Catatan Guru Milenial di Tengah Orang Tua Milenial - Guruinovatif.id

Diterbitkan 10 Mei 2022

Catatan Guru Milenial di Tengah Orang Tua Milenial

Dua tahun mendapat sebutan “guru”, bukanlah bagian sejarah yang mudah saya lupakan. Darinya, saya belajar banyak hal. Bahwa menjadi seorang guru, tidak sekadar duduk dan mengajari anak berhitung. Namun jauh di dalamnya, anak-anak butuh dibentuk dan dikuatkan karakternya. Kenapa? Karena tidak sedikit kita jumpai, anak-anak yang cerdas secara akademis, tapi ternyata kurang dalam segi emosi maupun etika. Benar?

Cerita Guru

Nimas achsani

Kunjungi Profile
2211x
Bagikan

Dua tahun mendapat sebutan “guru”, bukanlah bagian sejarah yang mudah saya lupakan. Darinya, saya belajar banyak hal. Bahwa menjadi seorang guru, tidak sekadar duduk dan mengajari anak berhitung. Namun jauh di dalamnya, anak-anak butuh dibentuk dan dikuatkan karakternya. Kenapa? Karena tidak sedikit kita jumpai, anak-anak yang cerdas secara akademis, tapi ternyata kurang dalam segi emosi maupun etika. Benar?

Maka, di situlah seorang guru, sudah seharusnya pasang badan. Untuk apa seorang anak didik lulus dengan predikat mengagumkan di lembar ijazahnya, tapi tidak bisa menghormati guru? Dari perjalanan tersebutlah, tulisan ini lahir. Tulisan tentang segala perasaan, pikiran dan kenangan yang saya dedikasikan untuk setiap anak didik dan orang tua yang pernah berhubungan baik dengan saya.  

Seorang Guru, yang Berdiri di Tengah Tuntutan Orang Tua

Ada orang tua yang pernah mengirim pesan singkat pada saya, intinya adalah ingin supaya anaknya bisa segera menguasai perkalian dasar.  Lalu, ada orang tua yang ingin anaknya menang saat mengikuti sebuah kompetisi. Juga ada yang meminta, supaya anaknya bisa berhitung cepat tanpa menggunakan jari. 

Tentu saja saya tidak bisa menjanjikan itu semua berhasil, terlebih dalam waktu yang singkat. Bayangkan saja, anak kelas 4 SD tapi belum hafal perkalian dasar sampai dengan 5, lalu bagaimana caranya supaya anak ini bisa hafal sampai 9?

Bukankah membuatnya hafal dan paham perkalian dasar sampai dengan 5, adalah yang paling penting? Saya, bisa saja membuatnya hafal, tapi jika itu segera hilang, maka ini kerugian untuk berbagai pihak. Saya, murid, orang tua dan tentu saja guru di sekolah.

Kemudian tentang kompetisi. Ada seorang ibu yang berkomentar “untuk apa bayar lomba kalau akhirnya kalah”.  Bayar atau tidak, tentu ini keputusan panitia. Kami, hanya bertugas menyampaikan informasi dan menyiapkan anak didik (jika memang ingin mengikuti kompetisi tersebut). 

Menang atau kalah, bukankah ini di luar kuasa para guru? Panitia memiliki indikator kemenangannya dan sebagaimana peserta lain juga berdiri dengan kerja kerasnya masing-masing. Tentu menjadi hal yang aneh, jika seorang anak yang katakanlah jarang sekali bertatap muka di satu bimbingan belajar tapi berharap pulang membawa kejuaraan saat berkompetisi. Benar?

Ada seorang anak berusia 5 atau 6 tahun saat itu, masih TK B. Kami (saya dan orang tuanya) sadar, jika anak ini memang kemampuannya untuk menerima hal baru tidak cepat. Namun, ada ambisi yang tersirat dari orang tuanya. 

Saat itu, teman seusianya sudah bisa menghitung sampai puluhan tanpa harus menggunakan jari atau mencoret di kertas. Sedangkan dia belum. Tentu saja ini juga permasalahan yang “banyak” terjadi. Banyak hal yang luput dari pandangan kita, tapi ketika seseorang mencapai sesuatu, kita juga ingin mendapatkannya. Mendapatkan hal yang sama. 

Namun, hal yang juga dilupakan adalah, bahwa anak-anak ini memiliki banyak hal yang tak sama. Mulai dari jam belajar, lingkungan hingga gaya hidup juga sangat berpengaruh.

Saya sampaikan kepada salah satu ibu, yang ingin agar anaknya bisa menghafal perkalian dasar “Bu maaf, ini saya tidak bisa terburu-buru. Saya bisa membuatnya hafal dengan cepat, tapi jika ternyata dia tidak paham konsep perkalian tentu ini tidak baik. Bagi saya, mengajar tidak hanya membuat anak bisa, tapi juga memahami konsep dan mengambil pelajaran.”

