UU Kesehatan RI Nomor 23 tahun 1992, menyatakan bahwa sehat adalah suatu keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial dimana memungkinkan setiap manusia untuk hidup produktif baik secara sosial maupun ekonomis. Pribadi yang normal/ bermental sehat adalah pribadi yang menampilkan tingkah laku yang kuat dan bisa diterima masyarakat pada umumnya, sikap hidupnya sesuai norma dan pola kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan (Kartono, 1989).
WHO menyebutkan sedikitnya 25% populasi dunia mengalami gangguan mental. Beberapa jenis gangguang mental berupa stres, kepanikan, depresi, ketakutan, kekhawatiran berlebih, perasaan kesepian dan tak tertolong hingga merasa tidak berdaya (WHO, 2021). Implikasi dari gangguan mental adalah penurunan daya tahan tubuh sehingga memudahkan manusia terserang berbagai penyakit fisik. Kemenkes pada tahun 2021 merilis data jumlah penderita penyakit mental di Indonesia sebanyak 20% dari 250 juta penduduk Indonesia atau sebanyak 50 juta jiwa. Artinya terdapat 1 orang dari 5 orang yang terkena penyakit mental. Dimana usia produktif direntang usia 25-55 tahun memiliki kerawanan terhadap depresi yaitu sebesar 10-12 % (INFO DATIN, KEMENKES, 2021).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen).Ciri umum professional tersebut tentu melekat pada profesi guru, disamping terdapat tambahan lain yang membedakan profesional guru dengan profesi lainnya, yaitu, guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator kelas. Kompetensi guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran dan pendidikan di sekolah, namun kompetensi guru tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh faktor latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, dan lamanya mengajar. Terdapat empat kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru. Kompetensi pedagogig, kompetensi kepribadian, sosial dan profesional (Agus Wibowo & Hamrin, 2012 : 107). Kompetensi guru hingga beban kerja guru yang kompleks menyebabkan pekerjaan sebagai guru memiliki tingkat stres yang cukup tinggi. Beban kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru dengan berbagai kompetensi yang harus diemban oleh guru (Hariati, 2020).
Data Pusdatin IPK (Ikatan Psikologis Klinis) Indonesia tahun 2022, menyebutkan bahwa pekerjaan guru termasuk ke dalam 10 besar golongan yang telah melakukan konseling. Berbagai diagnosa awal terbanyak berupa gangguan kecemasan, depresi, masalah dengan pasangan dan keluarga, dan masalah dengan lingkungan, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah 10 besar yang melalukan konseling tersebut. Hal tersebut berarti guru dengan beban kerja dan berbagai kompetensinya memiliki kecenderungan yang tidak baik terhadap kondisi kesehatan mentalnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2018, menyatakan bahwa beban kerja guru maksimal selama 1 minggu adalah 40 jam dan minimal 24 jam. Adapun beban kerja pokok guru diatur dalam pasal 3 yaitu, merencanakan pembelajaran atau pembimbingan, melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan, menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan, membimbing dan melatih peserta didik dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru. Guru sebagai pendidik tidak hanya memiliki kewajiban untuk mengajar namun memiliki kewajiban administrasi dan sosial yang cukup tinggi bebannya.
Kesehatan mental guru merupakan hal yang penting dalam lingkungan pembelajaran. Terdapat hubungan yang signifikan antara depresi guru dan kesejahteraan siswa (Harding, dkk, 2019). Keduanya sebagian dapat dijelaskan oleh kehadiran guru di dalam kelas maupun di luar kelas dan kualitas hubungan atara guru dengan siswa. Isu kesehatan mental di sekolah sejauh ini baru menyoroti tentang kesehatan mental siswa namun mengabaikan kesehatan mental guru. Seolah guru adalah manusia super yang tidak pernah sakit dan lelah. Oleh karena itu sudah selayaknya kesehatan mental guru menjadi prioritas dalam lingkungan pembelajaran demi terciptanya pembelajaran yang baik.
