Isu tentang kesehatan mental menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan. Setiap zaman akan memiliki pertarungan yang selalu siap dimenangkan dan sepertinya kali ini, mental masing-masing orang adalah pertarungan itu sendiri.
Menurut Elsa Savitrie, SKM, M.Kes - RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang pada situs Kementerian Kesehatan, Kesehatan mental dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, atau stres berat jangka panjang.
Setiap pekerjaan pasti akan mengalami tekanan. Baik itu pekerjaannya sendiri ataupun lingkungan kerjanya. Demikian pula bagi seorang guru. Sebagai profesi yang mengharuskan bertemu dengan belasan atau bahkan puluhan orang dalam sehari tentu memberikan tekanan tersendiri. Belum lagi, dengan dunia pendidikan kita dewasa ini yang meninggalkan seabrek administrasi semakin membebankan pekerjaan seorang guru yang bukan lagi hanya mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan amanat Undang-undang, melainkan mengurusi kurikulum yang berganti begitu mudahnya.
Faktanya, profesi guru sekarang ini dihadapkan pada banyaknya tuntutan. Tuntutan peningkatan kompetensi mereka sebagai guru, tuntutan tugas administratif, belum lagi guru yang rangkap jabatan-entah memiliki jam mengajar di dua sekolah atau jabatan menjadi tenaga administrator. Hanya beberapa persen saja dari mereka yang masih menikmati momentum berharga dan memuaskan dengan identitasnya sebagai guru, digugu dan ditiru.
Kompleksitas dari profesi guru inilah yang menjadikan kesehatan mental mereka sesuatu yang patut diberikan perhatian. Tidak jarang para guru selepas jam mengajar dan kembali pada kehidupannya di rumah, merasa separuh jiwanya seolah berhamburan jatuh dan hanya tersisa untuk tetap mempertahankan kewarasan dalam lingkup sosial yang lain. Karena patut dipahami, seseorang yang sudah menaruh pikiran, emosional dan identitas dirinya dalam sebuah pekerjaan dapat mengalami tekanan psikologis yang cukup berat ketika pekerjaan tersebut tidak berjalan sesuai ekspektasinya. Dan fatalnya, hal ini berdampak tidak hanya bagi guru tersebut, melainkan ke seluruh lingkup sosialnya. Termasuk kepada peserta didik yang akan bertemu pandang dengan sang guru.
Bayangkan bagaimana ketika guru mengalami kondisi mental yang buruk, tetapi harus masuk ke dalam kelas. Menjalankan proses pembelajaran dan menyapa peserta didik-tanpa tahu menahu kondisi sang guru. Dan ternyata, kondisi kelas tidak sedang kondusif. Seluruh metode pembelajaran yang dirancang tidak berjalan sesuai rencana, peserta didik amburadul, yang sudah pasti hal ini seperti menyiram bensin ke dalam api. Guru dengan kondisi mental yang sebelum masuk kelas sudah buruk, maka akan meledak. Dan, hal ini bisa berakibat sangat fatal nantinya.
Dalam kasus seperti ini, tentu guru memerlukan strategi dalam mengelola kesehatan mental mereka. Ibarat sebuah karet, yang memiliki ambang batas elastisitas, maka guru harus mengetahui ambang batas kenormalan dalam pikirannya. Menjaga jarak dari kecemasan berlebihan, perasaan negatif yang berakhir merugikan dan kelelahan fisik yang berakibat kelelahan mental. Guru harus mengerti bahwa profesi mereka sebagai guru, yaitu mengenalkan dunia pada peserta didik, mendampingi mereka menemukan jati diri mereka, bukan memaksakan cita-cita profesi tertentu pada siswa. Maka, jika kondisi peserta didik tidak berkesesuaian dengan ekspektasi sang guru, maka guru tidak harus merasa gagal.
Guru juga harus menyadari bahwa profesi mereka adalah panggilan jiwa. Dan mereka yang memilih profesi ini berarti sudah berkomitmen untuk memberikan 1000% dari 100% yang mereka miliki. Fokus pada tujuan awal saat menjadikan profesi guru sebagai identitas, sehingga ketika mulai bosan dengan rutinitas yang melelahkan, kita akan mengingat bagaimana ini berawal.
Penyunting: Putra