Pendidikan, sebagai pondasi masa depan, menempatkan guru sebagai arsitek utama dalam merajut kisah sukses bagi generasi bangsa. Melibatkan diri dalam misi mulia ini, para guru menjelajahi beragam cara untuk membimbing dan membentuk karakter para siswa. Jauh dari anggapan umum yang menyebutkan bahwa peran guru hanya sebatas memberikan pelajaran, kenyataannya mengungkapkan peran yang jauh lebih mendalam dan kompleks.
Presiden Joko Widodo dengan lugas mengakui bahwa tingkat stres yang dialami guru melampaui profesi lainnya. Penyebabnya kompleks, mulai dari perilaku siswa, perubahan kurikulum, hingga kesulitan beradaptasi pada perkembangan teknologi. Dalam dinamika tuntutan profesi yang berat serta kebijakan yang menuntut dengan harapan yang tinggi, para guru seringkali terjebak dalam labirin tanpa ujung, di mana tugas-tugas yang bertumpuk membawa mereka pada ambang krisis kesehatan mental.
Kesehatan mental guru muncul sebagai sorotan krusial. Mereka yang penuh dedikasi dalam membentuk generasi penerus, juga merupakan manusia dengan kebutuhan kesehatan mental yang tak dapat diabaikan. Dukungan dan pengakuan atas perjuangan mereka menjadi semakin mendesak, seiring dengan pemahaman bahwa mencetak generasi berkualitas memerlukan guru yang juga berkualitas dalam segi kesehatan mental.
Sebagai respons terhadap tantangan ini, konsep "Ruang Guru untuk Tumbuh" hadir sebagai solusi. Tak lagi hanya sekadar tempat pengajaran, ruang ini menjadi simbol kebutuhan akan lingkungan yang mendukung perkembangan kesehatan mental guru. Konsep “Ruang Guru untuk Tumbuh” mengadopsi dimensi-dimensi pada pendekatan School Well-being.
Secara naluriah, sebagai manusia, seseorang berusaha mengejar kebahagiaan dan menjalin keseimbangan dalam perjalanan hidupnya. Diener (1984), seorang ahli dalam psikologi positif, mengungkapkan bahwa kesejahteraan atau well-being berperan besar dalam membentuk sikap dan emosi manusia. Ketika seseorang merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam situasinya, ciri khas sikap dan emosi positif cenderung muncul. Sebaliknya, jika seseorang tidak merasa bahagia dengan keadaannya, cenderung muncul rasa cemas dan terpancarlah sikap serta emosi yang negatif. Jelasnya, kebahagiaan atau ketidakbahagiaan seseorang memiliki dampak yang signifikan terhadap bagaimana mereka memandang dan mengekspresikan diri mereka di dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga:
Mengenal Konsep School Well-being: Pendidikan yang Melampaui Batas Akademik
Konsep School Well-being yang diusung oleh Allardt (Konu et al., 2002) merinci pemenuhan kebutuhan khusus dalam diri individu guru di lingkungan sekolah. Konu et al., (2002) menyoroti kondisi di mana setiap individu dapat memenuhi kebutuhan dasarnya di lingkungan sekolah melalui School Well-being. Konsep ini mengacu keyakinan bahwa ketika kebutuhan individu guru di sekolah terpenuhi, maka kesehatan mental guru pun dapat terjaga. School Well-being mencakup empat dimensi yaitu; (1) having (kondisi/situasi sekolah), (2) loving (hubungan sosial), (3) being (pemenuhan diri), dan (4) health (kesehatan siswa/guru secara menyeluruh).
Having (kondisi/situasi sekolah) yang melibatkan elemen-elemen materiil dan non-materiil lingkungan fisik di sekitar sekolah, kondisi ruang belajar, dan berbagai layanan yang diberikan oleh sekolah. Menciptakan sekolah berbasis adiwiyata adalah langkah konkret dalam mencapai aspek having (kondisi sekolah) dalam School Well-being. Adanya lingkungan yang nyaman, hijau, dan bersih dapat memberikan tempat yang menyenangkan bagi guru untuk bekerja. Hal ini dapat mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kepuasan kerja guru (Kaplan & Berman, 2010).
