GURU JUGA MANUSIA, PUNYA RASA PUNYA HATI - Guruinovatif.id

Diterbitkan 04 Des 2023

GURU JUGA MANUSIA, PUNYA RASA PUNYA HATI

Kesehatan mental adalah isu global yang kerap diabaikan, termasuk kesehatan mental yang dialami para pendidik. Padahal, persoalan ini tidak bisa dianggap sepele karena dapat berdampak besar pada kualitas pembelajaran dan berimbas pada buruknya mutu pendidikan.

Seputar Guru

Sidik Permana

Kunjungi Profile
707x
Bagikan

Pada acara puncak perayaan Hari Guru Nasional di Jakarta tanggal 25 November 2023, Presiden Joko Widodo pernah menyentil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristeki) Nadiem Makarim. Dikutip dari laman (Kompas.com, 2023), sentilan tersebut berbunyi, “Menurut sebuah lembaga riset internasional, ini yang saya baca di Rand Corporation tahun 2022, saya kaget juga setelah membaca, bahwa tingkat stres guru itu lebih tinggi daripada pekerjaan yang lain,” ungkap presiden. Nampaknya hal itu cukup mengejutkan, namun bagi para pelaku di dunia pendidikan masalah ini bukanlah rahasia umum. Ungkapan bahwa profesi pendidik (guru) jauh lebih “bahagia” karena senantiasa bertemu dengan para tunas baru, anak-anak kecil yang begitu “polos”. Bahkan, glorifikasi terhadap profesi yang satu ini sebagai profesi paling menyenangkan, mudah, dan aman, ketimbang profesi lain patut diuji kebenarannya.

Isu kesehatan mental sedang tren hari ini. Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Ipsos, yaitu korporasi yang bergerak di bidang riset pasar dan konsultasi multinasional pada tahun 2023 dengan tajuk “IPSOS Global Health Service Monitor 2023”, mencatat bahwa sebanyak 44% responden dari 31 negara yang disurvei, termasuk Indonesia, menempatkan mental health sebagai isu masalah kesehatan yang paling banyak disoroti, diikuti kanker sebanyak 40%, stres 30%, dan lainnya. Bahkan, dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling banyak mempersoalkan isu kesehatan ini, terutama perempuan yang terlahir sebagai Gen-Z. Namun, baik laki-laki maupun perempuan, isu kesehatan mental menjadi isu paling banyak menarik perhatian dan mendorong perbincangan setelah kanker, stress, dan obesitas. Untuk Indonesia sendiri, sebanyak 38% responden di tahun 2022 menjawab bahwa isu mental health adalah isu yang sangat disoroti.

Sehubungan hal tersebut, kesehatan mental guru adalah persoalan yang tidak bisa diabaikan. Pada satu sisi, profesi pendidik nampak tidak begitu beresiko tinggi, namun ternyata sisi kelam dari profesi ini justru tersimpan rapih dari balik tembok-tembok sekolah. Kasus Kepala Sekolah (Kepsek) SMP di Pinrang yang menampar siswa, kasus penganiayaan guru di SD Raja Ampat, kasus guru terjerat utang dan pinjaman online, guru bunuh diri, dan persoalan lainnya, bukanlah persoalan ringan, namun justru menampakan pola yang membuat kecurigaan kita bermuara pada persoalan internal kejiwaan. Pemicu persoalan mental pendidik bisa datang dari mana saja, mulai dari masalah ekonomi, sosial, hukum, psikologis, ekosistem pendidikan, ketidakpastian, dan lainnya. Hal ini tentu cukup menyedihkan, di samping profesi guru dengan segudang tuntutan dan beban moral luar biasa dari sistem pendidikan nasional dan negara—berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa— sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” ini pun ia masih tetap diminta berdamai dengan kondisi kualitas hidup yang tidak memadai dan dipenuhi tekanan sana-sini. Tidak mengherankan bahwa guru berpotensi untuk masuk ke jurang persoalan psikologis yang paling diperbincangkan pada abad ke-21 ini, yaitu kesehatan mental, stres, dan depresi.

