Guru Muda dan Tua
Menjelang berganti tahun diujung bulan Desember semua guru di Indonesia yang sibuk dengan pelaporan hasil belajar anak didiknya. Tidak terkecuali guru yang usianya muda dan tua. Usia guru dalam ini berkaitan dengan digit yang menyertainya. Hal tersebut berpengaruh terhadap bagaimana mengoperasikan perangkat untuk penginputan hasil belajar siswa. Tetapi perlu di garis bawah ini, bahawa guru muda juga banyak yang merasa kesulitan untuk penginputan tersebut. Artinya apa usia tidak menjamin hal itu.
Berkaitan dengan perangkat yang digunakan dalam penginputan sebenarnya tidak harus dipikirkan, yang menjadi perhatian bersama adalah proses dibalik semua itu. Perlu kita sadari bahwa masih banyaknya kita menjadi seorang pesulap. Dimana ketika sehari-hari dalam pembelajaran, tidak atau jarang sekali melakukan asesmen formatif maupun sumatif diakhir tiap topik. Namun, saat akhir seperti ini tiba-tiba ada, dan baru juga menyusun berapa kompetensi dasar yang diujikan atau tujuan pembelajaran mana yang menjadi target capaian pembelajaran. Tentu hal ini menjadi perhatian menjelang bergantinya semester satu ke dua.
Apakah hal demikian berlaku di tiap daerah dan tiap sekolah? Tentunya bergantung dari kepemimpinan tiap sekolahnya dan kepemimpinan dirinya. Pimpinan sekolah yang walaupun usianya telah senja, namun terbuka dengan perkembangan pendidikan, akan terus mendorong dan mendampingi rekan pejuang kerjanya untuk melengkapi diawal tahun pembelajaran atau setidaknya diawal tiap semester. Melakukan pemantauan tiap bulan setidaknya dan mengevaluasi keterlaksanaan dari rencana yang sudah disusun. Begitu juga para guru, baik yang muda maupun yang sudah senja. Hal tersebut bergantung pada kepemimpinan diri. Seorang pemimpin, pasti memiliki daya juang tinggi dan keterbukaan yang fleksibel. Sehingga baik usia senja apalagi yang masih usia muda harusnya dapat menerapkan dengan modifikasi yang sesuai karakteristiknya berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Dunia pendidikan Indonesia ujung tanduknya bukanlah pada administrasi memang, namun pada diri pribadi masing-masing guru. Adanya administrasi yang juga “ribet” bisa juga lahir dari pribadi yang menerjemahkan atau mengejawantahkan kurikulum dengan tidak tepat. Sebab banyak dijumpai dimedia masa atau podcast-podcast dan narasumber-narasumber yang kritis terthadap pendidikan, banyak yang membicarakan jika dari atas susunannya maksudnya sudah tepat namun ke bawah pelaksanaannya perlu di evaluasi. Artinya, persamaan persepsi itu perlu untuk mempermudah semuanya dan memajukan pendidikan di negeri ini. Apakah hal ini akan berlarut-larut? Tentunya jangan.
Bagaimana, agar semua guru dapat mengikuti perkembangan. Semua harus terjun ke lapangan. Tidak hanya sekedar menerima laporan. Dampingi tanpa intervensi sampai pada tahap 70 persen hingga 80 porsen, guru tumbuh kepemimpinan diri dan semua guru memiliki maindsite sevisi dan tindakan yang semisi untuk dunia pendidikan. Sehingga tidak ada yang dirugikan dalam dunia pendidikan atau lingkup kecilnya di sekolah. Yang muda/yang biasa bisa tidak selalu diandalkan bahkan selalu menjadi ujung tombak sekolah, namun harapannya setiap diri di tiap sekolah adalah ujung tombak yang saling dapat membantu satu sama lain dan tidak memberatkan yang lain.
Penyunting: Putra