Buku Joko Pinurbo yang baru kubeli berjudul “Salah Piknik" (2021) masih terbuka di meja kantor. Meski sudah dua hari datang, buku puisi tersebut masih terbuka di halaman 21. Kecepatan membaca yang payah menurutku. Sedangkan, banyak koreksian Penilaian Akhir Semester 1 yang menumpuk, masih belum terjamah. Laptop juga dari pagi terbuka dan terus menyala di halaman itu-itu saja. Tugas PPG yang sedang kujalani selalu menunggu setiap harinya dan harus diunggah pada pukul 6 sore. Jika mataku lelah menatap layar, sesekali kubuka halaman buku yang ada di mejaku dengan acak. Karena kebetulan buku Jokpin yang berada di atas, lalu kubaca setengah lantang, “Zaman terus berganti, tetapi aroma sayur lodeh, tempe garit, dan sambal yang dimasak seorang ibu akan selalu membayangi hidup anaknya/ Jos, Bapak pintar seperti pujangga/ Tidak pintar, cuma paham/ Bapak cocok jadi guru/ Ogah, males mikir yang berat-berat”. Penggalan puisi berjudul ‘Khotbah di atas Becak’ itu membuatku berhenti. Percakapan antara tukang becak dan penumpangnya itu tak sepenuhnya salah. Justru saat ini, kubenarkan dengan penuh keegoisan. Ya, setidaknya, pada saat ini, detik ini aku merasakan apa yang dikatakan pak becak tersebut. Ada kalanya aku tak mau mikir yang berat-berat. Namun ternyata, rutinitas yang kulakukan sebagai guru selama puluhan tahun ini tak selamanya adem ayem karena trade-record yang aman.
Secara profesi, guru memang menjadi sorotan baru karena terdapat temuan bahwa tingkat stres pada profesi ini lebih tinggi. Dalam pidatonya di HUT ke-78 PGRI dan HGN tahun 2023 saja, Pak Jokowi mengungkapkan kegelisahannya karena masalah stres yang tinggi pada guru. Seperti yang dikutip di Antara News Bali, hal ini tak melulu karena perihal siswa, namun juga karena faktor perubahan kurikulum dan penggunaan teknologi. Tak menyangkal, karena perubahan zaman maka guru pun harus bisa beradaptasi dan harus ikut berlari sekencang perkembangan zaman. Kompetensi guru yang beragam, dengan berbagai tingkat umurnya tak bisa disamaratakan begitu saja. Sepertinya tuntutan agar setiap guru harus melek teknologi itu agak berlebihan. Guru yang berumur rata-rata 50 tahun lebih, masih tergagap dengan teknologi. Meski tak dipungkiri ilmu ‘terpaksa’ untuk belajar agar bisa menggunakan LCD, menggunakan aplikasi rapor tentu memiliki effort yang tidak main-main. Sisanya, guru-guru akan pasrah dan memilih terima jadi meski mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi ‘pajak teknologi’ ini.
Untuk guru-guru muda dan guru yang masih produktif meski berumur kepala empat seperti saya, mempunyai pilihan yang beragam dalam menghadapi tekanan dan tuntutan kerja di sekolah. Berhadapan dengan permasalahan dengan murid, administrasi harian, bulanan dan tahunan bisa dilakukan meski agak sambat. Hal yang sering membuat penat di kepala itu ketika guru-guru yang masih punya ambisi dan menolak diam ini memiliki naluri untuk menyantap apa saja tantangan yang dihadapinya. Selain karena faktor idealisme, namun jiwa berkompetisi dengan rekan sejawat dan lingkungan sekolah yang maju, membuat guru terus bergerak dan tergerak mengikuti pelatihan kompetensi lewat program Guru Penggerak atau workshop-workshop di dunia pendidikan. Kebutuhan guru milenial yang membludak ini, menuntut diri untuk terus berkembang dan malu jika berdiam diri. Mental seperti itu adalah mental impian dan mental idealis yang diidam-idamkan di dunia pendidikan Indonesia.
Apakah semua tempaan itu tak menimbulkan suara? Tak menimbulkan perubahan? Jelas banyak menimbulkan perubahan. Mental yang tahan baja, otot kawat balung wesi ini merasa lebih siap dan sigap menghadapi permasalahan di sekolah. Namun, bagaimana pengaruhnya mental secara individual? Sambat dan lenguhan jelas terdengar ketika mereka keluar dari kelas dan berkelakar mengeluarkan uneg-unegnya. Uniknya, guru zaman now dapat mengantisipasinya dengan healing tipis-tipis secara lebih beragam. TikTok-an, berselancar di Instagram, Facebook maupun nonton Drama Korea di sela-sela mengajar. Tak lupa mereka menulis caption bersamaan video TikTok yang ia bagikan ‘jangan lupa bahagia’.