Problem Mental Bagi Seorang Guru

Dalam orasi ilmiah yang dikemukakan oleh Niko Sudibjo dalam acara pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Pendidikan dirinya pada 18 Agustus 2022 lalu, dengan judul “Peran Kebahagiaan di Tempat Kerja dan Persepsi Dukungan Organisasi dalam Menjaga Kesehatan Mental Pendidik Menghadapi Pandemi Covid-19”, sebagaimana dikutip dari laman resmi kampus Universitas Pelita Harapan (2022), terdapat sebuah ungkapan menarik terkait kesehatan mental seorang guru. Ungkapan tersebut berbunyi:

“Kebahagiaan di tempat kerja merupakan aspek penilaian subjektif individu mengenai kesejahteraan di tempat ia bekerja. Terdapat beberapa faktor yang mendorong kebahagiaan ketika bekerja yaitu mereka dapat menyampaikan ide dengan bebas baik kepada rekan kerja maupun atasan, memiliki kondisi fisik yang prima untuk bekerja, dan mencapai target kerja yang telah ditetapkan. Kebahagiaan di tempat kerja yang tinggi secara positif memengaruhi kesehatan individu, termasuk daya tahan yang lebih baik terhadap stres dan kelelahan. Faktor lain yang memengaruhi kesehatan mental pendidik adalah persepsi dukungan organisasi, dimana ini adalah keyakinan bahwa organisasi tempat seseorang bekerja peduli dengan kesejahteraan karyawan dan menghargai kontribusi mereka. Persepsi dukungan organisasi adalah teori yang menekankan pentingnya karyawan sebagai sumber daya dan aset berharga yang dimiliki organisasi, maka dari itu semakin besar persepsi dukungan organisasi terhadap karyawan organisasi tersebut, akan semakin baik kesehatan mental karyawannya,”

Poin penting dalam orasi ilmiah di atas adalah pentingnya kesehatan mental guru dan bagaimana upaya menjaga ekosistem kerja yang membahagiakan dan dukungan dari organisasi dalam upaya menjaga kesehatan mental para pendidik. Pada tahap ini, kita menyadari bahwa persepsi dan kondisi individu pendidik dan kondisi tempat bekerja sangat berperan dalam mempengaruhi kualitas kesehatan mental seorang pendidik.

Hakikatnya semua profesi mestilah dijalankan dengan penuh kerelaan dan kebahagiaan, sepahit dan sesulit apapun. Itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah tanggung jawab atas profesi yang dijalani, termasuk guru. Namun, ada beberapa tantangan dan ancaman yang terus mengintai di setiap profesi, termasuk para pendidik. Sekarang, mari coba pikirkan sejenak terkait kondisi guru yang sedang berada dalam kondisi depresi dan stres akibat tekanan hidup yang dialaminya, misalnya sedang menghadapi kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis atau kesulitan ekonomi. Pada saat yang bersamaan, guru mesti dihadapkan dengan tuntutan status “pendidik” dengan segala batasan yang diterima baik dalam ekosistem sekolah maupun sistem berskala nasional seperti aturan dan kebijakan. Terlebih, tuntutan komunikasi dan interaksi dengan beragam murid dengan karakteristik dan kepribadian yang “unik”, diikuti dengan kehadiran rekan sejawat di tempat yang sama dengan ragam persoalannya masing-masing. Sedikit peluang untuk melepas hormon stres dan dengan semua kondisi ini energi akan terkuras habis dan pikiran menjadi sepi. Terkadang, guru harus selalu tersenyum demi rasa nyaman anak, walau kita tahu bahwa hati ini sedang terkoyak-koyak. Maka, cukup dapat dikatakan kerentanan mental seorang guru sebagai manusia biasa, maka hal ini jelas berpotensi besar memicu persoalan psikologis. Ketika itu terjadi, maukah seorang murid yang polos dan diikuti dengan semangat remaja yang menggebu-gebu, diajarkan dan dididik oleh orang yang bahkan sedang bergulat dengan masalah mentalnya sendiri? Kesan buruk semacam itu bisa muncul kapanpun di benak peserta didik maupun lainnya. Menurut Wardhani (2017), jika kesehatan mental seorang pendidik terganggu, peserta didik akan merasa tidak aman dan nyaman dalam proses pembelajaran yang nantinya akan menghasilkan jiwa seorang pemimpin yang kurang baik. Artinya, kesehatan mental seorang pendidik sangat penting dalam proses belajar-mengajar

