Guru adalah sosok yang menjadi tauladan dan juga sebagai motivator bagi anak didiknya. Guru merupakan tugas yang mulia. Menjadi guru adalah cita-cita saya,berikut kisahnya.
Seperti biasanya setiap hari saya bersama saudara-saudara saya harus membantu orang tua sebelum berangkat ke sekolah. Saya anak seorang buruh tani, mempunyai 5 saudara, 1 kakak perempuan, 1 adik perempuan, dan 3 kakak laki-laki. Setiap hari mereka berbagi tugas melakukan pekerjaan rumah. Saya menyapu halaman rumah dan mencuci piring, adik perempuan saya menyapu rumah bagian dalam. Kakak perempuannya memasak di dapur, 2 kakak laki-lakinya membersihkan kandang sapi karena memelihara sapi milik orang lain istilahnya nggadu. Sedangkan 1 kakak laki-lakinya lagi ikut bapak pergi ke sawah milik orang lain.
Setelah selesai aktivitas pagi Saya dan kedua saudara saya pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, terkadang tanpa alas kaki. Kami berangkat bersama-sama menyusuri jalan yang masih belum diaspal. Sebelum ke sekolah saya mengantar adik yang masih kelas 2 disekolah yang berbeda. Sesampainya di sekolah saya dan kakak masuk ke kelas. Di kelas saya dijauhi teman-teman karena anak orang yang tidak punya. Namun saya tetap bersemangat dan terus belajar.
Saat istirahat saya bermain dengan adik-adik kelas. Mereka sangat senang dengan saya karena suka bercerita dan bermain bersama mereka. Pada suatu hari ada kegiatan menari yang akan ditampilkan pada saat perpisahan, ketika gurunya memilih anak-anak yang ikut menari, saya tidak terpilih padahal saat itu saya ingin diikutkan. Bagaimana perasaan saya saat itu?. Saya langsung lari ke belakang sekolah sambil menangis dan berkata,”Mengapa saya tidak terpilih? Apakah karena saya anak orang yang tidak punya? Atau memang tidak pantas?”.
Tiba-tiba ada adik kelas melihat saya menangis. Mereka berlari menuju ke kantor mencari guru tari tersebut. Kemudian menceritakan kepada guru tersebut bahwa saya sedang menangis karena tidak diajak ikut menari. Padahal di kelasnya hanya ada lima anak termasuk Saya. Empat terpilih Saya sendiri yang tidak terpilih. Mendengar hal itu guru tari tersebut memanggil saya dan diikutkan menari. Saya sangat senang sekali. Itu merupakan pengalaman pertama mengikuti kegiatan yang selama ini tidak pernah diajak dalam kegiatan apapun di sekolah. Memang saya anak orang yang tidak mampu dan bukan termasuk anak yang juara di kelas. Yang paling berkesan saat ditanya guru saya, “Apa cita-citamu?”. Saya menjawab, “Cita-cita saya ingin menjadi guru”. Saat itu teman-teman mentertawai dan mengejek saya apakah bisa menjadi guru. Saya tidak menghiraukan apa yang dibilang teman-teman. Lebih baik diam dan berdoa semoga Allah mengabulkan cita-cita saya.
Pada saat kenaikan kelas semua wali murid dipanggil ke sekolah untuk mengambil rapot. Anak-anak tidak diliburkan tetapi mendampingi orang tuanya. Saat itu saya buru-buru pulang karena memanggil orang tua saya untuk datang ke sekolah. Namun orang tua saya tidak bisa datang karena masih di sawah. Akhirnya kakak perempuan saya yang datang ke sekolah mengambil rapot. Saya dibonceng kakak dengan sepeda unta/onthel. Setelah sampai sekolah dan kakaknya sudah masuk ruangan, saya pulang karena akan meneruskan pekerjaan kakak yang belum selesai. Ketika diumumkan rangking kelas ternyata saya rangking pertama. Semua wali murid heran begitu juga kakak perempuan saya. Sejak saat itu masyarakat dan juga teman-temannya tidak lagi acuh.
