Secara lahiriah manusia menyukai hal yang alami. Demikian juga masyarakat Indonesia, dengan deretan panjang sejarahnya memiliki kapasitas yang lebih naluriah. Masyarakat yang lekat dengan tradisinya tumbuh serasi dengan harmoni alam. Dalam bukunya “Mempertimbangkan Tradisi” (1983 : 8) Rendra menyebut kebudayaan tradisional kita adalah kebudayaan alam. Kita tidak menguasai alam, namun mengharmonisasikan diri dengan alam. Bahkan tradisi mengajarkan satu pandangan hidup pun, menyerah pada alam semesta. Beginilah nasib bangsa yang sebenarnya sudah mengenal abjad tulisan tapi tradisi kebudayaan kita tidak pernah meningkat pada kebudayaan tulis. Kita terperangkap dengan penyampaian yang sangat alamiah : lisan.
Tidak mengherankan jika kita sebagai masyarakat global, tumbuh sebagai masyarakat yang geragapan, kagetan menerima unsur-unsur yang baru. Dengan dramatis mereka bereaksi seolah-olah berita atau kabar yang diterima adalah benar. Itulah bangsa kita. Dengan mudah hoax disebar untuk tujuan mendiskreditkan suatu kaum, golongan bahkan agama. Rakyat dengan keterbatasan informasi (karena budaya alamiahnya) sangat mudah menelan bulat-bulat berita bohong tanpa usaha mencari kebenarannya. Maka, sempurnalah masyarakat madani penuh hoax di negeridemokrasi ini!
Dalam jurnalistik, hoax bukanlah hal yang baru. Kata "hoax" berarti berita bohong atau menjurus pada pencemaran nama baik. Hoax adalah informasi palsu, berita bohong atau fakta yang dipelintir dan direkayasa untuk tujuan lelucon atau serius (politis). Sebelum menyebar di media sosial. Hoax dikenal pertamakali tahun 1808 dan ratusan tahun sebelum itu kata Hoax berasal dari "hocus" dari mantra "hocus pocus", frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa "sim salabim".
Jika kita dapat meluangkan waktu,kita dapat mengidentifikasi berita tersebut hoax atau bukan. Pertama, berita tersebut dapat mengakibatkan kecemasan, kebencian, dan permusuhan. Kedua, sumber berita tidak jelas. Biasanya cenderung menyudutkan pihak tertentu. Ketiga, bermuatan fanatisme atas nama ideologi, judul, dan pengantarnya provokatif, memberikan penghukuman serta menyembunyikan fakta dan data. Keempat, menggunakan huruf kapital, huruf tebal (bold), banyak tanda seru, dan terakhir penyebar hoax biasanya menuliskan: “copas dari grup sebelah” atau “kiriman teman”.
Jika menemukan berita di seperti diatas, sikap pertama adalah jangan langsung percaya. Perlu klarifikasi pada sumbernya terutama dapat mengecek melalui gambar. Foto atau gambar tersebut dapat kita cek dengan membuka Google Images. Klik ikon kamera dan upload gambar yang akan dicek atau copy-paste link/url gambar yang akan dicek kebenarannya. Dengan mengecek judul berita, sumber berita, gambar, dan alamat website kita dapat mengecek apakah berita tersebut fakta atau hanya opini.
Berita hoax dengan bahasanya yang provokatif dapat dengan mudah menggiring pembaca untuk membenci pihak tertentu sehingga menimbulkan keresahan dan perpecahan. Kebencian yang ditimbulkan akan mendorong seseorang untuk menyampaikan berita-berita tersebut sebanyak-banyaknya. Dampak negatif tersebut hampir sulit untuk dibendung jika berhubungan dengan SARA (suku, agama, ras, antar golongan) dan politis. Kebencian ada dimana-mana. Kata kehabisan bahasa damai. Bahkan di bidang pendidikan dan kesehatan pun tak luput dari incaran kelompok penyebar berita hoax.
Informasi yang sesungguhnya tidak benar tapi dibuat seolah-olah ada akan mengakibatkan dampak buruk bagi banyak pihak. Pertama, generasi muda akan tersita waktunya. Mereka yang langsung percaya dengan berita tersebutakan mudah terprovokasi sehingga meneruskan berita tersebut tanpa mengklarifikasi. Kedua, memicu perpecahan antar dua kelompok atau beberapa kelompok. Ketiga, dapat menurunkan reputasi pihak yang dirugikan. Keempat, menguntungkan pihak tertentu, dan terakhir, hoax membuat berita fakta tidak bisa dipercaya lagi.