Problematika kesehatan mental guru ini kerap tidak banyak disentuh, entah oleh diri pendidik itu sendiri, institusi tempatnya bekerja, terlebih sistem pendidikan nasional Indonesia yang selalu “random”, tidak terduga, dan penuh dengan tuntutan irasional yang nonefisien, seperti kepengurusan administrasi hingga berjilid-jilid melampaui tesis seorang magister. Apalagi dengan kondisi paradigma masyarakat yang terlalu overpride terhadap profesi ini tanpa diimbangi dengan kelayakan yang semestinya ditujukan pada guru, diikuti segudang kalimat-kalimat yang “membiasakan” ketidakbiasaan yang seharusnya tidak perlu diucapkan apalagi bangga dan dipermanenkan dalam alam bawah sadar publik, contohnya “Jadi, guru harus ikhlas. Biar gaji kecil, yang penting pahalanya besar”, “Guru harus kuat mental”, “Kalau tidak mau gaji kecil, jangan menjadi guru”, “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, dan lainnya, rasanya seperti pengkultusan untuk menenangkan jiwa seorang yang tengah dilanda gundah gulana. 

Problematika guru hari ini tidak hanya berakar pada kesehatan mental, namun bagaimana mencabut akar faktor yang mendorong permasalahan mental yang dialami para pendidik. Apalagi, seorang pendidik, umumnya, memiliki faktor risiko kehancuran reputasi yang besar. Ingat, perspektif di hampir semua bagian dunia manapun, guru mendapatkan posisi elegan dan kehormatan yang tinggi, sayangnya memiliki kerentanan dalam jalur karirnya. Artinya, sedikit saja guru berbuat yang tidak atau kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri (Wardhani, 2017). Itu juga lah yang memaksa seorang guru harus (tetap) bahagia ketika berada di dalam kelas sembari menghadapi wajah-wajah imut anak-anak dari setiap orang tua yang telah mempercayakan masa depan anaknya pada institusi sekunder pendidikan, harus terus menunjukan wibawa, kehormatan, sikap yang baik, bermoral, dan lain sebagainya..

Risiko Kesehatan Mental dan Pertaruhan Profesi

Sebelumnya, kita telah sedikit menggambarkan problematika guru dengan kesehatan mentalnya, yang apabila mengutip dari salah satu judul film legendaris komedi Indonesia besutan Warkop DKI yaitu “Maju Kena Mundur Kena”, sudah cukup mewakili gambaran kondisi guru Indonesia hari ini. Kita bahkan belum membicarakan kondisi guru honorer, apalagi sekolah yang mengandalkan bantuan dana dari pemerintah, apalagi guru honorer sekolah-sekolah pelosok, dan sayangnya kita tidak akan membahas itu. Tapi, sebagai gantinya, persoalan yang sama masih berkutat pada seputaran tekanan kesehatan mental pada sosok pendidik tersebut jauh lebih menyayat-nyayat hati. Kita perlu ingat bahwa indikator seorang guru yang berkualitas juga berhubungan dengan mentalitasnya. Hal itu diperlukan karena guru mesti menjaga hubungan antarpribadi dan itu berhubungan dengan respons psikologis kita dalam berinteraksi dengan anak murid, rekan sejawat, dan seluruh warga sekolah umumnya. Dalam hal ini, Iris V. Cully (2004) menjelaskan bahwa:

“Para pendidik yang peka menyadari bahwa kumpulan pengetahuan dan pengalaman manusia bukanlah satu-satunya ramuan untuk mengasuh anak-anak. Dalam tugas mereka harus pula tercakup suatu pemahaman akan faktor-faktor dalam hubungan antarpribadi. Hasil-hasil penyelidikan psikologi menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan mencakup keutuhan pribadi dalam keseluruhan lingkungannya. Guru-guru sekolah yang baik, selalu sadar akan faktor-faktor demikian yang bekerja dalam tugas mereka.”

