Apa yang akan saya bahas di sini bukan kesurupan dengan kegiatan menyongsong lebaran. Di mana ibuk ibuk sudah sibuk membeli daging ayam untuk dibuat opor besok pagi. Bukan pula tentang membludaknya emak emak dan anak anak yang sangat ingin berpakaian baru. Besok pagi.
Bukan! Bukan tentang itu.
Sebab kalau tentang kemacetan dan parkiran padat menjelang lebaran, tentu hal tersebut menjadi agenda rutin tiap tahun, tiap menjelang hari idul Fitri. Pun di kala pandemi kemarin juga tetap antusias membeli baju baru,mengecat rumah, membeli perabotan rumah, membeli alat elektronik dan lain sebagainya. Pokoknya kedatangan hari raya tampaknya disambut suka cita plus foya foya.
Namun kali ini kesurupan yang mau saya bahas adalah kesurupan dalam arti sesungguhnya.
Dulu waktu negara api belum menyerang dan keadaan bumi Indonesia masih adem ayem karena Corona belum mampir, sekolah kami masih berani mengadakan camping. Bahkan camping tiap tahun berpindah tempat karena hasil evaluasi selalu kurang memenuhi kriteria. Jadinya ya pindah lagi. Apalagi kalau program itu mendengar kan berbagai pihak, jadinya plbingung dan ingin dituruti semua. Inilah kalau orang takut punya musuh dan takut dibenci.
Pada waktu yang masih kuingat, yaitu wakru kemah di Karanganyar.
Di tempat ini, areanya berpasir sebab tidak jauh dari pantai. Plus dekat pepohonan, sumber air dan tidak jauh dari kampung warga. Wah ideal sekali untuk tempat kemah anak anak milineal. Apalagi listrik mengalir dengan riang gembira seakan anak anak tersebut minim tantangan. Paling pol tantangan mereka hanya memasak. Itu pun kadang bukan kendala wong ada orang tua siswa yang datang ke kemah sambil membawakan lauk pauk.
Kalau gitu terus anak anak mau bekajar mandiri dari siapa coba?
Belum ada warung dan penjual jajanan yang setia menunggui di luar bumi perkemahan. Jian serasa anak anak hanya pindah tempat makan plus kegiatan outbond. Fasilitas yang wah dan enak membuat anak anak ketergantungan dan seakan hanya pindah tempat tidur di waktu malam. Ya, meskipun kalau malam angin dingin pesisir menerpa mereka. Tapi mereka masih bisa berusaha untuk berselimut dan berdempetan dengan teman temannya.
Di saat sore menjelang malam, terdengar ada anak yang menjerit jerit.
Nah, ini pasti kesurupan. Dulu juga pernah kita berkemah di tempat ini dan memang agak wingit. Pasti saja ada yang kesurupan. Namun yang terjadi biasanya para pembina Pramuka dibantu bapak ibu guru pendamping membantu menyadarkan anak tersebut. Namuh kali ini lain, ada anak anak alumni yang bertandang ke situ ikut menangani. Dengan gayanya bak penyembuh kesurupan di tv tv, dia menampilkan beberapa jurus.
Seakan akan dia mengeluarkan tenaga dalam untuk menolong anak yang kesurupan.
Para pembina Pramuka dan guru hanya melihat saja. Lagian untuk apa berebut menyembuhkan kalau ada yang mau menolong. Kami biasanya menyembuhkan dengan cara biasa saja. Paling dipencet di titik tertentu sambil dibacakan beberapa surat agar pengganggu pergi. Beda dengan teknik yang digunakan anak alumni. Tampak tangannya diayun maju mundur seakan akan menarik kekuatan lain. Raut mukanya yang tegang dan serius membuat tontonan tampak nyata bak sinetron misteri.
Tak berapa lama. Brugh!! Alumni yang mengobati anak kesurupan tersebut jatuh dan malah tertular ikut kesurupan. Oalah, le le. Jian nambahi gawean wae.