Pahlawan kesuksesannya mewakili kecintanaannya pada tanah air. Begitu pula dengan guru, yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa, mengabdikan dirinya untuk calon para pemimpin negeri, dan secara pasti berisiko menghadapi uji yang kian bertubi dalam jeruji hustle culture. Peran amanah yang melekat pada status telah bertemu kompleksitas tugas kinerja yang lelahnya mencapai pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan mengajar. Tak hanya tugas utama yang menjadi beban syarat administrasi sebagai kepegawaian juga ikut serta mewarnai kesibukan. Kesibukan yang terdeskripsikan inilah membentuk suatu fenomena hustle culture yang menggeser niat suci dari esensi kepahlawanan. Penyebab tergesernya nilai pengabdian ini diluruhkan dengan banyaknya keluh kesah yang dialami oleh seorang guru terhadap beban kerja baik secara administrasi maupun struktur profesi seiring dengan perubahan kurikulum pembelajaran.
Masa dan model pembelajaran yang terikat kontrak kurikulum ini membuat guru dapat bergerak hebat dalam waktu singkat mencapai substansi tupoksinya, pakta integritasnya yang memaksakan kehendak untuk menjadi alur kebijakan mengantarkan keberhasilan peserta didik dalam basis SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), sebab bermartabatnya suatu madrasah dilihat dari kesuksesan alumninya. Tugas lainnya berkaitan yang tak kalah penting adalah capaian PAK (pengusulan Angka Kredit) demi kenaikan pangkat. Hal ini juga membutuhkan waktu, energi, dan otak dalam menunaikan semua tuntutan yang diemban oleh guru sebagai gila kerja, alhasil tak ada beda antara jam kerja guru dengan pegawai kantor berangkat pagi pulang petang efek regulasi full day school.
Dalam beberapa tahun terakhir, budaya hustle culture telah menjadi semacam standar dalam mencapai kesuksesan. Namun, seiring berjalannya waktu, budaya ini telah menuai kritik dan dianggap memiliki dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan fisik dan mental yang semakin terganggu, ketidakharmonisan, dan ketidakteraturan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasi budaya hustle culture pada guru, salah satunya adalah dengan menerapkan budaya quiet quitting.
Menerapkan budaya quiet quitting memiliki potensi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental bagi guru. Tujuan dari quiet quitting adalah mencapai work-life balance, yaitu kemampuan untuk mengelola waktu kerja dan waktu untuk kehidupan pribadi. Dengan menerapkan quiet quitting, manfaat yang diharapkan adalah mendukung kesejahteraan kesehatan mental, meningkatkan kualitas hidup individu, dan membatasi antara work-life dan real-life.
Kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mental masih menjadi masalah di era globalisasi saat ini. Banyak orang tidak menyadari dampak negatif dari budaya hustle culture, seperti gangguan kesehatan fisik dan mental, ketidakharmonisan, dan ketidakteraturan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Rokom, 2021), hingga saat ini, lebih dari 19 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, dan 12 juta di antaranya mengalami gangguan depresi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan solusi untuk mengatasi budaya hustle culture, seperti menerapkan budaya quiet quitting pada guru.
Generasi milenial seringkali mengadopsi budaya hustle culture sebagai acuan gaya hidup, dengan keyakinan bahwa sukses harus dicapai sebelum usia 30 tahun. Namun, budaya ini telah menimbulkan berbagai dampak negatif pada guru, termasuk tingkat stres yang tinggi yang harus dihadapi oleh penderitanya. Menurut Kementerian Kesehatan, stres adalah respons yang dialami secara jasmani maupun rohani jika terdapat perubahan lingkungan yang memerlukan adaptasi dan penyesuaian diri Hustle culture adalah gaya hidup yang menuntut seseorang untuk bekerja keras dan cepat, bahkan melampaui batas kemampuan dirinya. Orang yang menjalani gaya hidup ini mendedikasikan hidupnya untuk bekerja dan tidak memiliki waktu luang untuk istirahat atau bahkan menjalani kehidupan pribadi (Me-Time). Situasi ini akhirnya membuat orang yang menjalaninya terjebak dalam gaya hidup hustle culture, dan dapat berdampak buruk bagi kesehatan, baik secara fisik maupun mental.
Budaya hustle culture menuntut pola perilaku suatu individu untuk bersikap totalitas tanpa batas, dan bekerja keras terus menerus sehingga membuat pribadi kerap mengidap sedikit gangguan mental berupa stres karena adanya over productive. Stres pada lingkungan kerja sering disebut dengan istilah burnout. Burnout diartikan sebagai suatu kondisi di mana suatu individu merasakan penat dan frustrasi akibat dari ketidakberhasilan target sehingga membuat individu mengalami perubahan kepribadian dan menarik diri dari kontak dengan orang lain (Pangesti, 2012). Quiet quitting merupakan salah satu solusi efektif untuk menggantikan eksistensi hustle culture pada generasi milenial.