Apakah beliau marah? Tidak. Beliau setuju dengan saya. Sekarang anaknya sudah SMP, dan kami masih berhubungan dengan baik. 

Tidak salah memang jika orang tua punya tuntutan terhadap guru atau anaknya, itu adalah hal yang normal. Namun, ketika tuntutan itu tidak didukung dengan kenyataan yang sejalan, lalu bagaimana?

Haruskah memaksakan keadaan? Goals apa yang sebenarnya ingin kita dapatkan dari sebuah kegiatan pembelajaran? 

 

Saat Anak Didik Curhat, Kita Harus Apa?

Salah satu pengalaman yang juga tak terlupakan adalah saat anak-anak menceritakan kehidupan pribadinya, khususnya curhat tentang kedua orang tuanya.  Salah seorang anak perempuan menceritakan jika orang tuanya tidak tidur di kamar yang sama. Papahnya tidur di luar kamar, sedangkan dia tidur di kamar dengan mamahnya menggunakan kasur yang sangat empuk. 

Cerita itu sering sekali diulangnya. Sampai akhirnya saya coba berikan sebuah penjelasan dengan mencoba tidak menghakimi siapapun (karena tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi).

“Papah tidur di luar karena sayang sama kamu dan mamah. Papah ingin kalian berdua tidur di kasur yang empuk, dan memilih tidur di sofa supaya kalian tidur dengan nyaman. Kalau papah tidak sayang, pasti kamu disuruh tidur sofa, iya kan?”

Dia tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Beberapa hari kemudian dia mengadu lagi, bahwa papahnya melakukan hal tersebut memang karena sayang dengan anak dan istrinya. 

Lalu salah satu cerita juga datang dari anak pasangan petinggi salah satu bank swasta besar di Indonesia. 

Dia berkata, jika yang mengantar dan menjemputnya (sekolah dan les) adalah kakeknya, karena orang tuanya sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Salah satu yang dikeluhkannya adalah dia tidak bisa pergi ke mall bersama mamahnya di hari libur sekolah.

“Papah mamah kerja seharian karena sayang sama kamu dan kokoh. Kamu kan pengen sekolah ke luar negeri, jadi mereka kumpulkan tabungan yang banyak supaya kalian bisa sekolah yang jauh dan ikut banyak les”.

“Tapi aku kadang kangen papah sama mamah. Kalau aku mau tidur, mereka baru pulang. Aku mau main tapi sudah mengantuk”.

“Sama dong. Papah mamah pasti kangen kalian juga. Tapi mereka harus bekerja dan rapat seharian. Mereka juga mengantuk dan capek. Coba nanti malam bilang ke mamah, i love you mah”.

Minggu depan dia masuk dengan wajah sumringah, alasannya adalah karena mereka sekeluarga berlibur dan menginap di villa. 

Setiap anak yang curhat, selalu saya tambahkan “Kamu jangan ceritakan ini ke orang lain ya. Cukup ibu saja yang dengar”. 

Alasan saya hanya satu, tidak ingin agar masalah keluarga mereka dikonsumsi oleh orang banyak. 

Untuk teman-teman yang belum tahu, murid saya kebanyakan adalah anak pengusaha dan petinggi perusahaan. Keseharian mereka ditemani dengan pengasuh dan supir pribadi. Namun, apakah teman-teman tahu jika mereka ini saling bertukar berita?

Ya. Ada pekerja yang sangat rajin membicarakan urusan rumah tangga orang lain di depan ruangan. Bahkan, seringkali mereka menyampaikan berita tersebut pada kami -para guru-. 

Hal-hal seperti inilah yang ingin saya cegah. Menjauhkan anak didik dari pandangan negatif tentang orang tuanya adalah salah satu tujuan yang ingin saya tanamkan pada mereka. 

Ada yang mengeluh jika mamahnya cukup sering memaksa untuk les ini dan itu, sedangkan usianya belum genap 5 tahun. Berangkat sekolah pagi, sampai rumah menjelang malam hari. Mereka lelah, mengeluh dan melampiaskannya pada saya. 

“Kalau kamu tidak mau les, bilang ke mamah. Kenapa tidak mau les? Capek atau bosan? Kamu harus bilang ke mamah. Mamah bayar les ini itu untuk kamu. Kalau kamu tidak semangat, kasian papah mamah”.