Dalam sebuah riset yang ditulis oleh Naimei Cui dan Haowen Ma (2022), dijelaskan bahwa, “According to the survey, 40% of teachers are often anxious, and some teachers often feel tired, agitated and anxious, and have symptoms such as insomnia or poor sleep state, allergy, paranoia, depression and listlessness.” Bahkan lebih lanjut, dijelaskan bahwa guru yang bekerja pada jenjang pendidikan menengah beresiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental. Dalam hal ini, Naimei Cui dan Haowen Ma (2022) menjelaskan bahwa guru di sekolah menengah punya risiko tinggi dalam persoalan kesehatan mental yang dipengaruhi oleh tekanan beban kerja dan psikologi yang mana sering kali mendorong mereka untuk bereaksi seperti kelelahan, mudah marah, terlalu bergairah dan tegang, dan bahkan kelainan psikis seperti pemikiran yang kaku dan kehilangan memori, dimana semua itu berdampak besar pada pembelajaran seorang guru di sekolah, hidup, dan pekerjaannya sebagai pendidik. Berikut merupakan data persoalan psikologi umum yang paling banyak ditemukan pada guru sekolah menengah.

GURU JUGA MANUSIA, PUNYA RASA PUNYA HATI
Gambar 1. The Top Ten Places with the Highest Positive Rate (Sumber: Naimei Cui dan Haowen Ma, 2022)

Dapat dilihat pada Gambar 1. The Top Ten Places with the Highest Positive di atas, bahwa gejalan obsesif, depresi, neuropati, kecemasan, dan lainnya. Artinya, dalam bekerja, seorang guru tidak hanya terancam oleh persoalan yang datang dari eksternal, namun juga berdampak secara signifikan pada internal kejiwaannya. Walaupun mengingat riset ini dilakukan di China, paling tidak gambaran persoalan kesehatan mental ini bisa menjadi rujukan bagi penanggulangan permasalahan para pendidik di Indonesia. Persoalannya, masalah ini mesti diselesaikan sesegera mungkin karena dapat berimbas pada kualitas pendidikan di tanah air. Hal ini pun menunjukan bahwa seorang pendidik tengah mempertaruhkan profesinya untuk masa depan anak didiknya, sekolah, bahkan negara.

Konsepsi dan Penanggulangan Kesehatan Mental Guru

Seorang guru bernama Lukas Kolo yang kini tengah menjadi sorotan di pemberitaan media nasional, diduga tidak menerima gaji selama 10 tahun sebagai seorang pendidik di Nusa Tenggara Timur. Walaupun akhirnya narasumber mengklarifikais pemberitaan yang keliru tersebut, namun yang menarik dari sesi wawancara yang dilakukan beberapa awak media, diketahui bahwa ketika pertama kali beliau mengabdi sebagai guru pada tahun 2013, ia pernah mendapatkan upah sebesar Rp 300.000 per bulan. Mari coba kita bayangkan para guru honorer yang baru digaji setelah tiga bulan mengajar dengan imbalan tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah, ada pula pemberitaan terbaru terkait “sunatan” gaji guru Pendidikan Agama Kristen di Jakarta, dan masalah-masalah kesenjangan lainnya di nusantara. Sepertinya, kita bisa membayangkan bahwa mereka semua yang viral dan tidak adalah orang paling mendapatkan berkah dari Tuhan atas kesabarannya di tengah tuntutan hidup yang semakin keras dan mahal dengan penghidupan yang belum mendekati kelayakan. Mungkin, untuk guru yang “super biasa” hal ini akan menjadi masalah, tapi bagi guru “luar biasa” mereka akan diam dan ikhlas menerima ketidakadilan semacam ini. Nyatanya paradigma yang banyak dipakai kalangan ini justru menjadikan posisi guru begitu lemah dalam daya tawar dihadapan pemangku kebijakan. Seolah-olah memosisikan guru mestilah manut dan menerima keadaan yang segala terbatas ini dengan lapang dada, tanpa sedikitpun diperjuangkan untuk kelayakan hidup di Indonesia. Alih-alih mendapatkan pahala kesabaran, pendidik yang berhasil melewati fase ini justru akan mendapatkan surga dengan ganti kewarasan dan kesehatan mental guru yang terus menurun karena dipaksa menerima pil pahit dan diperlakukan semacam ini dengan dalil “jangan jadi guru kalau tidak mau gaji kecil” atau “guru itu profesi mulia”.

