Peran guru dalam konteks pendidikan kontemporer seringkali tereduksi menjadi pelaksana administratif dan penyampai kurikulum, menggeser fokus dari hakikatnya sebagai penuntun pertumbuhan dan kesadaran. Tulisan ini bertujuan mereposisi pandangan terhadap guru, dari sekadar "pengajar mata pelajaran" menjadi "filsuf pendidikan" yang secara aktif merefleksikan dasar dan tujuan praktik mengajarnya. Dengan mengadopsi sikap filosofis, guru dapat mengatasi absurditas rutinitas yang sering terjadi di institusi pendidikan, di mana kesibukan menjadi tujuan itu sendiri alih-alih sarana menuju pertumbuhan peserta didik. Pembahasan tulisan ini difokuskan pada urgensi pengembangan kesadaran, refleksi, dan kolaborasi sebagai pilar bagi guru filosofis untuk menumbuhkan akal sehat, logika berfikir yang kritis dan karakter, bukan sekadar mengejar capaian kuantitatif.
Dalam dinamika sistem pendidikan modern, guru menghadapi tantangan yang kompleks. Beban administratif, tuntutan pelaporan, dan perubahan kurikulum yang cepat kerap mengaburkan makna inti dari profesi mendidik. Perubahan ini menciptakan pergeseran di mana panggilan jiwa seorang guru terdesak oleh serangkaian kewajiban prosedural. Fenomena ini berisiko menjebak guru dalam rutinitas tanpa refleksi, yang oleh Albert Camus (1955) disebut sebagai absurditas—situasi di mana tindakan dilakukan tanpa menyadari makna atau tujuan yang mendasarinya.
Hakikat mendidik bukanlah sekadar mentransfer pengetahuan atau "mengisi kepala", melainkan proses memanusiakan manusia, yaitu menuntun manusia yang sedang tumbuh untuk menyalakan kesadarannya (Freire, 2001). Konsep ini menempatkan guru tidak hanya sebagai instruktur atau informator, melainkan sebagai pembimbing dan fasilitator yang berakar pada landasan filosofis yang kokoh. Oleh karena itu, diperlukan rekonseptualisasi peran guru sebagai filsuf pendidikan.
Guru sebagai Filsuf: Landasan Epistemologi dan Aksiologi
Filsafat pendidikan berfungsi sebagai landasan nilai dan prinsip yang membimbing setiap tindakan mendidik dan mengajar. Peran guru dalam kajian filsafat tidak hanya berkaitan dengan apa yang diajarkan (kurikulum), tetapi lebih mendasar, yakni mengapa hal tersebut diajarkan dan bagaimana proses pembelajaran itu berlangsung.
Dalam hiruk-pikuk kegiatan di ruang kelas, guru sering dituntut untuk membuat keputusan cepat dan pragmatis demi mengejar target kurikulum atau mengatasi masalah perilaku peserta didik secara instan. Ada kalanya, tuntutan kuat itu mendorong guru pada jalur berpikir biasa, yaitu mencari solusi yang paling mudah dan langsung tersedia. Namun, untuk benar-benar unggul dan memberikan dampak transformatif, pendidikan memerlukan sesuatu yang lebih dari sekadar membuat keputusan cepat. Inilah titik krusial di mana guru ditantang untuk beralih dari sekadar melaksanakan tugas menuju perenungan mendasar, sebab berpikir biasa cenderung mencari jawaban yang tercepat atau termudah untuk menyelesaikan tugas. Sebaliknya, berpikir filosofis mendorong guru untuk mempertanyakan keabsahan jawaban tersebut dan menyelidiki mengapa suatu praktik dianggap layak dipercaya atau efektif.
Sikap ini menghasilkan kesadaran kritis yang penting, bukan hanya dalam memilih materi ajar, tetapi juga dalam memahami konsekuensi moral dan etika dari setiap keputusan pedagogis. Guru yang filosofis menumbuhkan rasa ingin tahu yang tidak padam pada peserta didik, dan melampaui tuntutan kurikulum yang sifatnya temporal.
