“Kebahagiaan”. Inilah kunci kesuksesan sistem pendidikan Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia yang disingkap Timothy D. Walker dalam buku berjudul Teach Like Finland. Finlandia menerapkan kurikulum terbaru di mana kebahagian guru dan siswa diberi tempat utama dalam pembelajaran. Kebahagiaan guru menciptakan pembelajaran yang menjadikan siswa turut bahagia. Dalam konteks ini, bahagia yang dimaksudkan penulis ialah ketiadaan gangguan kesehatan mental guru. Bagaimana dengan obor pendidikan di Indonesia? Sudakah mereka bahagia?
Belum lama ini, media Harianjogja.com (19/11/23) melaporkan kasus seorang guru di Bantul yang gantung diri pada Sabtu, 19/2/2022. Motifnya belum dipastikan, tetapi menurut dugaan, guru tersebut gantung diri lantaran stres karena banyak tugas sekolah. Kasus ini merupakan representasi dari sekian banyaknya kasus bunuh diri yang melibatkan guru. Apa pun motifnya, yang pasti korban mengalami gangguan mental. Kasus ini menjadi ‘alarm’ bahwa sistem pendidikan kita hendaknya tidak hanya fokus pada kemampuan akademik guru, melainkan juga kesehatan mental (kebahagiaan).
Akar masalah kesehatan mental
Guru menanggung beraneka macam dinamika kehidupan. Mulai dari dinamika kehidupan pribadi dan keluarga hingga dinamika yang terjadi di tempat kerja (sekolah). Hal ini yang membuat guru rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Menyikapai kesehatan mental guru dimulai dari menilik akar masalah kesehatan mental itu sendiri. Sejumlah penelitian menyingkap beberapa faktor determinan penyebab gangguan kesehatan mental guru, di antaranya; kondisi sosial-ekonomi, tuntutan pekerjaan; perilaku buruk siswa dan perubahan kebijakan pendidikan (Harahap & Putra, 2017; Gaol, 2021). Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan ulasan pada kedua penyebab berikut, sebab kedua penyebab itulah yang paling sering dialami guru.
Kondisi sosial-ekonomi dan tuntutan pekerjaan
Guru memang dikenal dengan predikat “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, tetapi guru tetap membutuhkan jasa (baca: gaji/pendapatan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Harahap & Putra (2017) dalam penelitian mereka, menemukan bahwa terdapat hubungan antara tingkat sosial-ekonomi dengan kesehatan mental (stres) seorang guru. Guru yang memiliki gaji besar memiliki tingkat stres yang lebih rendah ketimbang guru yang gajinya kecil. Dengan kata lain guru dengan gaji rendah (guru honorer) cenderung lebih sering stres. Sepengamatan penulis, banyak guru honorer yang beralih profesi. Sebabnya jelas, gaji yang tidak mencukupi. Menurut pengakuan beberapa teman guru honorer, beban kerja (tuntutan pekerjaan) yang dikerjakan tidak sesuai dengan nominal gaji yang diterima. Di satu sisi, mereka menjalankan kewajibannya dalam mengabdikan diri, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, di sisi lain, mereka tertekan kebutuhan ekonomi secara bertubi-tubi. Gaji yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka. Pada gillirannya keadaan ini yang membuat mereka stress, cemas dan khawatir.
Perilaku buruk siswa
Apabila pembaca menelusuri google dengan kata kunci “guru dianiaya murid”, pembaca akan menemukan beraneka judul berita media perihal kekerasan verbal maupun fisik terhadap guru. Salah satu dari sekian banyaknya kejadian tersebut ialah seorang guru berusia 53 tahun asal Kupang yang dianiaya muridnya hingga berujung patah tulang hidung (Antarnews.com, 19/11/23). Ada juga guru yang dihina-dicaci maki oleh siswanya. Kejadian itu menyisakan emosi yang tidak stabil (kemarahan), trauma, stres, cemas, perasaan terintimidasi yang pada gilirannya menyebabkan kesehatan mental guru (korban) terganggu.
Imbas terhadap kompetensi guru dan pembelajaran
Hemat penulis, tiga dari empat komptensi guru – kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi pedagogik – memiliki korelasi tersembunyi dengan kesehatan mental. Ketiga kompetensi ini akan berjalan dengan maksimal apabila kesehatan mental (dalam hal ini emosional) guru terjamin. Guru akan kesulitan memahami diri dan mengelola stres ketika emosinya tidak stabil. Emosi yang tidak stabil ini akan berimbas pada rendahnya kemampuan memanajemen kelas (kompetensi pedagogik) serta terganggunya relasi dengan siswa, rekan guru dan masyarakat (kompetensi sosial).
Dalam penelitiannya yang berjudul “Stress and Emotional Competence of Primary School Teachers”, Holeyannavar & Itagi, (2017; 29-28) menyimpulkan bahwa peningkatan kompetensi emosional mengurangi level stres pada guru Sekolah Dasar (SD). Peneliti lain, Ayu (2021) menemukan bahwa semakin tinggi stabilitas emosi maka semakin tinggi pula kesiapan mengajarnya, sebaliknya semakin rendah stabilitas emosi maka semakin rendah pula kesiapan mengajarnya. Kedua temuan ini mengindikasikan pentingnya merawat kestabilan emosi guru agar dapat mengelola berbagai masalah mental sehingga dapat menjalankan pembelajaran dengan maksimal. Stabilitas emosi tercapai apabila terpenuhi segala kebutuhan dasar guru. Namun, fakta berkata lain, tekanan ekonomi mendesak guru honorer mencari pekerjaan alternatif untuk menambah penghasilan demi memenuhi kebutuhannya. Pada kondisi ini, guru tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan pembelajaran. Ironisnya, masih ada juga guru yang rangkap sebagai tukang ojek. Bahkan pada kondisi kritis, beberapa guru memutuskan berhenti mengajar lalu bekerja di instansi lain yang upahnya lebih besar. Hal ini tentu berdampak pada menurunnya kinerja guru dalam pembelajaran.
Ikhtiar merawat kesehatan mental
Beberapa penyebab masalah kesehatan mental di atas merupakan realitas masalah yang tidak dapat dihindari oleh guru. Karena itu, guru mesti dibekali dengan kemampuan mengelola emosi ketika berhadapan dengan masalah yang dialaminya. Sekolah dan otoritas pendidikan turut bertanggungjawab dalam merawat kesehatan mental guru. Sambil mengharapkan kepekaan otoritas pendidikan, di akhir tulisan ini, penulis menawarkan dua alternatif solusi merawat kesehatan mental guru.
Pertama, bekerjasama dengan psikolog sekolah. Otoritas terkait, dalam hal ini sekolah dan dinas pendidikan mesti bekerjasama dengan psikolog pendidikan agar dapat menjamin dan mengatasi berbagai masalah kesehatan mental guru di pelosok negeri. Dengan adanya psikolog ini, guru dapat dengan leluasa berkonsultasi mengenai masalah mental yang dihadapi.
Kedua, memaksimalkan peran guru BK. Guru BK merupakan aset potensial dalam merawat kesehatan mental yang dimiliki setiap sekolah sekarang ini. Kendatipun sekolah telah memiliki SDM guru BK, kemampuan mereka dalam melayani konseling perlu ditingkatkan mengingat kompleksitas masalah setiap guru yang variatif. Dengan demikian, sekolah secara lembaga dan otoritas pendidikan perlu berkolaborasi dalam mengadakan pelatihan layanan konseling bagi guru BK.
Penyunting: Putra