Generasi Emas 2045, Refleksi Guru Sejahtera
Guru sejahtera adalah perwujudan paling murni untuk menyongsong Generasi Emas 2045. Indonesia berambisi mewujudkan generasi yang penuh inovasi dan cipta karya, pada tahun tersebut diharapkan mampu melahirkan peradaban maju yang saat ini digaungkan sebagai Generasi Emas 2045. Tahun 2045 akan menjadi momentum bersejarah, karena Indonesia akan genap berusia satu abad atau 100 tahun. Selain itu menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), pada tahun tersebut Indonesia akan mengalami fenomena sosial yang disebut dengan bonus demografi. Bonus demografi tersebut yaitu sebesar 70% sebagai penduduk usia produktif dalam usia 15-64 tahun dan 30% sisanya usia tidak produktif dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun.
Generasi Emas 2045 dan Bonus Demografi
Lonjakan kelahiran diperkirakan terjadi dari tahun 2020 hingga saat ini dikarenakan situasi pandemi. Bayi yang lahir pada tahun tersebut akan tumbuh sebagai penduduk golongan usia produktif tahun 2045 mendatang. Sehingga, jika bonus demografi ini tidak disiapkan dengan matang serta pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar masyaraka. Maka hanya akan menghasilkan dampak yang buruk. Terutama dalam masalah sosial seperti, angka kemiskinan yang tinggi, pemenuhan kesehatan yang rendah, pengangguran, serta meningkatnya kriminalitas. Melihat dari fakta tersebut, tidak menunggu waktu lama terhitung hingga hari ini seluruh aspek telah dikerjakan bersama agar harapan Generasi Emas 2045 dapat terwujud. Mulai dari pembangunan, perekonomian, kesehatan, serta yang paling mendasar adalah pendidikan.
Melalui kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kemudian diluncurkan Kurikulum Merdeka, sebagai rangkaian dari Merdeka Belajar. Sebelum diluncurkan secara luas, sejak tahun ajaran 2021/2022 Kurikulum Merdeka telah digunakan di hampir 2.500 sekolah yang mengikuti Program Sekolah Penggerak (PSP) sebagai bagian dari pembelajaran dengan perbedaan bentuk paradigma baru.
Setidaknya terdapat 3 keunggulan dari Kurikulum Merdeka dalam rangka mewujudkan Generasi Emas 2045. Pertama, lebih sederhana dan mendalam karena berfokus pada materi yang sifatnya esensial serta pengembangan kompetensi peserta didik. Kedua, lebih merdeka, tidak ada lagi program peminatan di SMA sehingga peserta didik dapat memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Ketiga, lebih relevan dan interaktif, hal tersebut didorong dengan konsep pembelajaran melalui proyel dengan memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berperan secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual terkini. Guna mendukung pengembangan karakter dan kompetensi dari Profil Pelajar Pancasila. Kurikulum Merdeka dirasa mampu mencapai tujuan dari Generasi Emas 2045, akan tetapi ketimpangan yang curam justru terjadi di lingkungan pendidikan, yakni dari guru itu sendiri.
Ketidakberdayaan Guru
Simbol digugu lan ditiru, guru memegang peranan penting sebagai pengendali sekaligus pembentuk keberlanjutan masa depan Indonesia. Isu kesejahteraan guru memang berulang kali dibawa sebagai bentuk demonstrasi. Guru berulangkali dihadapkan dengan realita masyarakat yang kerap menolak strategi atau model pembelajaran baru, padahal dengan maksud menjadikan anak didik sebagai bagian dari pendidikan yang modernisasi.
Posisi strategis seorang guru juga acap kali disalahkan atas perbuatan-perbuatan di luar norma dari anak didik. Padahal, banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi perbuatan tersebut terjadi. Mayoritas masyarakat bahkan menganggap, guru adalah sosok yang bersih dari salah, akan selalu sempurna. Hal tersebutlah yang kemudian memaksa guru agar tampil dengan keadaan selalu baik-baik saja.
Dalam tugasnya sebagai penyaji pelajaran, guru diharuskan untuk membimbing. dikatakan 30 anak didik dalam satu kelas dengan waktu yang terbatas. Hal tersebut tentu bukan tugas yang mudah, akan tetapi realita di Indonesia memang demikian. Atau bahkan dengan pedoman Kurikulum Merdeka yang mengoptimalkan kecanggihan teknologi, jika harus seperti itu bagaimana dengan guru dan upaya pendidikan di daerah 3T Indonesia?
Ketidakberdayaan guru inilah yang kerap kali menjadi boomerang tersendiri bagi seorang guru. Memiliki semangat juang tinggi serta kreatif akan tetapi terbatas dengan berbagai macam hal yang sulit diselesaikan.