Banyak institusi pendidikan saat ini terjebak dalam "sibuknya pertunjukan", yaitu aktivitas yang berorientasi pada hasil yang tampak seperti program baru, rapat, pengimbasan, atau acara seremonial lainya, alih-alih "pertumbuhan" esensial peserta didik. Kecenderungan ini menciptakan lingkaran absurditas, di mana sekolah tampak bergerak dan sibuk, namun secara subtansi pendidikan tetap jalan di tempat, dan gagal mencapai tujuan sejati, yaitu membentuk jiwa agar mampu hidup dengan baik. Guru filosofis harus menjadi agen perlawanan terhadap rutinitas tanpa makna ini. Perlawanan paling mulia dalam dunia yang serba cepat adalah dengan berhenti sejenak dan melakukan refleksi mendalam, mempertanyakan: "Apakah saya masih menuntun, atau hanya mengikuti sistem tanpa arah?"
Tiga Pilar Kemajuan Guru Filosofis
Nilai sebuah lembaga pendidikan yang sesungguhnya tidak terletak pada banyaknya program yang dijalankan, namun pada kualitas implementasi yang mampu memacu perkembangan hakiki. Seorang guru yang berorientasi filosofis akan berfokus pada tiga pondasi utama.
1. Kesadaran (Consciousness)
Ini adalah landasan untuk memahami hakikat manusia (ontologi) dan tujuan hidup manusia, yang selanjutnya menjadi landasan perlakuan guru terhadap peserta didik. Guru harus sadar bahwa tugasnya adalah menumbuhkan nalar akal sehat dan bukan sekadar menghafal, serta meneguhkan karakter dari pada sekadar angka di buku rapor.
Menurut Kneller (1971) refleksi adalah aktivitas filosofis krusial yang memungkinkan guru untuk meninjau ulang keyakinan mendasar yang mereka pegang. Guru wajib merefleksikan praktik pengajaran mereka secara teratur, khususnya untuk memastikan bahwa metode yang digunakan sudah selaras dengan tujuan pendidikan tertinggi (aksiologi). Melalui proses ini, guru dapat menghindari pengajaran otomatis dan mulai membuat keputusan yang berfokus pada esensi.
3. Kolaborasi (Collaboration)
Kolaborasi filosofis memerlukan usaha bersama dalam komunitas sekolah untuk meninjau, menyebarluaskan, dan memperkuat visi pendidikan bersama. Tujuannya adalah memastikan bahwa upaya menciptakan makna dalam kehidupan peserta didik bukanlah beban individual, melainkan tanggung jawab kolektif yang didasarkan pada prinsip etika dan moral yang disepakati bersama.
Pergeseran peran guru dari pengajar mata pelajaran menjadi filsuf pendidikan merupakan urgensi fundamental untuk mengembalikan makna sejati dalam dunia pendidikan. Guru yang filosofis adalah sosok yang mampu menuntun arah, menyalakan kesadaran, dan menumbuhkan daya pikir kritis, alih-alih sekadar melaksanakan kurikulum. Dengan peran ini, guru tidak hanya mengajarkan apa yang harus dipelajari, tetapi juga mengajarkan cara berpikir dan cara hidup, membekali peserta didik dengan kecakapan adaptif, etika, dan wawasan global yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia di masa depan. Kesadaran, refleksi, dan kolaborasi adalah pilar yang harus menjadi pegangan bagi guru dalam menjalankan perannya agar terhindar dari jebakan absurditas rutinitas dan fokus pada tujuan esensial pendidikan yakni membentuk karakter dan jiwa bangsa yang mampu menemukan makna, bertindak secara etis, dan hidup berkualitas demi kemajuan Indonesia.
Dwi Santoso, S,Kom., Gr.
Guru Informatika dan Seni Rupa SMP PUI Haurgeulis, Kabupaten Indramayu
Daftar Pustaka
Anggito. (2017). Pentingnya Filsafat Pendidikan Sebagai Dasar Peningkatan Profesionalisme Guru. Jurnal Belaindika: Pembelajaran dan Inovasi Pendidikan.
Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus and other essays. Vintage Books.
Freire, P. (2001). Pendidikan kaum tertindas. Narasi.
Izzati, A. N., ZamZam, A. F., & Prabowo, M. I. (2023). Peran Penting Pendidik dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Abuya: Jurnal Pendidikan Dasar, 2(2), 33–47. https://doi.org/10.52185/abuyaVol2iss2Y2024447
Kneller, G. F. (1971). Introduction to the philosophy of education. John Wiley & Sons.
Penyunting: Putra