Menurunkan Ekspektasi: Menyehatkan Mental dari Diri Sendiri - Guruinovatif.id: Platform Online Learning Bersertifikat untuk Guru

Diterbitkan 04 Des 2023

Menurunkan Ekspektasi: Menyehatkan Mental dari Diri Sendiri

Musuh guru untuk menuju psikis yang sehat bukan murid, tapi diri sendiri! Bagaimana mengidentifikasinya dan menghadapinya? Simak artikel berikut ini.

Seputar Guru

Lulu Fauziah

Kunjungi Profile
361x
Bagikan

Mungkin kita sering mendengar generasi muda sekarang yang berada di rentang tahun kelahiran 1997 hingga 2012, meneriakkan lantang mengenai kesehatan mental. Generasi yang kerap dilabel dengan Gen Z ini mendapatkan lebih banyak paparan informasi serta literasi yang membuat mereka kritis dan pada akhirnya, menuntut. Menuntut kita, sebagai generasi diatasnya, untuk memaklumi burnout, breakdown, dan segala perubahan emosi mendadak mereka. Namun banyak dari mereka lupa, kita juga berhak meneriakkan kebutuhan rohani kita sendiri. 

Tidak hanya tuntutan dari murid, guru juga mendapatkan tuntutan dari orang tua, administrasi sekolah, bahkan dari masyarakat secara umum. Guru kerap dipandang sebagai panutan sehingga tak jarang harus mengorbankan banyak hal, termasuk identitas diri sendiri. Padahal kita tahu, manusia tidak bisa sempurna. Sedikit lalai, bukan hanya reputasi diri sendiri yang runtuh. Institusi dan bahkan rekan sesama pun bisa terdampak. 

Selain faktor eksternal yang disebut sebelumnya, banyak guru juga masih terlalu keras pada diri sendiri. Ini terjadi karena guru, sebagai manusia, memiliki standar tertentu yang mereka kejar. Idealisasi akan banyak hal itu menjadi sebuah kebenaran sehingga metode atau cara lain bisa dianggap salah. Bahkan lebih jauh lagi, ada beberapa pribadi yang memberikan hukuman pada dirinya sendiri jika standar yang ia buat tidak tercapai. Seperti contoh, mungkin kita juga pernah menerapkan target ketuntasan kelas yang terlampau tinggi. Atau berharap agar murid bisa langsung memahami apa yang kita ajarkan. Dan saat harapan-harapan itu tidak tercapai, kita menyalahkan murid, keadaan, serta menghukum diri sendiri. Berbeda dengan refleksi dimana kita berusaha mencari tahu apa yang belum maksimal dan merumuskan solusi, keputusan menyalahkan dan menghakimi merupakan kebiasaan yang merusak kesehatan mental secara jangka panjang.

Stress yang timbul atas kebiasaan buruk ini kerap tidak ada ujungnya; kita terlalu fokus pada kekecewaan dan kegagalan sehingga akal sehat tidak berjalan dengan baik. Sama seperti bagaimana kita mempelajari soal personalisasi dan diferensiasi dalam pembelajaran, menangani stress pun tidak bisa satu solusi berhasil untuk semua. Ada tipe guru yang dengan berbagi bersama rekan sudah membantu menyelesaikan. Namun ada juga yang butuh lebih dari itu. Ini juga yang kerap luput oleh Sekolah, dimana kerap kali solusi yang diberikan sangat terbatas. Kegiatan paling umum yang dilakukan adalah acara makan bersama, seminar well-being, atau kelas ESQ. Ternyata untuk beberapa pribadi, ini belum cukup.

Selain mengajak bicara diri sendiri untuk lebih mengenal apa yang kita butuhkan, menurunkan ekspektasi juga merupakan kunci untuk tetap sehat. Ekspektasi berakar dari keinginan, yang bisa jadi bertolak belakang dengan realita. Seberapa sering kita sebagai guru kecewa dan marah besar saat murid yang biasanya pendiam tiba-tiba mengusik ketenangan kegiatan belajar mengajar? Atau saat murid harusnya sudah mencapai fase belajar tertentu namun tertunda karena berbagai hal diluar kontrol kita? Hal-hal kecil seperti ini yang bisa menumpuk dan meledak. Ekspektasi kerap lahir dan berputar di dalam diri kita sendiri. Untuk menanganinya, mulailah mengkomunikasikan kekecewaan ataupun amarah tersebut secara langsung. Tentu tidak dengan cara meledak-ledak. Identifikasikan emosi apa saja yang muncul. Bukalah sesi diskusi dengan baik, sampaikan kekecewaan kita dengan terstruktur dan perlahan, dan sampaikan bahwa tujuan diskusi ini adalah untuk komunikasi dua arah guna memahami satu sama lain. Beri kesempatan pihak kedua untuk memahami kita dan ikut memberikan penjelasan. Metode ini menumbuhkan empati kemanusiaan baik dari diri kita maupun lawan bicara, baik itu murid maupun sekolah. Karena bagaimanapun, guru juga manusia; kita punya rasa, kita punya kecewa. Kita pun juga harus bisa bertanggung jawab atas diri kita sendiri dengan tidak merugikan orang lain dengan ekspektasi maupun amarah yang meledak-ledak.

Jangan lupa untuk merayakan diri anda sendiri. Terima kasih sudah berjuang sejauh ini, pejuang pendidikan!


Penyunting: Putra

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Peran dan Manfaat Asesmen Sumatif pada Hasil Belajar Siswa
2 min
AKSARA UNTUK PEMBELAJARAN

Laili Rachmawati

Dec 13, 2023
2 min
KESEHATAN MENTAL SEORANG GURU

tuti setianingsih

Dec 08, 2023
1 min
Kesehatan Mental Guru dalam Tantangan Global
Guru Abad 21 : Bergerak, Belajar, dan Berubah
Mengutamakan “Kesehatan Mental” Guru: Tantangan & Solusi

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB