[Yogyakarta, 11 September 2025] GuruInovatif.id kembali melaksanakan program webinar inspiratif, Guru Inovatif Class yang ke-145 dengan topik “Mengintegrasikan Capaian Pembelajaran Terbaru ke dalam Rencana Pembelajaran yang Efektif.” Pada webinar ini, GuruInovatif.id menghadirkan Anita Jojor, M.Pd., sebagai narasumber utama.
Dalam pemaparannya, Anita menjelaskan bahwa Capaian Pembelajaran (CP) merupakan salah satu komponen penting dalam Kurikulum Merdeka. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini diharapkan mampu memberikan wawasan baru kepada para guru terkait regulasi CP yang baru saja dirilis pada bulan Juni lalu.
Untuk memantik diskusi, Anita mengajukan pertanyaan kepada para peserta melalui platform Mentimeter:
“Apa tantangan terbesar dalam merancang pembelajaran saat ini?”
Salah satu peserta menjawab, tantangan terbesar adalah bagaimana menyusun pembelajaran yang mampu menyesuaikan diri dengan beragam karakteristik siswa, terutama karena dalam Kurikulum Merdeka tidak ada lagi istilah tinggal kelas.
Menanggapi hal tersebut, Anita memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa memang dalam Kurikulum Merdeka tidak dikenal istilah tinggal kelas, karena sistem pembelajarannya terbagi ke dalam enam fase. Jika seorang siswa belum tuntas pada fase A (kelas I–II), maka guru dapat memberikan remedial hingga siswa benar-benar memahami materi pada fase tersebut. Dengan cara ini, pembelajaran tidak lagi terpaku pada angka kelas, melainkan berfokus pada pencapaian kompetensi sesuai fase perkembangan siswa.
Kilas Balik Pengenalan Capaian Pembelajaran dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia
Istilah Capaian Pembelajaran (CP) pertama kali muncul pada tahun 2022, ketika pemerintah merilis Keputusan Kepala BSKAP Kemendibudristek No. 8 Tahun 2022. Pada masa itu, Kurikulum Merdeka masih dikenal sebagai Kurikulum Prototipe. Dokumen CP ini menjadi tonggak awal penyusunan Tujuan Pembelajaran (TP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) di sekolah-sekolah.
Seiring waktu, regulasi mengenai CP terus mengalami penyempurnaan. Regulasi terbaru yang berlaku saat ini tertuang dalam Keputusan Kepala BSKAP Kemendikdasmen No. 46 Tahun 2025. Menurut Anita perubahan-perubahan regulasi ini disebabkan 4 faktor berikut ini:
Adanya penyesuaian dengan pergantian pemerintahan.
Upaya penyempurnaan CP agar lebih detail, operasional, dan terukur.
Kebutuhan menjaga kesinambungan pembelajaran dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK.
Pentingnya memperkuat fondasi kemampuan peserta didik sebelum melangkah ke jenjang berikutnya.
Baca juga:
Resmi Tidak Ganti Kurikulum! Inilah Isi Lengkap Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025
Evolusi regulasi CP
Perjalanan regulasi CP dimulai dari tahun 2022. Regulasi CP No. 008/H/KR/2022 menjadi dokumen perdana yang dijadikan acuan awal. Meski begitu, pada tahap ini CP belum sepenuhnya mencakup kebutuhan pendidikan khusus dan jenjang SMK.
Masih di tahun yang sama, lahirlah CP No. 033/H/KR/2022. Regulasi ini membawa penyempurnaan, di antaranya penambahan CP untuk pendidikan khusus, SMK (konsentrasi keahlian), serta program kesetaraan. Selain itu, CP disajikan dalam bentuk naratif yang lebih operasional, tetap menekankan Profil Pelajar Pancasila, serta mempertahankan pembagian fase A–F.
Tahun 2024 menjadi titik penting berikutnya. Pemerintah mengesahkan CP. 032/H/KR/2024 yang secara resmi mencabut dua regulasi sebelumnya. Dokumen ini selaras dengan Permendikbudristek No. 12/2024, yang mengatur kurikulum dari jenjang PAUD hingga pendidikan menengah. CP 2024 juga menghadirkan lima lampiran terpadu sesuai jenjang pendidikan:
PAUD
SD-SMA/MA
SMK/MAK
Paket A-C
Pendidikan khusus
Perubahan besar kembali hadir di tahun 2025 dengan lahirnya regulasi terbaru, sebagai tindak lanjut dari Permendikdasmen No. 13/2025. Regulasi ini menekankan penerapan pembelajaran mendalam (deep learning), agar proses belajar tidak hanya berfokus pada hafalan, tetapi benar-benar membangun pemahaman. Menariknya, dua mata pelajaran baru pun resmi diperkenalkan, yaitu integrasi teknologi koding dan kecerdasan artifisial (AI)—sebuah langkah nyata menyiapkan peserta didik menghadapi tantangan abad ke-21.