Kita lupa, bahwa guru atau pendidik sejatinya adalah profesi sebagaimana profesi pada umumnya yang diisi oleh manusia dengan segala keterbatasannya. Guru juga manusia yang memiliki kerentanan mental dan berpotensi mengalami masalah kejiwaan. Kita juga sudah disuguhkan dengan data-data mencengangkan pada bagian muka tulisan ini. Karena itulah, penting bagi kita melihat persoalan mental ini dengan lebih objektif. Pertama, gangguan kesehatan mental ialah kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan kondisi di sekitarnya (Putri, Wibhawa, & Gutama, 2015). Setelah mendengar data bahwa guru menjadi profesi paling banyak terjerat pinjol, rasanya memang tepat bila guru adalah profesi mulia yang rentan terkena gangguan mental. Sudah banyak disinggung di atas, bahwa banyaknya tuntutan kesempurnaan seorang guru, tuntutan kerja, tuntutan pengasuhan anak di sekolah, dan beban lainnya bisa menjadi faktor penting timbulnya gangguan kesehatan mental pada guru.

Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966, kesehatan jiwa dapat diartikan sebagai, “Suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain”. Artinya, indikator seorang guru yang (diharapkan) memiliki kualitas kesehatan mental yang baik adalah daya fisik, intelektual, dan emosional dapat berjalan baik entah untuk dirinya maupun dalam interaksi. Menurut Putri, Wibhawa, & Gutama (2015) indikator kesehatan mental seseorang itu bisa dilihat dari: 1) Merasa senang terhadap dirinya; 2) Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain; dan, 3) Mampu memenuhi tuntutan hidup. Hal ini senada dengan apa yang telah dikemukakan di muka, bahwa salah satu poin penting yang perlu diperhatikan dalam kesehatan mental, khususnya bagi guru, adalah terkait kebahagiaan.

Pertama, berkaitan dengan kebahagiaan diri. Saya rasa setiap guru, apalagi guru TK, akan mendapatkan juara pertama sebagai orang yang paling bahagia dalam profesinya, terlepas bagaimana latar belakang hidup yang dialami setiap orang. Namun, kita pastikan, sesuai judul kali ini, guru juga manusia yang punya situasi kekecewaan, ketidakpuasan, ketidakbahagiaan, ketidaksiapan, dan pesimistis yang turut menghambat kebahagiaan seorang. Situasi hidup yang tidak menyejahterakan guru adalah contoh faktor penghambat terwujudnya kebahagiaan. Dengan gaji alakadarnya, apalagi guru honorer, beban kerja dan moral, harus selalu tersenyum walau dipermalukan atau dicaci-maki oleh orang tua siswa, di evaluasi kinerja mengajar, menjalani drama antar rekan sejawat, ekosistem yang tidak mendukung, ketidaksesuaian idealisme dan realitas dalam mengajar, menipu diri demi anak, beban administrasi yang selalu ada dan banyak, serta persoalan lainnya, adalah poin-poin akut yang sudah seharusnya menjadi evaluasi besar-besaran di sistem pendidikan Indonesia. Ini belum termasuk persoalan guru di luar, yang terkesan diabaikan begitu saja ketika masuk ke dalam kelas, semakin mendorong lahirnya gangguan mental. Mungkin, persoalan upah yang “layak”, seperti substansi demo guru di Indonesia setiap tahun dengan derai air mata, bisa menjadi solusi. Namun, lingkungan kerja dan sistem yang sehat pun, perlu diperhatikan dan dibenahi. Bila bukan karena kebutuhan dan terlanjur masuk melanjutkan studi di ilmu pendidikan, rasanya hanya orang nekad yang mau menjadi guru. Dengan kata lain, membuat guru bahagia, baik ketika atau sesudah mengajar, begitu juga dalam profesi lain yang membutuhkan ekosistem sehat guna menumbuhkan produktivitas, sangat diperlukan. Kini, tinggal bagaimana guru menghadapi karakteristik dan drama dari para murid itu sendiri, begitu juga dengan orang tuanya. Mungkin, psikolog diperlukan di institusi pendidikan di Indonesia.