Tidak Hanya Prestasi, Orang Tua Juga Ingin Anaknya Mengenal Etika

Hal ini tidak hanya disampaikan oleh satu dua orang wali murid. Alasan yang banyak disampaikan adalah karena anak-anak ini tidak takut dengan orang tuanya. Ketika orang tua ini melihat anaknya “mau” mengikuti saya, jadilah saya dapat “tambahan” tugas. 

Salah satu yang paling sering saya sampaikan pada anak-anak adalah berani mengucapkan kata permintaan maaf dan bersedia diam ketika ada seseorang yang sedang berbicara.

Seorang anak didik pernah bercerita, jika dia tidak sengaja melukai jari temannya hingga berdarah. Dia merasa bersalah tapi tak berani dan gengsi meminta maaf karena sudah disalahkan banyak teman (termasuk guru kelasnya). Mendengar runtutan ceritanya, saya berkata “Besok di sekolah, kamu minta maaf sama temanmu. Bilang kalau kamu tidak sengaja melukainya”. Dia hanya diam, tersenyum kaku sambil menahan tangis dan menggeleng.

“Kamu sedih sekarang?”, tanya saya. Dia mengangguk. 

“Kalau kamu tidak mau sedih, besok harus minta maaf. Tidak apa-apa jika dia tidak percaya, tapi ibu percaya sama kamu”. Dia hanya diam. Esoknya, saya dengar kabar gembira, jika dia sudah meminta maaf kepada temannya.

Banyak diantara anak didik saya yang tidak terbiasa mengucapkan kata maaf, pun dengan tolong. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah lingkungan. Mereka terbiasa dilayani oleh sopir dan ART pribadi, dan begitulah mereka bersikap.

Namun, saya tidak ingin mereka bersikap demikian terhadap para gurunya, terhadap teman, orang tua dan siapapun yang sedang bersinggungan dengan mereka. 

Saya bilang pada mereka, bahwa tugas saya tidak hanya mengajarkan mereka memahami konsep perhitungan dengan cepat tapi juga mengajarkan nilai-nilai kesopanan. 

Contoh kecil, saya tidak akan memulai pelajaran jika ada anak yang tidak bersedia menurunkan kakinya dari kursi. Bagi saya, sopan santun di dalam kelas adalah syarat mutlak. 

“Kalau kamu tidak suka dengan ibu dan pelajaran ini, silakan keluar. Tidak apa-apa. Tapi, jika kamu tidak sopan dengan ibu, maka orang tua kamu harus tahu ini”. 

Apakah teman-teman tahu, jika ada seorang murid pernah berkata “Ibu itu dibayar mamahku, sana ngadu sama mamahku kalau berani”. Dia adalah anak kelas satu sekolah dasar. Dia, juga murid yang sering membanting pintu dan melempar kursi di depan saya.

***

Lalu yang selanjutnya adalah bersedia mendengar. Mayoritas anak didik saya “sangat terbiasa” membantah dan menyela omongan orang yang lebih dewasa. 

Saya pernah berkata “kalau ibu sedang berbicara, kamu harus diam. Nanti, kalau sudah selesai, kamu bisa ganti yang berbicara. Memotong dan membantah omongan orang tua termasuk, bukanlah tindakan yang bagus”.

Namun masalahnya, tidak semua anak paham konsep ini, terlebih anak-anak TK A. 

“Apakah ada anak Tuhan yang suka membantah firman Tuhan?”, kalimat ini sering terlontar di dalam kelas. Kebanyakan anak-anak didik memang dari keluarga nasrani yang taat, sehingga mereka sangat ingin menjadi “anak Tuhan”.

Mereka menggeleng mendengar ucapan saya. 

“Tuhan juga tidak suka, jika ada anak yang suka berkata kasar, berteriak dan marah pada gurunya. Jika kamu ingin menjadi anak Tuhan, maka kamu bersikap baik kepada semua guru, termasuk ibu”.

Jadi, hampir semua murid dan orang tua tahu, jika saya tidak segan menghentikan kegiatan belajar jika ada anak yang bersikap tidak sopan di dalam kelas, khususnya di depan saya.

Termasuk ketika ada anak yang dengan sadar menggebrak meja di depan kami.

Menjadi Guru, Inilah Tujuan Saya Sesungguhnya

Memiliki anak didik yang berprestasi secara akademik memang membanggakan, tidak saya pungkiri. Melihatnya berdiri dengan membawa piala yang bahkan lebih besar dari tubuhnya, juga kebanggan bagi saya -gurunya-.  Namun, jauh di hati, membuat mereka memiliki pola pikir yang mau berkembang, memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi, memiliki daya juang dan tentu saja mengenal etika adalah tujuan saya. 