5 Rumus/Model Penyusunan Tujuan Pembelajaran
Dalam sesi webinar, Anita memaparkan bahwa menyusun TP tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Guru perlu menggunakan model atau rumus tertentu agar tujuan yang ditetapkan lebih jelas, terukur, dan sesuai dengan capaian pembelajaran. Setidaknya ada lima model penyusunan TP yang dapat digunakan guru, antara lain:
1. ABCD model
Model ini menjadi salah satu yang paling populer karena sederhana sekaligus praktis. TP disusun dengan mengacu pada empat komponen utama:
A (Audience) → siapa peserta didik atau target belajar.
B (Behavior) → keterampilan atau perilaku apa yang diharapkan muncul.
C (Condition) → kondisi atau situasi pembelajaran yang diberikan.
D (Degree) → sejauh mana pencapaian yang diharapkan.
Dengan model ini, guru bisa merancang tujuan yang lebih terfokus dan mudah dievaluasi.
2. SMART criteria
Model ini menggunakan prinsip SMART untuk memastikan TP benar-benar realistis dan terukur:
S (Smart) → tujuan harus jelas dan fokus.
M (Measurable) → hasilnya bisa diukur.
A (Achievable) → sesuai dengan kemampuan siswa dan fase belajarnya.
R (Relevant) → relevan dengan CP dan kebutuhan siswa.
T (Time-bound) → memiliki batas waktu pencapaian yang jelas.
Kelebihan model ini terletak pada kepraktisan dan orientasinya terhadap hasil.
3. Mager’s three-part objective (Robert Mager)
Diperkenalkan oleh Robert Mager, model ini menekankan kejelasan dalam tiga aspek utama:
Performance → apa yang akan dilakukan siswa.
Condition → kondisi atau syarat ketika siswa melaksanakan tugads
Criterion → standar keberhasilan yang ditetapkan.
Model ini membantu guru menyusun tujuan yang lebih detail dan terukur, sehingga evaluasi menjadi lebih objektif.
Baca juga:
Transformasi Model Pembelajaran Untuk Pendidikan Inklusif
4. Bloom’s taxonomy verb approach
Berlandaskan taksonomi Bloom, model ini menggunakan kata kerja operasional untuk menyusun TP sesuai tingkat kemampuan berpikir siswa:
Mengingat (C1)
Memahami (C2)
Menerapkan (C3)
Menganalisis (C4)
Mengevaluasi (C5)
Mencipta (C6)
Model ini sangat efektif untuk memastikan perkembangan siswa dari low order thinking skills (LOTS) menuju higher order thinking skills (HOTS).
5. GRASPS model
Model ini banyak digunakan dalam pembelajaran berbasis proyek atau asesmen otentik. GRASPS merupakan akronim dari:
G (Goal) → tujuan akhir yang harus dicapai siswa.
R (Role) → peran yang dimainkan siswa dalam konteks belajar.
A (Audience) → pihak yang akan menerima atau menilai produk hasil belajar.
S (Situation) → produk atau performa yang dihasilkan siswa.
P (Product/Performance) → hasil yang dihasilkan siswa
S (Standard) → kriteria atau indikator keberhasilan.
Dengan GRASPS, pembelajaran menjadi lebih kontekstual karena siswa didorong untuk menghasilkan karya nyata yang relevan dengan kehidupan.
Semua rumus/model penyusunan ini, dijelaskan secara gamblang dan disertai contoh pembuatannya oleh Anita. Penasaran seperti apa penerapan rumus-rumus penyusunannya? Simak tayangan webinar-nya disini.
Tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai topik penyusunan CP atau topik yang relevan dengan pembelajaran di abad 21? Anda bisa mendapatkannya melalui pelatihan intensif In House Training (IHT) berikut ini!

Konsultasi kebutuhan pelatihan intensif sekolah
Penulis: Eka | Penyunting: Putra