Kedua, berkaitan dengan rasa nyaman ketika berinteraksi. Hal ini sepertinya akan menaikan level keberlangsungan hidup guru di sekolah menjadi tantangan. Salah satu sub indikator yang bisa kita lihat dari variabel ini adalah mempunyai hubungan pribadi yang baik dengan orang-orang sekitar, memiliki rasa cinta, dan lainnya. Setelah kita melihat data dan ulasan singkat terkait jenjang di sekolah paling berpotensi membuat guru mengalami masalah kesehatan mental di atas, maka kita akan sadar betapa pentingnya kemampuan kita dalam bersosial juga pengendalian diri, termasuk pelepasan hormon-horman emosi yang tertahan dan berpotensi stres bila tidak disalurkan. Terlebih, terkadang cara pandang guru dengan seorang murid jenjang menengah di usinya yang kerap dipandang “pencarian jati diri” dan semangat yang menggebu-gebu, kerap kali menyenggol sisi sentimental guru yang mungkin saja saat itu sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja secara kejiwaan. Itulah kita melihat banyak kasus penganiayaan guru kepada murid. Hal yang mirisnya, terkadang kita lupa mencari akar persoalan dan hanya sekadar mencabut daun pohon, tidak kepada akar. Kadang, saya juga berpikir bahwa isu pendidikan ini tidak hanya berkutat pada guru tapi juga berhelix-helix, mulai dari murid itu sendiri, orang tua, lingkungan, sekolah dan ekosistemnya, kebijakan pemerintahan, dan sistem berskala luas. Sehingga, kenyaman guru dalam bersosial dan berinteraksi dengan semua hal yang ada di sekolah, khususnya murid, tetap terjalin dan terus tumbuh.

Dan, ketiga adalah berhubungan dengan tuntutan hidup seorang pendidik. Persoalan masa depan bagi anak kecil adalah sebuah impian, namun bagi orang dewasa masa depan adalah misteri yang mesti diwanti-wanti. Hal ini berkaitan dengan keberlangsungan hidup sang pendidik itu sendiri. Ketidakpastian hari ini, terkadang menjadi sebuah sentimen bagi ketidakpastian di masa depan, dan itu membebani cara berpikir seorang pendidik yang sejak awal dibebani banyak hal. Masih ingatkah dengan persoalan upah guru yang selalu menjadi topik panas menjelang pemilu dan hari guru, juga hari buruh—guru adalah buruh berpendidikan yang bekerja di bidang pendidikan. Dengan kondisi yang cukup terbatas semacam itu, perencanaan masa depan menjadi lebih terbatas, dan itu akan menghambat orang untuk mencapai tuntutan hidupnya. Bagi seorang pendidik, berprofesi sebagai guru honorer, terlebih di sekolah negeri atau swasta yang tidak begitu sejahtera, maka dia tidak hanya meneken kontrak mitra kerja tapi juga menekan kontrak kesabaran hingga waktunya tiba dia diangkat menjadi pegawai negeri dambaan masyarakat Indonesia. Maka dari itu, guna menghindari persoalan mental ini, tuntutan hidup seorang guru, setidaknya kebutuhan dasar dan akses keberlanjutan hidup yang terjamin, bisa terwujud dan dijalankan sebagaimana mestinya. Sesuai dengan judulnya, “Guru Juga Manusia” dan ini berkonsekuensi logis yang nyata pada setiap keputusan rasional yang dilahirkan sekolah maupun negara.