Setelah tamat Sekolah Menengah Pertama saya ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya, namun orang tua tidak mampu membiayainya. Kakak-kakak saya bersekolah sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, karena memang tidak ada biaya. Saya tetap ingin melanjutkan sekolah, namun orang tua tidak menyetujui. Saya bertekad untuk mencari biaya agar bisa melanjutkan sekolah. Akhirnya saya bekerja ikut orang sebagai pembantu atau istilahnya adalah babu. Di sela-sela kesibukannya menjalankan tugas dari majikan, saya sekolah lagi di Madin, TPQ, dan ikut kegiatan bermasyarakat di desa.
Selama satu tahun menjadi pembantu atau babu. Ketika ada pendaftaran siswa saya ikut daftar di sekolah yaitu di Madrasah Aliyah. Dengan biaya hasil kerja sebagai babu akhirnya bisa bersekolah, Selama bersekolah saya biaya sendiri dan juga mendapatkan beasiswa. Peringkat 1-3 bebas SPP. Waktu kelas 3, Saya hampir tidak bisa mengikuti ujian nasional karena belum melunasi biaya administrasi. Untunglah ada salah satu dari guru membantu Saya dan akhirnya bisa ikut ujian. Setelah selesai ujian belum pengumuman saya diminta untuk mengajar anak anak Pramuka. Dan kebetulan di lembaga tersebut kekurangan guru Taman Kanak-kanak, akhirnya saya diminta untuk mengajar di Taman Kanak-kanak, sekaligus membina Pramuka di Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Walaupun saya belum lulus, saya menerima tawaran tersebut karena sudah terbiasa mengajar di TPQ ketika masih sekolah di Madrasah Aliyah, jadi sudah tidak ada kesulitan dalam mengajari anak-anak.
Setelah saya mengajar sebagai guru Taman Kanak-kanak dan pembina Pramuka selama satu tahun, saat itu Madrasah kekurangan guru akhirnya saya diminta mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Swasta sebagai guru Mata Pelajaran sekaligus mengajar di Taman Kanak-kanak. Saya senang bisa mengamalkan ilmu saya. Sebenarnya saya masih ingin melanjutkan kuliah namun apa daya tidak ada biaya.
Setelah berjalan dua tahun dari pemerintah mewajibkan seorang guru harus berijazah yang yang sesuai dengan bidangnya atau linier. Saat ada kuliah penyetaraan akhirnya saya ikut mendaftar untuk kuliah, akhirnya bisa kuliah dan mempunyai ijazah sebagai guru walaupun belum linier. Dalam mengajar saya selalu memotivasi anak didik saya agar terus bersekolah karena di desa saya banyak sekali anak-anak yang putus sekolah dan tidak mau melanjutkan. Padahal orang tuanya mampu untuk membiayai sekolahnya. Saya mendatangi anak-anak tersebut untuk memotivasi dan mengajak agar anak yang putus sekolah ataupun yang tidak melanjutkan bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Saya bekerjasama dengan orang tua anak-anak tersebut agar mau melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Tidak semua anak-anak tersebut mau. Mereka bilang,”Sekolah duwur-duwur gae opo, bar yo rabi”(sekolah tinggi-tinggi untuk apa, kalau nantinya Cuma menikah). Namun ada juga yang mau dan melanjutkan kejenjang berikutnya. Kebanyakan anak-anak didesa saya tamat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Sedikit sekali yang melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah. Hanya orang-orang yang kaya, orang-orang terpandang di desa saya yang bisa melanjutkan sekolah. Akhirnya saya dipercaya mengajari anak-anak baik yang putus sekolah maupun yang tidak melanjutkan. Saya memberikan motivasi kepada anak-anak yang yang tidak melanjutkan sekolah.
Satu tahun kemudian Saya sudah berhasil mengajak keluarga, keponakan dan tetangga-tetangganya untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya dan akhirnya berhasil. Sekarang di desa tempat tinggal saya sudah banyak yang sarjana bahkan ada yang sudah jadi guru, dokter dan polisi. Bahkan sekarang didesa saya, didirikan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri atas ijin Pemerintah desa.
Kisah Saya diatas mungkin tidak relevan, namun perlu pembaca ketahui kisah tersebut nyata. Mulai keluarga dan aktifitasnya,disekolahnya dan di masyarakat. Kisah yang saya ceritakan merupakan pengalaman yang tidak terlupakan dan jangan sampai seorang guru memperlakukan anak didiknya seperti yang saya alami.