Belum lagi, ditambah dengan stigma yang mengakar di masyarakat Indonesia, dengan celotehan seperti, “enak yaaa jadi guru, gampang” “jadi guru mah terjamin hidupnya” “enak yaaa jadi guru, gampang” “yang ikhlas jadi guru, pahalanya banyak” “guru itu ngga usah ngomongin gaji dan kesejahteraanm toh insyaallah masuk surga”, serta beragam stigma yang saat ini masih berkembang luas. Padahal, jika dilihat secara realita lingkungan pendidikan Indonesia, tidak seindah atau seburuk itu. Celotehan yang tidak memandang situasi atau kondisi tersebut bisa dengan mudah membunuh kesehatan mental guru, bahkan menumpulkan ambisi dedikatif. Bahkan, belum selesai perayaan Hari Guru Nasional, publik tergelitik dengan argumen Bapak Presiden Jokowi yang menyatakan terkejut dengan kabar bahwa tingkat stress guru lebih tinggi dari pekerjaan yang lain. Atas berbagai macam tekanan yang didapatkan, guru memiliki peluang besar terjun bebas dalam persoalan abad 21 saat ini, yakni kesehatan mental.
Beban bertambah lagi, ketika guru dihadapkan dengan puluhan ide yang dibarengi puluhan pertanyaan juga dari anak didik. Seperti manusia pada umumnya, akan ada titik terendah bagi guru dalam mengatasi kepelikan tersebut. Pada tahap ini, kita akan dibukakan dengan kenyataan mengenai proporsi kemampuan guru yang juga berbeda-beda. Tidak semua guru bisa dengan mudah menempatkan diri sebagai konselor ketika menangangi anak didik bermasalah. Tidak semua guru memiliki bekal ilmu psikologi dalam hal tersebut, sehingga kerap kali bentuk penyelesaian masalah justru bersebrangan dengan kondisi anak didik yang bersangkutan. Hingga saat ini, isu kesehatan mental guru masih dianggap hal yang remeh temeh, serta tidak perlu dipikir panjang. Pada kenyataannya, kesehatan mental sangat mengancam keberlangsungan hidup guru. Banyak sikap yang diputuskan oleh beberapa guru untuk mengakhiri hidup karena merasa sangat lelah dengan profesi guru. Atau, karena desakan ekonomi mengharuskan untuk mencari pemasukan tambahan dengan pinjaman online. Tanpa mengerti bagaimana kerugian mengintai setelahnya. Isu yang sederhana, tapi beranak pinak.
Di sisi lain, penyematan pahlawan tanpa tanda jasa bagi guru, justru terlalu berlebihan, terlalu diromantisasi bahwa profesi guru adalah profesi yang dielu-elukan, teramat sangat mulia. Memang betul demikian, tapi sistem dan lingkungan sekitar tidak mewujudkan penyematan pahlawan tersebut.
Setelah mempelajari beberapa hal, sekaligus terlibat sebagai praktisi pendidikan. Berikut beberapa hal penyebab meningkatnya stress bagi guru. Pertama, beban kerja tinggi, dalam artian bahwa jumlah tugas dan tanggung jawab yang berlebihan. Beban ini bukan sekedar beban administrasi di sekolah, tetapi bisa dari beban moral. Beban moral menjatuhkan tanggung jawab guru sebagai sosok sempurna. Sehingga, menutup berbagai bentuk emosi lain, selain bahagia dan berkharisma. Kedua, ketidakpastian professional. Cacatnya sistem pendidikan di Indonesia telah mengorbankan kurikulum pendidikan yang terus menerus mengalami perubahan, di sisi lain perubahan juga terulang kembali dalam kebijakan yang berlarut-larut, kebijakan PPPK hingga PPG. Ketiga, tantangan mengelola perilaku siswa, tentu hal ini sangat rumit untuk dileburkan. Potensi perasaan kacau dan lelah akan cenderung menyelimuti guru ketika dihadapkan dengan perilaku siswa yang beragam. Sedangkan, hasil kerja tersebut tidak dibayar sebagaimana mestinya.
Keempat, lemahnya perlindungan terhadap guru. Pada beberapa kasus, guru yang memiliki wewenang serta tanggung jawab untuk membentuk karakter anak didik yang baik. Kerap kali disalah artikan sebagai bentuk penindasan terhadap anak didik. Padahal belum tentu demikian. Berulang kali Indonesia dikejutkan dengan berita serupa, dengan narasi yang menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukan guru-guru tersebut salah, serta harus dipidanakan.
Berbicara mengenai mengajarnya guru, hal lain yang harus dipahami bahwa guru juga harus mentransef kecakapan karsa dan kecakapan rasa yang terkandung dalam materi pelajaran yang disampaikan. Dalam arti yang lebih ideal, mengajar bukan hanya mengandung konotasi membimbing untuk memudahkan siswa dalam menjalani proses perubahannya sendiri. Melainkan proses belajar untuk meraih kecakapan cipta, rasa, dan karsa yang menyeluruh dan utuh, atau pemaknaan secara filosofis dalam kehidupan. Sudah tentu kecakapan ranah psikologis seperti ini tidak serta merta bisa didapat sekaligus tetapi berproses, setahap demi setahap.