Simpulan

Pada akhirnya, persoalan kesehatan mental yang dialami guru bermuara pada dua hal, yaitu persoalan kebahagiaan dan ekosistem kerja yang mendukung sosial dan pengembangan. Menjadi seorang guru adalah pilihan rasional seseorang, walau kadang ditemukan keterpaksaan, yang dengan penuh kesadaran menerima konsekuensi menjadi guru di Indonesia yang mesti dimulai dari kelas guru paling pejuang yaitu honorer—kecuali terlahir dengan kemapanan finansial yang baik, profesi guru hanyalah pengantar CV. Memang menyedihkan melihat kondisi beberapa guru di tanah air, dengan segudang amanat konstitusi, pemerintah, lingkungan, sekolah, hingga orang tua, namun diapresiasi dengan pujian dan upah alakadarnya. Namun, membuktikan masih banyak guru yang mengajar pun itu sudah menjadi angin segar bagi perbenahan dan evaluasi menyeluruh sistem pendidikan di tanah air. Sehingga, dengan melalui esai ini, diharapkan sebagai guru mampu menjaga kesehatan mentalnya dengan baik, bagi pelajar mampu bekerja sama dengan baik, dan bagi pemerintah adalah membangun rancangan kebijakan yang baik bagi ekosistem pendidikan yang mumpuni dan berdampak positif dalam skala yang luas dan panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Cui, N., & Ma, H. (2022). Research on the Influence of Teachers' Mental Health on Teaching Quality. Journal of Education, Humanities and Social Sciences, VIII, 2048-2054.

Cully, I. V. (2004). Dinamika Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ipsos. (2023). Ipsos Global Health Sevice Monitor 2023. Paris: Ipsos.

Kompas.com. (2023, November 25). Presiden Jokowi Sentil Nadiem Makarim soal Perubahan Kurikulum Picu Stres Guru. Dikutip dari www.kompas.tv: https://www.kompas.tv/nasional/463968/presiden-jokowi-sentil-nadiem-makarim-soal-perubahan-kurikulum-picu-stres-guru

Putri, A. W., Wibhawa, B., & Gutama, A. S. (2015). Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia (Pengetahuan, dan Keterbukaan Masyarakat Terhadap Gangguan Kesehatan Mental). Prosiding KS: Riset & PKM (pp. 252-258). Sumedang: Universitas Padjadjaran.

Universitas Pelita Harapan. (2022, Agustus 18). Resmi Menjaga Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Pendidikan UPH, Prof. Dr. Niko Sudibjo Soroti Kesehatan Mental Guru di Masa Pandemi. Dikutip dari www.uph.edu: https://www.uph.edu/en/soroti-kesehatan-mental-guru-dalam-orasi-ilmiah-prof-niko-sudibjo/

Wardhani, R. D. (2017). Peran Kesehatan Mental Bagi Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Di Sekolah. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017 (pp. 193-198). Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.


Penyunting: Putra

2

0

Komentar (2)

Megawati Megawati

Dec 11, 2023

Lengkap, dengan data pendukung, keren pokoknya.

Sidik Permana

Dec 12, 2023

Terima kasih

Balas

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Gembira Jalan Ninjaku

Agus Ta'in, M.Pd.

Dec 07, 2023
2 min
GI Class #96 | Supervisi Guru untuk Meningkatkan Kompetensi
2 min
Kompetensi Digital yang Wajib Dimiliki Guru
3 min
Murid Butuh Guru Yang Bahagia, Guru Butuh Lingkungan Yang mendukung Agar Bahagia
Perilaku Guru yang Dapat Menghambat Kemajuan Lembaga! Apa Saja?
1 min
Sosiologi Pendidikan, Upaya Memahami Peserta Didik Lebih Mendalam
5 min

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB

Kursus Webinar