Di sela-sela kegiatannya mengikuti Calon Guru Penggerak, teman saya asyik menonton Drama Korea sambil makan siang di meja kantornya. Meski pemandangan di mejanya tak jauh beda dengan saya yang penuh dengan koreksian, ia juga tak terganggu sedikitpun dengan suasana ramai karena obrolan teman guru lain, ia tetap khusyuk melihat adegan heroik di layar HP nya. Ia mengaku, demi kewarasan jiwanya ia harus mencari hiburan di sela kesibukannya mengikuti program CGP dan mengajar. Meski lelah, ia merasa bisa lena dan terhibur dengan tuntutan-tuntutan tugasnya di depan mata. Ia sesekali membahas isu-isu terkini yang relate dengan drama yang ia tonton. Meski hanya 15-30 menit saja, hiburan murah meriah itu dapat memberi arti dan memang mujarab. Buktinya, ia oke-oke saja dengan kesibukan yang luar biasa namun tetap bisa asyik mengaktualisasikan dirinya.
Sedangkan hormon-hormon endorfin saya bekerja dengan maksimal ketika makan dan minum dengan orang yang nyaman. Undangan meet-up dan makan siang bersama sering saya nantikan meski di tengah kesibukan dan pressure dari pekerjaan. Tanggungjawab-tanggungjawab yang ada di pundak memang tak mesti dipenuhi dengan kaku. Saya lebih memilih merilekskan otak dan tubuh dengan makan enak dan ngobrol remeh dengan teman dekat. Sebuah ajakan makan siang bareng meski berdua atau bertiga dengan teman di luar kantor akan lebih memecah kebuntuan saat mengerjakan tugas. Kadang, dengan otomatis jari mengetik di HP, “ayo makan!” pada seorang teman. Kepala penat dan kadang pusing membuat pikiran tidak fokus, ingin sekedar lari dan curhat pada seseorang. Urusan mendengar itu tak mudah. Dan hanya sedikit saja teman yang memiliki bakat ‘mendengar’ itu. Di suatu tempat, pukul sekian, dan menu favorit akan menjadi sebuah pelarian yang bagus untuk sementara.
Dalam Psikologi gizi, perilaku makan dan perubahan emosi manusia sangat berpengaruh. Ternyata antara nafsu makan dan saluran pencernaan berada dalam kendali susunan syaraf pusat, dalam arti perilaku makan dapat kita atur sendiri. Dengan menu makan atau minuman yang kita sukai membuat perasaan jadi lebih baik. Dorongan makan ini mungkin jadi sebuah penghiburan bagi diri kita saat kita stres, depresi, panik, bahkan cemas. Ketika pikiran terasa berat, saya akan membuat kopi susu hangat sehingga mood saya bisa kembali membaik. Meski tidak penggemar kopi, namun rasa manis dan hangat tersebut membuat perasaan saya lebih tenang. Menu yang ringan dan manis ini lebih saya pilih ketika bertemu teman. Selain mengubah mood, obrolan ringan bersama teman juga membuat hati terasa plong. Jenis guru yang overthinking mungkin lebih baik memilih cara saya ketimbang terjebak dalam pemikiran dan kekhawatiran yang berlebihan. Dalam ilmu sosial, menggosip memang sudah ada ribuan tahun yang lalu, dalam artian saling memberi kabar meski acuh perihal kebenaran. Esensi saling bertukar kabar, informasi ini sangat berfaedah dan dapat meminimalisir tekanan hidup yang berat.
Siapa sangka, Drama Korea, meet-up bersama teman, mengobrol dengan menyantap makanan dan minuman kesukaan akan menjaga kewarasanmu. Tertawa dan bercandalah mengendorkan urat syaraf sehingga otakmu tak bekerja terlalu keras. Mungkin kau juga bisa berjalan-jalan di mall, di toko buku loak atau sekedar makan di warung hik dan ber-haha hihi dengan penjualnya akan melepas penatmu seharian bekerja mengejar dunia. Sangat tepat ketika penyair Joko Pinurbo menulis sajaknya pada tahun 2019 berjudul Surat Kopi; Lima menit menjelang minum kopi/ Aku ingat pesanmu; ”Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi"/ Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari/ bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri. Selamat berjuang menjaga kewarasan teman-teman guru!
(Solo, 10 Desember 2023)
Penyunting: Putra