Mewujudkan Kesejahteraan Guru, Mewujudkan Kesejahteraan Indonesia
Fortis Fortuna Adiuvat
Dalam lubuk hati setiap guru, mereka menginginkan kesejahteraan yang cemerlang bagi setiap anak didiknya. Sebagaimana usaha dedikatif yang terus menerus dilakukan oleh guru itu sendiri. Melawan beragam ketimpangan, menganggap tantangan sebagai batu loncatan, bahkan selalu siap sedia menjadi lembaga hidup bagi setiap anak didik.
Kalimat fortis fortuna adiuvat menjadi kalimat yang tepat untuk menggambarkan perjuangan panjang dari seorang guru. Ia memiliki arti, bahwa keberuntungan tidak datang dengan sendirinya dan perlu diusahakan dengan keberanian. Selayaknya guru, mereka akan selalu dengan gagah berani mendobrak segala macam hambatan, untuk memberikan pendidikan yang layak.
Masyarakat kerap memandang isu kesehatan mental hanyalah isu milik Gen-Z. Padahal bukan, guru pun sama, dapat dengan mudah mengalami penurunan kesehatan mental. Ketidakberdayaan guru untuk menghadapi batasan–batasan di luar kendali, harus menjadi perbincangan serius. Kesehatan mental ini bila tidak ditangani dengan cepat, hanya akan menghasilkan anak didik yang tidak bermutu. Bagaimana bisa seorang guru mengajar dengan leluasa, mengajarkan nilai kehidupan, bila kehidupannya sendiri sedang porak poranda. Kondisi ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap gelombang perkembangan pendidikan di Indonesia.
Isu kesehatan mental bukan hal yang memalukan wahai Bapak Ibu guru. Kita patut menyadari bahwa isu ini bisa menimpa siapa, bahkan pada manusia menjelang sempurna seperti guru. Kesehatan mental bukan sebuah aib yang harus disembunyikan, guru juga patut menyampaikan kondisi ganggungan mentalnya kepada siapa saja yang dirasa nyaman. Kesengsaraan ini harus segera ditangani dengan baik, karena apabila tidak segera ditangani dampak kerugian tidak hanya menimpa Bapak Ibu guru saja. Melainkan banyak pihak, terkhusus masa depan anak didik.
Profil guru yang ideal dan berintegritas adalah yang mampu merasa dirinya berharga, berlaku manfaat, serta menjadi bahagia dengan potensi-potensi yang ada. Sehingga, keberdayaan guru sebagai guru seutuhnya bisa terwujud. Yakni, mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa, panggilan hati nurani, buka karena tuntutan materi belaka, yang dengan mudah membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah.
Meskipun bukan rumus utama, akan tetapi berikut beberapa hal yang bisa dilakukan oleh guru untuk menangani guncangan kesehatan mental, Pertama, Self-care: memahami bahwa tubuh butuh bantuan. Kedua, mengelola stress dalam batas optimal, sehingga tidak mengambil banyak porsi kerja. Ketiga, melakukan hal yang bisa meningkatkan dopamine dalam tubuh. Keempat, merefleksikan diri agar guru tetap waras dalam berpikiri atau bertindak.
Meski berulang kali dikatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Nampaknya harus dimaknai sebagai pengabdian guru yang teramat besar, tidak bisa dihitung, dan tidak bisa dibalas. Pemaknaan tersebut, tidak bisa selamanya disematkan kepada guru, toh guru juga manusia. Butuh kesejahteraan yang setara selayaknya profesi lainnya.
Maka, kesiapan Indonesia dalam mewujudkan Generasi Emas 2045, harus diperhatikan secara menyeluruh, termasuk dalam dunia pendidikan. Karena, kesejahteraan guru yang merata akan menjadi faktor utama menjadikan Indonesia Emas 2045.
Ingat, guru hebat dengan segala kekuranga, guru indah dengan segala kerapuhan.
Daftar Pustaka
Rr. Dina Kusuma Wardhani, 2017. Peran Kesehatan Mental Bagi Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Di Sekolah. Banten, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA.
Berita harian Kompas, Jokowi, Saya Kaget Tingkat Stres Guru Lebih Tinggi Dari Pekerjaan, https://nasional.kompas.com/read/2023/11/25/11275491/jokowi-saya-kaget-tingkat-stres-guru-lebih-tinggi-dari-pekerjaan-lain#:~:text=JAKARTA, KOMPAS.com- Presiden,di Rand Corporation tahun 2022.
Kementrian Pendidikan dan Budaya, https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/kurikulum-merdeka#:~:text=Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan,mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.
Penyunting: Putra