Cerita kali ini, datang dari salah satu murid kesayangan saya. Kami bertemu pertama kali saat dia masih TK A. Usianya 5 tahun, anak bungsu dari dua bersaudara, yang cukup kaya.  Semua rekan kerja tahu, bagaimana sikap anak ini. Bahkan orang tua dan sopir pribadinya pun tahu. Semuanya mengeluhkan hal yang sama, bahwa anak ini sulit diatur.

Di salah satu pertemuan, dia pernah begitu marah kepada saya lalu menarik kerudung saya. 

“Kamu boleh marah tapi jangan sekali-kali menyentuh kerudung ibu. Katamu, kamu ingin menjadi anak Tuhan, apakah Tuhan tidak akan marah jika melihat anaknya berbuat seperti kepada gurunya?”

Dia adalah anak TK yang sangat rajin beribadah. Agama kami memang berbeda. Akhirnya dia melepas genggamannya, menatap saya dengan mata berkaca-kaca. Saya persilakan dia minum dan memberinya jeda untuk menghentikan kegiatan belajar. 

Apakah ini hanya terjadi sekali? Tentu saja tidak. Membanting kursi, melempar pensil, menyobek buku hingga berteriak di depan saya juga pernah dilakukan.

Meski begitu, saya adalah satu-satunya guru yang mampu bertahan dengannya selama dua tahun. Dia adalah murid yang selalu menunggu di saya di depan kamar mandi ketika harus buang air kecil.

Dia juga murid yang selalu bilang tidak suka dan benci kepada saya, tapi dengan senyum yang khas anak kecil. 

Dia juga murid yang paling saya rindukan, sampai saat ini. 

Saat saya berpamitan kepada orang tuanya, jika tidak akan lagi mengajar, responnya membuat saya berderai air mata.

“Ngajar lagi nggak, bu? Nanti anak saya sama siapa dong? Kalau dia nggak mau belajar lagi gimana?”

Memberikan Kenangan Indah dengan Cara Belajar yang Lebih Menyenangkan

Salah satu hal yang menjadi pembelajaran cukup berkesan saat menjadi guru adalah mengenal berbagai karakter anak. Karakter-karakter inilah yang kemudian juga berperan dalam siklus belajar. Ada anak yang sangat ramah, tapi tak sedikit juga yang mudah marah. Ada anak yang terbuka, tapi tidak sedikit yang sangat tertutup. 

Hingga kemudian, saya dihadapkan pada satu kondisi, yakni kejenuhan. Tidak dipungkiri, belajar angka adalah hal yang kurang menyenangkan bagi sebagian anak. Tugas saya, adalah membuat kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kurikulum. 

Maka, muncullah ide-ide untuk membuat cara belajar yang menyenangkan. Selain ini lebih santai, cara ini juga bisa dijadikan sebagai pemanasan atau cooling down di setiap sesi kelas. 

Beberapa permainan yang saya buat di dalam kelas seperti membuat memory game berisi perkalian dasar, membuat ular naga untuk penjumlahan deret panjang, hingga membuat praktek perkalian dengan tempat pensil.

Untuk anak-anak visual, tentu belajar dengan cara ini lebih menyenangkan dan mudah dipahami. Benar? Sebagai guru, kita tidak bisa jika menuntut dan memaksa anak mengerti tentang apa yang kita ajarkan. Namun, kita juga memiliki kewajiban untuk memahami dan memfasilitasi apa yang mereka butuhkan. 

Tidak jarang, saya juga berdongeng di dalam kelas. Dongeng apa saja. Tentu saja anak TK jauh lebih bersemangat ketika mendengar dongeng tentang superhero. Maka, di sela-sela dongeng kewajiban saya adalah menyisipinya dengan materi pembelajaran.

***

Saya sadar betul, jika menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Salah seorang trainer yang amat sangat berjasa dan berkesan, sering kali berkata “Bekerjalah dengan hati, karena anak-anak ini tahu apa yang kita rasakan”.  Berhadapan dengan anak-anak setiap hari, membuat saya memahami, bahwa yang mereka butuhkan bukan hanya sosok guru yang tegas tapi juga teman yang bersedia mendengar cerita receh mereka. 

Untuk semua anak yang pernah duduk bersama, saya sangat menyayangi kalian, kemarin, hari ini dan selamanya. 
 

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Setelah Drakor dan Ngopi

Iin Nuraini

Jan 19, 2024
5 min
Di Balik Gerbang Sekolah

andya satya

Apr 21, 2022
2 min
“Media mengajar murah, tapi hasilnya wah!”
4 min
Siswa Merdeka dengan Karakternya

DONO SETIAWAN

Jul 23, 2022
3 min
Kisah Saya Menjadi Guru Literasi di Tengah Pandemi Covid-19
3 min
Tetap Berliterasi Kala Pandemi

Bona Ventura

May 09, 2022
7 min

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB

Kursus Webinar