Loving (hubungan sosial) merupakan dimensi yang berfokus pada membangun dan merawat hubungan positif di antara semua anggota komunitas sekolah. Menciptakan budaya sharing session merupakan langkah konkret dalam menciptakan aspek loving. Kebebasan berekspresi pada forum yang tepat dapat menjadi kunci dalam meningkatkan kesehatan mental guru karena memberikan ruang untuk menyampaikan emosi secara positif, mengurangi beban mental, dan meningkatkan kesejahteraan psikologis (Fredrickson, 2001).
Being (pemenuhan diri) menekankan pemenuhan kebutuhan individu dan perkembangan pribadi. Salah satu langkah konkret adalah menyelenggarakan program pengembangan profesional yang tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga memperhatikan pengembangan keseimbangan hidup, manajemen stres, dan kesejahteraan psikologis guru (Ingersoll & Strong, 2011). Lebih jauh terdapat beberapa sekolah yang sudah menerapkan program untuk pengembangan kapasitas guru seperti; Satu Guru Satu Buku, melakukan studi kolaboratif dengan guru sekolah lain, dan memberikan beasiswa bagi guru untuk belajar.
Health (kesehatan guru) menekankan pada kesehatan fisik dan mental guru, memastikan lingkungan yang mendukung kesejahteraan menyeluruh. Menciptakan program olahraga untuk guru setiap Jumat atau Sabtu merupakan langkah konkret dalam pemenuhan aspek health. Olahraga dapat meningkatkan produksi hormon endorfin, yang dikenal sebagai "hormon kebahagiaan." Endorfin memiliki efek analgesik (penghilang rasa sakit) dan meningkatkan perasaan positif (Craft & Perna, 2004).
Dalam keempat dimensi tersebut, Konsep "Ruang Guru untuk Tumbuh" merujuk pada ruang-ruang yang diperlukan oleh guru untuk terus berkembang dalam lingkungan kerja dengan kesehatan mental yang baik. Ruang-ruang ini mencakup ruang bekerja, ruang berekspresi, ruang belajar, dan ruang untuk menjaga kesehatan baik secara fisik maupun mental. Menciptakan lingkungan fisik yang nyaman, mendorong budaya sharing session, menyelenggarakan program pengembangan profesional, dan melibatkan program olahraga dianggap sebagai langkah konkret untuk mendukung kesehatan mental guru.
Terlepas dari usaha menciptakan ‘Ruang Guru untuk Tumbuh’, penting bagi setiap guru untuk memahami bahwa kesehatan mental tidak hanya ditentukan oleh lingkungan kerja, tetapi juga oleh sikap pribadi yang positif. Keinginan untuk menciptakan kebahagiaan dalam pekerjaan dan menghargai setiap momen menjadi landasan kuat dalam perjalanan menuju kesejahteraan mental yang berkelanjutan.
Untuk mengkokohkan School Well-being yang berkelanjutan, mari bersama-sama memastikan 'Ruang Guru untuk Tumbuh' menjadi pijakan utama. Dengan fokus pada kondisi sekolah, hubungan positif, pemenuhan diri, dan kesehatan menyeluruh, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang memajukan serta menjaga kesejahteraan guru sebagai kunci kesuksesan generasi mendatang.
Referensi:
Craft, L. L., & Perna, F. M. (2004). The Benefits of Exercise for the Clinically Depressed. The Primary Care Companion For CNS Disorders, 6(3). https://doi.org/10.4088/pcc.v06n0301
Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95(3), 542–575. https://doi.org/10.1037/0033-2909.95.3.542
Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of positive emotions. American Psychologist, 56(3). https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.218
Ingersoll, R. M., & Strong, M. (2011). The impact of induction and mentoring programs for beginning teachers: A critical review of the research. In Review of Educational Research (Vol. 81, Issue 2). https://doi.org/10.3102/0034654311403323
Kaplan, S., & Berman, M. G. (2010). Directed attention as a common resource for executive functioning and Self-Regulation. Perspectives on Psychological Science, 5(1). https://doi.org/10.1177/1745691609356784
Konu, A., Alanen, E., Lintonen, T., & Rimpelä, M. (2002). Factor structure of the School Well-being Model. Health Education Research, 17(6). https://doi.org/10.1093/her/17.6.732
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231125124103-20-1028893/jokowi-sebut-tingkat-stres-guru-tinggi-hati-hati-pak-mendikbud
Penyunting: Putra