Kepekaan terhadap kondisi kesehatan mental guru seharusnya sudah mulai dilaksanakan di organisasi-organisasi sekolah. WHO (2009), merilis rekomendasi standar layanan kesehatan jiwa yang berupa perawatan diri, layanan berbasis masyarakat dan komunitas, layanan dasar puskesmas, RSU dan Layanan Komunitas, Rumah Sakit Jiwa. Layanan kesehatan jiwa bisa diakses oleh siapapun sesuai dengan urutan yang telah dirilis oleh pemerintah. Langkah awal yang dapat dilalui oleh guru ketika merasakan ketidakseimbangan mental adalah dengan melakukan perawatan diri. Perawatan diri ini bisa dimulai dengan menyadari diri sendiri sebagai individu dan organisasi. Harding (2019), menyatakan pengendalian stres guru selama ini hanya berfokus pada masalah personal guru yang dapat memicu stres, dibandingkan strategi ditingkat organisasi untuk mengurangi pemicu stres. Menggabungkan strategi tingkat organisasi dengan pendekatan individual akan lebih efektif dibandingkan hanya berfokus pada individu. Pelayanan kesehatan mental yang terintegrasi akan memnerikan manfaat yang tepat pada penggunanya. Kepaduan antara self service dan primari care akan menjadi pelayan yang baik bagi individu dan kelompok termasuk bagi para guru (WHO and WONCA, 2008). Jadi pentingnya pengelolaan stres secara terintegritas antar lembaga organisasi dalam lingkungan sekolah dapat dilakukan untuk menangani kesehatan mental para guru.
Terdapat berbagai strategi yang dapat dilakukan dalam upaya mengembangkan kesehatan mental guru. Strategi tersebut diantaranya guru memperoleh waktu istirahat yang teratur dan cukup, memperoleh asupan makanan dan minuman yang berkualitas, tidak mengkonsumsi kafein berlebih, alkohol, rokok, dan zat adiktif yang lain, memperoleh aktivitas fisik secara teratur, melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka rileks dan senang, melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan spirituil. Pengorganisasian masalah dan perencanaan tindakan pemecahan masalah, memperoleh banyak teman yang dapat membantu mengembangkan emosi dan sikap positif dalam memandang hidup, mendapatkan bantuan profesional kesehatan mental dari para ahli dan praktisi yang kompeten, seperti psikolog sekolah dan konselor sekolah (Hanurawan, 2012:1). Dengan menggabungakan dua hal tersebut maka dapat terciptanya lingkungan sekolah yang baik dan sehat. Guruku sehat, muridku cerdas.
Referensi
Agus Wibowo & Hamrin. (2012). Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dr. Jane White. (2020). Supporting teachers’ mental health and wellbeing: Evidence review. Scotland: NHS Health.
Fattah Hanurawan. (2012). Strategi Pengembangan Kesehatan Mental Di Lingkungan Sekolah Mental Health Development Strategy In The Schools. Psikopedagogia, Vol. 1, No. 1, Juni 2012: Universitas Negeri Malang.
Kartono, Kartini. (1989). Psikolagi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: PT. Mandar Maju.
PUSDATIN. (2022). Ikatan Psikologis Klinis Indonesia. Data Konseling dalam Angka.
Sarah Harding, dkk. (2019). Is teachers’ mental health and wellbeing associated with students’ mental health and wellbeing?. Journal of Affective Disorders. Volume 242, 1 January 2019, Pages 180-187. ELSEVIER.
Sri Hariati Hasibuan dan Adi Munasib. (2020). Pengaruh Kepemimpinan Motivasi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan.MANEGGGIO: Jurnal Magister Manajemen. Volume 3 Nomor 2. http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/MANEGGIO.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
WHO AND WONCA. (2008). Integrating Mental Health Into Primary Care: A Global Prespective. Singapore: Who Publising.
World Health Organization. (2021). For A safer, Healtier and Fairer World. Result Report.
Penyunting: Putra