Belajar Tak Harus Diam dan Duduk: Menggugat Stereotip Kelas Tradisional - Guruinovatif.id

Diterbitkan 09 Mei 2025

Belajar Tak Harus Diam dan Duduk: Menggugat Stereotip Kelas Tradisional

Belajar tak harus diam dan duduk. Setiap anak punya cara unik untuk memahami dunia—saatnya ruang kelas menyesuaikan, bukan menyeragamkan.

Metode Mengajar

Jaja Nurjalil,S,Pd.

Kunjungi Profile
54x
Bagikan

Di banyak ruang kelas, kita masih menemukan satu gambaran yang begitu lazim: murid duduk rapi di kursi, menghadap papan tulis, mendengarkan guru bicara. Tidak boleh ribut, tidak boleh berjalan-jalan, dan tentu saja: tidak boleh terlihat "terlalu aktif". Kalau ada anak yang melompat-lompat, berdiri dari kursinya, atau bicara terus menerus—label "nakal", "tidak disiplin", atau "tidak bisa fokus" sering langsung disematkan.

Tapi, benarkah semua anak belajar dengan cara yang sama?

Bisakah kita tetap menyebut seseorang tidak belajar, hanya karena mereka tidak bisa duduk diam?

Cara Belajar yang Tidak Seragam

Psikologi perkembangan dan pendidikan sudah sejak lama mengakui bahwa anak-anak memiliki gaya belajar yang berbeda. Beberapa anak lebih cepat menangkap informasi dengan melihat (visual), ada yang lebih kuat lewat mendengar (auditori), dan tidak sedikit yang butuh bergerak langsung (kinestetik) untuk memahami sesuatu.

Ambil contoh seorang anak yang tak bisa duduk diam saat pelajaran matematika. Ia tampak gelisah, sering berjalan ke belakang kelas, atau memainkan tangannya. Tapi ketika diberi alat bantu berupa benda konkret atau permainan fisik seperti board game berhitung, ia justru menunjukkan pemahaman yang kuat. Anak ini bukan tidak bisa belajar—ia hanya tidak cocok dengan cara belajar yang diam dan pasif.

Masalahnya, sistem pendidikan kita cenderung hanya mengakomodasi satu jenis siswa: yang bisa diam, mendengarkan, dan mengikuti aturan baku. Padahal, dunia anak jauh lebih berwarna dari itu.

Pendidikan Berdiferensiasi: Mengajar dengan Empati

Inilah yang menjadi inti dari pendidikan berdiferensiasi—sebuah pendekatan yang mengakui dan menghargai perbedaan individu dalam belajar. Konsep ini menekankan bahwa guru tidak bisa memperlakukan semua murid dengan cara yang sama dan berharap hasil yang sama pula. Setiap anak memiliki latar belakang, minat, gaya belajar, dan kesiapan yang berbeda.

Dalam praktiknya, pendidikan berdiferensiasi mengajak guru untuk menyesuaikan tiga hal:

  1. Konten – Materi atau topik apa yang diajarkan.

  2. Proses – Bagaimana materi itu disampaikan.

  3. Produk – Bagaimana murid menunjukkan apa yang telah mereka pelajari.

Sebagai contoh: dalam pelajaran sejarah, ada murid yang lebih suka menulis esai, ada yang ingin membuat presentasi, dan ada yang mampu membuat video pendek. Ketiganya valid. Ketiganya menunjukkan pemahaman, walaupun dengan cara yang berbeda.

Belajar Boleh Sambil Berdiri, Bahkan Berlari

Sudah waktunya kita berhenti berpikir bahwa anak yang bergerak artinya tidak memperhatikan. Dalam kenyataannya, banyak anak belajar justru dengan bergerak. Anak-anak dengan gaya belajar kinestetik atau anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti ADHD seringkali lebih fokus ketika tubuh mereka tidak dipaksa untuk diam.

Beberapa sekolah progresif bahkan sudah mengadopsi “kelas fleksibel”—ruang belajar yang tidak lagi mengharuskan semua anak duduk di kursi yang sama. Ada yang duduk di bean bag, ada yang belajar sambil berdiri, bahkan ada pojok gerak untuk anak yang butuh aktivitas fisik. Hasilnya? Bukan kekacauan, tapi justru peningkatan partisipasi dan kenyamanan belajar.

Tantangan bagi Guru: Dari Mengatur ke Memfasilitasi

Tentu, pendidikan berdiferensiasi bukan tanpa tantangan. Bagi guru, ini menuntut observasi lebih dalam, pemahaman akan karakter tiap anak, dan fleksibilitas dalam menyusun kegiatan belajar. Tidak mudah mengelola 30 anak dengan kebutuhan berbeda dalam satu kelas. Tapi bukan berarti tidak mungkin.

Kuncinya adalah mindset. Pendidikan bukan tentang “mengontrol” siswa agar semua sama, tapi tentang membuka ruang agar semua bisa berkembang dengan caranya masing-masing. Ini bukan berarti guru harus membuat 30 rencana belajar berbeda setiap hari. Tapi cukup dengan menyediakan beberapa pilihan, memberi ruang untuk bergerak, dan bersedia mendengar kebutuhan siswa—itu sudah jadi langkah besar.

Kita Semua Pernah Merasa Berbeda

Menariknya, jika kita jujur pada diri sendiri, mungkin kita pernah merasa seperti anak-anak itu. Merasa bosan di kelas, tak nyaman duduk terlalu lama, ingin belajar dengan cara lain. Maka ketika ada anak yang menunjukkan tanda-tanda itu, alih-alih menghukumnya, mengapa tidak kita dekati dan tanyakan: "Kamu lebih suka belajar seperti apa?"

Pertanyaan sederhana itu bisa membuka pintu menuju pengalaman belajar yang lebih bermakna.

Penutup: Saatnya Belajar dengan Manusiawi

Belajar bukan hanya soal isi kepala, tapi juga tubuh dan emosi. Anak-anak bukan robot yang bisa duduk 40 menit dan menyerap informasi secara pasif. Mereka adalah manusia kecil dengan energi besar, rasa ingin tahu yang luas, dan cara unik dalam memahami dunia.

Maka mari kita hentikan anggapan bahwa belajar hanya bisa terjadi jika anak duduk diam. Karena dalam realitasnya, banyak anak justru belajar lebih baik ketika mereka diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri.

Dan jika pendidikan adalah untuk semua anak, maka cara mengajarnya pun tak boleh satu saja.


Penyunting: Putra

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Pendekatan Deep Learning Menggunakan Model Project Based Learning pada Anak Usia Dini
GI Class #88: Dream Goal Teacher 2024 “Semester Baru, Semangat Baru”
3 min
GI Class #89: Bedah Modul Ajar Kurikulum Merdeka
4 min
Pembelajaran Berbasis Proyek dan Manfaat Penerapannya di Kelas
6 min
Komunitas