan penilaian ulang kognitif mereka untuk mengatur emosi dalam mendampingi peserta didik, sehingga peserta didik tersebut pun dapat mewujudkan perilaku prososial. Guru yang memiliki keterampilan mengelola pikiran (mindful) memiliki relasi guru dan peserta didik yang saling mendukung secara emosi (Braun et al., 2019). Poin pentingnya adalah perlunya pengaturan tugas-tugas guru untuk dapat mengelola kelas dengan lebih baik, memiliki relasi guru dan peserta didik yang kuat, serta membangun relasi yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kondisi kesehatan mental para guru menjadi penting diperhatikan oleh institusi pendidikan untuk dapat mewujudkan pendidikan yang baik.
Selain dari institusi pendidikan yang perlu memperhatikan kesehatan mental guru. Diri seorang guru juga perlu meningkatkan kecerdasan spiritualitas dan value (nilai) diri. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk mengambil hikmah atau makna dari setiap persoalan. Kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain (Zohar dan Marshall, 2000). Serta juga seorang guru lebih berkesadaran bahwa diri dia adalah seorang guru, sehingga akan meningkatkan nilai diri, dengan mengatahui dan menyadari bahwa dia adalah seorang guru memahami regulasi yang berlaku, bukan karena tuntutan pimpinan sekolah, maka dia dapat membentengi diri agar bekerja sesuai dengan koridor regulasi bukan keinginan individu melalui komunikasi yang harmonis dengan pimpinan sekolah (Jamaludin et al, 2016).
Hal lain yang dapat dilakukan guru agar terhindar dari gangguan mental yaitu dengan kepuasan hidup. Jika guru tersebut adalah orang Islam, dijelaskan dalam Al Quran,Allah berfirman dalam Q.S. An Nisaa: 32, yang menerangkan bahwa hendaknya manusia untuk tidak iri dengan apa yang dimiliki orang lain, karena sesungguhnya manusia akan mendapatkan apa yang mereka usahakan masing-masing. Sebenarnya hal tersebut menjelaskan agar kita dari awal tahu dan menyadari, bahwa masuk dalam dunia pendidikan ketika diniatkannya hanya untuk harta/tahta maka menjadi tempat yang salah, karena di Indonesia jasa untuk seorang guru masih kecil. Disinilah perlunya meluruskan niat agar di jalan perjuangan menjadi seorang guru tidak mengalami gangguan kesehatan mental. Disamping itu juga, menjadi tugas bagi pemerintah agar meningkatkan kesejahteraan guru sehingga tidak ada keluhan pada guru baik swasta maupun negeri mengenai beban dan hasil yang didapat guru-guru.
Menjadi seorang guru berarti sudah masuk dalam pekerjaan yang menantang dan memerlukan tingkat resiliensi yang tinggi, terutama dalam menjaga kesehatan mental. Berikut adalah beberapa cara yang dapat membantu guru untuk meningkatkan resiliensi kesehatan mental:
- Pahami dan Terima Tantangan:
Kesadaran terhadap kenyataan bahwa pekerjaan sebagai guru memiliki tantangan dan tekanan tertentu. Berusaha untuk menerima bahwa tidak semua situasi dapat diubah, tetapi respons terhadap situasi tersebut dapat dielola.
Tentukan batasan waktu untuk pekerjaan agar tidak terlalu membebani dan memberikan waktu untuk istirahat. Pelajari untuk mengatakan "tidak" jika sudah mencapai batas kemampuan.
- Berkomunikasi dengan Rekan Kerja/Pimpinan Sekolah:
Bicarakan pengalaman dan perasaan dengan rekan guru atau staf/pimpinan sekolah tentang beban kerja yang tidak terkelola, untuk mecari solusi mengurangi tekanan kerja yang berlebihan, dan membangun jaringan dukungan sosial dapat membantu dalam mengatasi tekanan.
- Fokus pada Aspek Positif:
Fokus pada prestasi dan momen positif dalam pekerjaan dan mengenali dampak positif yang dimiliki sebagai seorang guru.
- Kelola Stres dengan Kegiatan Relaksasi:
Terlibat dalam kegiatan relaksasi seperti misalnya olahraga dan menanam pohon mangrove bersama untuk menemukan kegiatan di luar pekerjaan yang memberikan kesenangan dan relaksasi.
- Berinvestasi dalam Pengembangan Pribadi:
Tetap belajar dan berkembang sebagai seorang professional dengan menghadiri pelatihan atau seminar yang dapat meningkatkan keterampilan dan pemahaman.
Ambil cuti atau waktu libur secara teratur untuk meremajakan diri. Hindari membawa pekerjaan ke dalam waktu libur.
- Menggunakan Sumber Daya Dukungan Kesehatan Mental:
Jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental jika diperlukan. Manfaatkan sumber daya dukungan yang tersedia di sekolah atau daerah tempat bekerja.
Daftar Pustaka
Bogaert, I., Martelaer, K. De, Deforche, B., Clarys, P., & Zinzen, E. (2014). Wave propagation in mixture of generalized thermoelastic solids half-space. Journal of Solid Mechanics, 14(534), 1471–2458.
Braun, S. S., Roeser, R. W., Mashburn, A. J., & Skinner, E. (2019). Middle school teachers’ mindfulness, occupational health and well-being, and the quality of teacher-student interactions. Mindfulness, 10, 245–255.
Fauzi, I., & Sastra Khusuma, I. H. (2020). Teachers’ elementary school in online learning of COVID-19 pandemic conditions. Jurnal Iqra’ : Kajian Ilmu Pendidikan, 5(1), 58–70.
Gu, Q., & Day, C. (2013). Challenges to teacher resilience: conditions count. British Educational Research Journal, 39(1), 22–44.
Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan sebuah orientasi baru. Jakarta: Gaung Persada Press.
Jamaludin, N.L., Sam, D. L., Sandal, G. M., Adam A.A. (2016). Personal value, subjective well-being and destination-loyalty intention of international students. Springerplus, 5(1), 720
Matiz, A., Fabbro, F., Paschetto, A., Cantone, D., Paolone, A. R., & Crescentini, C. (2020). Positive impact of mindfulness meditation on mental health of female teachers during the COVID-19 outbreak in Italy. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17, 1–22.
Wardhani, D.K.2017. Peran Kesehatan Mental Bagi Guru Dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017, 2-6.
WHO. (2004). Promoting mental health. Geneva: World Health Organization
Zohar & Marshall. (2000). SQ memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan. Bandung: Mizan Media Utama
Penyunting: Putra