Secara massive, perlu adanya edukasi untuk anak-anak, orang tua dan juga masyarakat umum. Edukasi sejak dini perlu digerakkan dalam rangka manangkis serangan-serangan hoax yang merugikan banyak pihak. Secara fisik, masyarakat perlu kesadaran diri untuk meninggalkan budaya instan, budaya langsung jadi yang selama ini menjadi momok masyarakat kita. Kurangnya kesadaran akan informasi yang benar dipengaruhi oleh tingkat pndidikan yang rendah. Mayoritas masyarakat Indonesia yang lulusan Sekolah Dasar dan SMP adalah sasaran empuk para penyebar hoax.
Secara pribadi, kita harus sadar untuk mulai memasang alarm terhadap berita hoax yang secara tidak langsung merugikan diri kita sendiri. Alarm itu berupa edukasi sedini mungkin. Tiga komponen utama dalam proses edukasi tersebut adalah di keluarga, sekolah dan diantara lingkungan keluarga dan sekolah yakni masyarakat. Sedari kecil, anak melekat dengan aturan-aturan yang dibiasakan di keluarga. Pembiasaan yang baik ditanamkan mulai anak prasekolah.
Ingatan anak akan melekat pada ajaran Ayah dan Ibu. Disinilah Ayah dan Ibu memulai perannya sebagai guru dan menanamkan cinta membaca dari kecil. Dari membaca wawasan anak semakin luas. Dia semakin terangsang dengan segala sesuatu yang tidak ia ketahui. Manfaatkan momen itu untuk menyematkan hal-hal yang perlu dihindari misalnya anak-anak jangan mudah percaya pada ajakan orang asing, atau orang yang belum dia kenal. Jangan mudah percaya dengan berita yang ia dengar.
Di sekolah, peran guru sebagai orang tua anak-anak ketika di sekolah harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Ikon guru hanya pentransfer ilmu pada anak harus kita ubah. Anak bukanlah bejana kosong yang semata-mata kita isi sampai penuh. Jika guru hanya bertugas mentransfer ilmu dan anak hanya menerima, maka generasi yang didapat hanyalah generasi instan. Generasi yang bermental instan, tidak mengenal proses. Mereka akan lagsung menerima mentah-mentah tanpa membuktikan kebenarannya.
Sekolah adalah lahan yang subur untuk menumbuhkan sebanyak-banyaknya informasi. Kegiatan-kegiatan sosialisasi ‘menangkal berita hoax’ perlu digerakkan agar anak tidak gagap terhadap berita di media. Tujuannya untuk menciptakan siswa yang tanggap terhadap serangan berita hoax. Generasi yang aktif, kreatif, dan kepo (ingin tahu) perlu ditumbuhkan agar siswa dapat jadi agen pemberantasan berita hoax. Kenapa tidak, siswa sangat berkompeten meneruskan informasi yang sesuai fakta kepada orang tua, juga pada masyarakat. Tanpa mengikuti komunitas anti hoax pun, informasi mouth-to-mouth dapat memperpanjang keabsahan informasi yang sebenarnya.
Karena berita hoax bertubi-tubi menyerang masyarakat Indonesia, pemerintah mulai menggencarkan gerakan literasi media untuk menangkal berita-berita bohong yang banyak menyesatkan persepsi masyarakat. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, salah satu cara yang akan dilakukan pemerintah untuk melakukan literasi media tersebut yakni dengan meluncurkan gerakan Masyarakat Anti Hoax. Dengan melibatkan komunitas-komunitas dalam kampanye literasi media, diharapkan agar masyarakat dapat memilah informasi yang mereka terima serta dapat menggunakan media sosial dengan bijak.
Sayang, tingkat literasi yang dimiliki masyarakat Indonesia masih rendah. Dengan demikian pola pengajaran di Indonesia seharusnya menuntut masyarakat lebih kritis. Pentingnya edukasi dini dari keluarga dan sekolah sangat berpengaruh pada respon di masyarakat. Anak-anak yang kelak dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat akan menyumbangkan ide pikirannya untuk kemajuan masyarakat tempat ia tinggal. Bermula dari pengetahuan dasar tentang literasi, masyarakat akan lebih mudah melacak berita bohong berbekal pengetahuan yang cukup.
Penyunting: Putra