Dalam implementasi hal tersebut, diperlukan adanya work life balance sebagai acuan. Work life balance yaitu kapabilitas individu untuk mengatur keseimbangan antara kehidupan dunia kerja (work life) dan kehidupan yang tidak terkait dengan dunia kerja (real life) (Riandani, 2020). Dalam perwujudan work life balance, individu harus mampu memanajemen keseimbangan jangka waktu pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Pada generasi milenial, work life balance bertujuan untuk menciptakan time balance (keseimbangan waktu), juga meningkatkan performa dan produktivitas individu dalam dunia kerja. Peran work life balance dalam budaya quiet quitting berkaitan dengan kesehatan mental individu.
Hal ini dikarenakan budaya ini dianggap mampu menyadarkan diri akan potensi yang dimiliki dan digunakan sebagai batasan jangka waktu dalam bekerja. Rentang waktu kerja berpengaruh besar terhadap kesehatan mental individu. International Trade Union Confederation (ITUC) menyatakan bahwa Indonesia menduduki sebagai salah satu negara yang memiliki iklim kerja paling buruk sedunia (ITUC, 2014). Berbagai masalah tercakup dalam hal ini, salah satunya ialah jam kerja. Hal ini didukung melalui data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengutarakan bahwa mayoritas penduduk Indonesia berusia lebih dari 15 tahun bekerja selama 41,49 jam dalam satu pekan.
Angka tersebut telah melampaui batas waktu yang telah ditetapkan dalam UU. No. 13 Tahun 2003, yakni mengenai skema bekerja tujuh jam dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu (Pusparisa, 2020). Terganggunya kesehatan mental pekerja berpotensi terhadap minimnya produktivitas dan performa pekerja hingga renggangnya hubungan sosial antar rekan kerja. Strategi penerapan budaya quiet quitting cenderung memprioritaskan proporsionalitas jam kerja individu.
Budaya quiet quitting adalah sebuah gagasan untuk menolak budaya kerja keras yang dapat memberikan dampak negatif pada karyawan seperti depresi dan burnout, budaya ini memungkinkan karyawan untuk bekerja sesuai dengan porsinya dan memprioritaskan keseimbangan antara pekerjaan dan aktivitas lainnya. Rentang waktu kerja yang berlebihan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental individu dan dapat mengganggu produktivitas dan performa pekerja serta hubungan sosial antar rekan kerja. Oleh karena itu, strategi penerapan budaya quiet quitting dapat membantu mengatasi dampak negatif dari budaya hustle culture pada guru dengan memprioritaskan proporsionalitas jam kerja guru.
Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah maraknya budaya hustle culture di kalangan guru. Secara umum, hustle culture adalah gaya hidup individu yang mendedikasikan hidup untuk suatu kesibukan serta melampaui batas waktu yang telah ditetapkan. Budaya ini memiliki berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan dan berimbas kepada kesehatan mental guru, diantaranya adalah disharmonisasi dan ketidakteraturan dunia kerja berdampak terhadap kesehatan mental guru. Oleh karena itu, kehadiran quiet quitting menjadi sebuah solusi dalam upaya pengganti eksistensi hustle culture pada guru. Quiet quitting merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk membatasi work life dan real life (Rizqiana, 2020).
Hal ini bertujuan agar guru berhak mendapatkan sisi personal life dalam kehidupan. Proporsionalitas jam kerja guru menjadi sebuah hal esensial dalam implementasi budaya quiet quitting. Hal ini bertujuan sebagai bentuk peningkatan performa dan produktivitas individu serta mewujudkan work life balance sebagai acuan idealis pada dunia kerja. Manfaat yang timbul dari implementasi quiet quitting terhadap kesehatan mental guru adalah mencegah terjadinya burnout akibat stres, serta sebagai penunjang kesejahteraan mental guru.
DAFTAR PUSTAKA
ITUC. (2014). Retrieved from The Worids Worts Countris.
Pangesti, A. A. (2012, Oktober 1). Jurnal penelitian dan Pengukuran Psikologi. Retrieved from https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jppp/article/view/317
Pusparisa, Y. (2020, September 9). Databoks Ketenagakerjaan. Retrieved from Kata.co.id.: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/09/rata-rata-penduduk-indonesia-bekerja-melebihi-batas-40-jam-per-minggu
Rizqiana, D. I. (2020, Desember 23 ). Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Retrieved from https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-palangkaraya/baca-artikel/13616/Worklife-Balance-Sebagai-Gaya-Hidup.html
Rokom. (2021, Oktober 7). Kemenkes.go.id. Retrieved from Sehat Negeriku, Sehat Bangsaku: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/
Penyunting: Putra