Pendidikan adalah sarana pembentukan karakter anak yang sangat kompleks, tidak hanya intelektual tetapi spiritual dan emosional diasah disini. Metode pengajaran yang tepat sangat berpengaruh terhadap refleksi yang akan ditunjukkan siswa dari pendidikan yang diberikan. Sekolah merupakan wadah yang intens memfasilitasi seorang anak dalam mengasah semua komponen pengembangan diri tersebut. Juga tidak lepas peranan lingkungan rumah dan kelurahan sebagai cerminan pendidikan yang kultur nya akan diadaptasi oleh seorang anak sebagai penerapan pendidikan yang sudah didapatnya.
Seorang anak terlahir dengan keistimewaan nya masing-masing, mereka unik dengan karakternya. Dan keluarga dibentuk untuk memberikan kenyamanan agar keistimewaan pada anak dapat tumbuh dengan baik. Seperti kilas balik karakter yang terbentuk dari diri seorang anak bernama Bagas. Ia tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis. Bagas kecil dibesarkan oleh ibu dan ayah yang sering bertengkar, tak jarang bagas juga beberapa kali menjumpai ayah nya yang bermain tangan kepada sang ibu, sehingga membuat diri bagas menyimpan memori yang penuh dengan kebencian.
Bagas seperti hal nya anak-anak yang lain, ia disekolahkan pada sekolah normal. Sifatnya sangat pendiam, tidak mau berbicara, ia membatu, tidak mau menulis, tidak menjawab saat ditanya, tidak mau bercengkrama dengan teman. Hingga Bu Tari sebagai wali kelas curiga dan menyelidikan perilaku aneh bagas. Sebagai wali kelas bu tari memberikan tindakan berupa soft healing kepadanya, tentang kepercayaan diri, keberanian, kasih sayang. Tetapi Bagas masih tetap membatu. Sejak berangkat hingga pulang sekolah, Ia hanya duduk di mejanya, sesekali jalan, duduk lagi hingga pulang, tanpa keluar sepatah katapun.
Dalam diam bagas terkadang tiba - tiba mengekspresikan kebencian tanpa sebab yang jelas, ia bisa tiba-tiba membanting pintu kelas, menendang bak sampah, menendang keran taman, dll. Bagas adalah pribadi yang mudah tersinggung, jika ia disinggung sedikit oleh tamannya maka ia akan membalasnya dengan brutal, memorinya seperti terluapkan, ia akan memukul, menendang, mengangkat kursi, mengambil sapu untuk dipukulkan teman, dll sehingga sebagai guru, bu tari harus selalu sigap mengawasi, agar tidak terjadi hal yang membahayakan bagi siswa lain.
Efeknya banyak siswa lain yang takut dengan bagas, bahkan ketika marah, bu tari lebih memilih menghindar bersama anak - anak yang lain karena takut membahayakan. Bagas kecil ketika marah nampak sangat totalitas, semua tenaga yang dimiliki ia keluarkan sehingga menjadikan dirinya sangat kuat apalagi tubuhnya pun gemuk, tambun dan besar.
Bagas kecil hanya bisa di luluhkan oleh pelukan ibunya. Setiap kali ia berulah disekolah ibu bagas sellau sigap untuk dipanggil dan datang ke sekolah, dengan belaian dan pelukan ibu, bagas bersedia tenang. Berulang-ulang kali bagas melampiaskan emosinya disekolah, membahayakan siswa yang lain tetapi bu tari berulang-ulang kali pula memberikan soft healing kepada nya.
Seiring waktu bagas mulai naik kelas, soft healing yang diberikan mulai bekerja, bagas mulai bisa membaur dan bercanda dengan temannya. Tetapi bagas masih belum bisa mengontrol emosi nya, tak jarang saat bercanda ia memukul, menendang, menjewer temannya sehingga membuat temannya pun ogah bergaul dengan bagas karena bagas suka menyakiti.
Bagas masih sering tempramen, hingga suatu hari pihak sekolah memanggil terapis spesialis autisme untuk memberikan terapi kepada bagas. Dalam sebuah perkenalkan bagas tidak bisa menerima sosok orang baru dalam pergaulan nya. Dari perilaku tersebut didapati bahwa memori ketika ayah bagas memukul atau menganiaya ibunya menjadikannya sebagai karakter yang penuh dendam sehingga ia tidak bisa mengontrol emosinya. Apalagi memori itu ia dapat sejak kecil dan didapat langsung dari orang terdekatnya, hal tersebut pastilah sangat menyakitkan bagi seorang anak.
Setelah soft healing metode pengajaran yang diberikan kepada anak yang temperamen yaitu mulai mengajarkan nya tentang arti sebuah kesakitan. Jadi disini bagas diajari sebab dan akibat, penerapan metode ini harus didasari dengan evaluasi dan kesiapan anak menerima pengajaran tersebut.
Saat ini Bagas telah memasuki usia siswa kelas 3, sikapnya saat marah masih sama, membalikkan meja, membanting kursi, berteriak sekencang-kencangnya dan menyakiti orang di sekitarnya. Nah disinilah terapis memberikan pengajaran tentang sebab dan akibat. Bila bagas melakukan tindakan kasar maka ia juga akan dikasari, bila bagas memukul maka dia juga akan dipukul, bila bagas melukai orang lain maka dia juga akan dilukai. Setelah dirasa ia cukup tenang untuk mendapatkan terapi maka Bagas diberikan penjelasan tentang apa yang barusan terjadi, memberikan pengertian apa itu sebab dan akibat sehingga apabila Bagas tidak mau dilukai orang maka ia tidak boleh melukai orang lain.
Keceriaan ketika mulai bisa bergaul dengan teman sebayanya
Bagas sebenarnya memerlukan sosok yang kuat yang dapat mengayomi dirinya, dari sinilah peran sekolah harus dapat merangkul siswanya untuk mendapatkan kenyamanan emosional. Sehingga dukungan tidak hanya tercipta dari intern keluarga tapi juga ekstern seperti halnya sekolah.
Soft healing tetap dilakukan untuk memberikan rangsangan kekuatan dalam hatinya, juga hard healing perlu dilakukan untuk memberikan efek kesadaran. Juga pembentukan support system yang baik dan seimbang yang sangat penting untuk pertumbuhan kondisi emosional dan rasional pada diri anak.
Bagas masih perlu pemantauan, ia harus terus diberikan pendampingan. Merubah karakter tidak sekejap kedipan mata. Prosesnya bersifat pelan dan berkala, tapi percayalah usaha dan doa akan memperbaiki kondisinya, Bagas adalah batu yang akan kita ukir, kemudian di jadikan realive berharga, jadi ia istimewa dan harus ditempa lebih tajam dari yang lainnya.