Pendidikan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Melalui pendidikan, seseorang dibina kepribadiannya sekaligus dikembangkan potensi terbaik yang ia miliki. Maka tidak mengherankan jika kualitas pendidikan yang diterima seseorang akan sangat menentukan kualitas hidupnya di masa depan.
Sebagai proses yang tidak pernah berhenti dan berlangsung sepanjang hayat, pendidikan membantu manusia memahami realitas kehidupan dengan lebih matang. Seseorang yang memiliki kesempatan menempuh pendidikan dengan baik cenderung lebih mudah menavigasi berbagai tantangan hidup. Sebaliknya, mereka yang kurang mendapatkan akses pendidikan sering kali menghadapi kesulitan dalam memahami lingkungan dan membuat keputusan yang memengaruhi masa depan mereka.
Dari sini kita memahami bahwa pendidikan bukan sekadar kebutuhan tambahan, melainkan kebutuhan mendasar sekaligus bagian dari hak asasi manusia. Melalui pendidikan, setiap individu memperoleh kemerdekaan untuk membangun, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Lebih jauh lagi, pendidikan berperan penting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang beradab dan berperadaban. Pendidikan memberikan arah bagi kehidupan masyarakat agar tumbuh menjadi komunitas yang mampu berpikir kritis, bersikap bijaksana, dan bertindak sesuai nilai-nilai kemanusiaan.
UNESCO bahkan menekankan bahwa untuk membentuk manusia yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual, pendidikan harus dirancang secara afektif dan humanis. Artinya, pendidikan tidak hanya berfokus pada kecerdasan semata, tetapi juga menempatkan martabat manusia sebagai nilai tertinggi yang harus dijaga dan dihargai.
Baca juga:
Teaching at the Right Level (TaRL): Inovasi Pembelajaran untuk Menutup Kesenjangan Belajar
Apa itu Pendidikan Humanis?
Pendidikan humanis adalah sebuah pendekatan yang menempatkan manusia—dengan seluruh potensi, emosi, dan kemampuannya—sebagai pusat dari proses belajar. Pendekatan ini tidak sekadar menekankan pencapaian akademis, tetapi juga pertumbuhan pribadi, aktualisasi diri, serta pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Alih-alih menerapkan pola pembelajaran yang kaku dan seragam, pendidikan humanis mengutamakan kesejahteraan emosional peserta didik. Mereka diajak untuk terlibat secara aktif, mengekspresikan diri, memahami nilai dan norma, serta bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri. Tujuannya adalah membentuk individu yang seimbang—baik secara intelektual maupun emosional—serta siap menghadapi dunia kerja dengan semangat untuk memberikan perubahan positif.
Dalam praktiknya, guru berperan sebagai fasilitator yang menuntun peserta didik untuk berpikir secara induktif, mengeksplorasi pengalaman langsung/nyata, dan aktif berpartisipasi dalam pembelajaran. Dengan demikian, ruang kelas menjadi tempat yang aman untuk bereksperimen, berpendapat, dan menemukan makna dari setiap proses belajar.
Ilustrasi pendidikan humanis (Gambar: Canva/Odua Images)
6 Karakteristik pada Pendidikan Humanis
Pendidikan humanis menempatkan manusia—baik pendidik maupun peserta didik—sebagai pusat dari seluruh proses pembelajaran. Ki Hadjar Dewantara, seperti dikutip Abidin (2021), menegaskan bahwa pendidikan seharusnya membantu anak tumbuh sesuai kodratnya, dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan. Dari gagasan tersebut, terdapat enam karakteristik utama pendidikan humanistik yang dapat menjadi acuan bagi para pendidik masa kini.
1. Kodrat alam
Pendidikan harus selaras dengan sunnatullah atau hukum alam. Artinya, proses belajar berlangsung secara manusiawi, penuh kasih, dan tidak memaksa. Guru berperan menanamkan nilai-nilai melalui pengasuhan yang bijaksana agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai fitrahnya.
2. Kebudayaan
Pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Guru mengenalkan dan membuka ruang bagi peserta didik untuk mengeksplorasi, memahami, serta mengembangkan budaya bangsanya. Melalui cara ini, siswa tidak hanya belajar tentang budaya, tetapi juga membangun identitas dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
3. Kemerdekaan
Pendidikan humanis menekankan kebebasan berpikir dan bertindak. Guru memberikan keleluasaan kepada siswa untuk menemukan minat, bakat, dan cita-citanya sendiri. Kebebasan ini bukan berarti tanpa batas, tetapi diarahkan agar sejalan dengan potensi dan tujuan hidup masing-masing peserta didik.
4. Kebangsaan
Pendidik berperan menanamkan nilai-nilai kebangsaan melalui pendekatan sosio-kultural. Tujuannya adalah menumbuhkan rasa cinta tanah air, kepedulian terhadap bangsa, serta kesadaran untuk berkontribusi dalam meningkatkan martabat Indonesia.
5. Kemanusiaan
Dalam mengembangkan potensi siswa, guru tetap harus berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan humanis memandang bahwa setiap anak memiliki martabat yang sama dan harus dihormati. Karena itu, setiap langkah pembelajaran harus selaras dengan adab dan etika sebagai bangsa yang berbudaya.
6. Kekeluargaan
Pendidikan humanis juga menekankan suasana kekeluargaan dalam proses pembelajaran. Guru dituntut untuk bersikap sabar, mengayomi, serta memberikan arahan dengan cara yang hangat dan saling menghormati. Relasi guru-siswa dalam konteks ini adalah hubungan yang membangun, bukan yang menggurui.
Baca juga:
Menumbuhkan Empati di Sekolah melalui Program CSR yang Berfokus pada Well-being
Pada akhirnya, pendidikan humanis memandang guru dan peserta didik bukan sebagai subjek-objek, melainkan sebagai sesama manusia yang belajar bersama (learning together). Keduanya diposisikan secara sejajar—saling menghargai, saling memberi, dan saling tumbuh dalam proses pendidikan.
Pendidikan humanis mendorong peserta didik untuk menemukan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi melalui proses bimbingan dari pendidik (problem solving education). Pendekatan ini menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang berkomitmen pada fitrahnya—senantiasa mencari kebenaran, menjunjung keadilan, bersikap jujur, dan menjadi manusia yang santun, penuh cinta, serta kasih sayang.
Dalam praktiknya, pembelajaran humanis memadukan pendekatan individual dengan pengajaran dalam kelompok kecil. Pola ini berbeda dengan pembelajaran tradisional karena pendidik tidak lagi menempatkan diri sebagai figur yang serba mengetahui, melainkan sebagai mitra belajar yang sejajar dengan siswa. Guru dan siswa memiliki peran serta hak yang sama untuk bertumbuh dalam proses pembelajaran.
Tujuan utama dari pendidikan humanis adalah membantu siswa menjadi individu yang:
mandiri dan independen,
bertanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri,
kreatif dalam mengungkapkan ide dan gagasan, serta
selalu ingin tahu terhadap dunia di sekitarnya.
Lalu, bagaimana cara merancang pengalaman belajar yang humanis agar potensi anak dapat berkembang secara optimal? Temukan jawabannya secara lebih mendalam dalam webinar nasional berikut ini!

Daftar webinarnya disini
Referensi:
Filsafat Pendidikan Humanisme dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa Inggris bagi Peserta Didik di Tingkat Sekolah Menengah Atas: Sebuah Kajian Teori
Konsep Pendidikan Humanistik dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam
What is Humanistic Education and Why is it Important?
Penulis: Eka | Penyunting: Putra