Guru: Berakar pada Daniel Goleman Berbunga Kebahagiaan - Guruinovatif.id

Diterbitkan 05 Des 2023

Guru: Berakar pada Daniel Goleman Berbunga Kebahagiaan

Kesenangan sederhana dalam hidup—berjalan di pantai, bermain dengan cucu-cucu, percakapan yang baik dengan seorang teman—lebih menarik bagi saya daripada penghargaan profesional atau ambisi. -Daniel Goleman

Seputar Guru

siti zummaroh

Kunjungi Profile
646x
Bagikan

Penulis: Siti Zummaroh

Kesenangan sederhana dalam hidup—berjalan di pantai, bermain dengan cucu-cucu, percakapan yang baik dengan seorang teman—lebih menarik bagi saya daripada penghargaan profesional atau ambisi. -Daniel Goleman

Kita semua tahu filosofi guru di jawa “guru: digugu lan ditiru”. Dalam bahasa Indonesia digugu artinya, perkataannya harus bisa dipertanggungjawabkan dan ditiru artinya sikap dan perbuatannya dapat menjadi teladan bagi muridnya. Seorang guru selalu bernaung pada sosok yang bijaksana, disiplin, jujur, dan inspiratif. Begitulah karakter yang terpatri pada benak masyarakat ketika ada yang menyebut “guru”. Filosofi tersebut sangat rasional karena guru inilah yang akan mengajarkan disiplin ilmu tertentu, sudah sepatutnya harus memiliki pengetahuan, karakter, dan tingkah laku yang baik. Bahkan, tak jarang image serba baik inilah yang membuat guru mati-matian menjaganya di hadapan semua orang. Bahkan, Sebagian guru memilih menjadi “galak” untuk menjaga kewibawaannya di hadapan muridnya. Suatu ketika, ada kiranya satu tahun yang lalu saya sebagai wali kelas untuk pertama kalinya. Tentunya, saya menggunakan ilmu bermain peran untuk memunculkan karakter saya di hadapan anak didik kelas saya. Supaya masih terkesan humanis, tapi juga tetap dihormati dengan beberapa batasan. Bahkan, saya tidak menampakkan sisi “galak” sedikit pun pada anak didik saya. Namun, hal tersebut berbanding terbalik pada karakter yang dinampakkan wali kelas lainnya yang kebetulan kelasnya di samping kelas saya persis. Beliau ini bernama Bu Dewi, dikenal dengan suara yang keras dan tegas, sehingga tidak sedikit yang menyebutnya “galak”, “sangat galak pakai banget” kalau bahasa anak sekarang. Berdasarkan fenomena tersebut, saya sangat mewajarkan hal itu terjadi, namun sepertinya saya akan menarik pewajaran yang saya lakukan setelah mendapat kesaksian dari beberapa anak dari beberapa kelas yang diajar guru tersebut. Bahkan, parahnya, seorang ketua kelas menghubungi saya pada malam hari melalui pesan whatsapp. “Assalamualaikum Bu, saya mohon maaf sebelumnya. Saya mending berhenti jadi ketua kelas dan keluar dari sekolah saja Bu.” Jelas Jefri di pesan pribadi whatsapp. Saya sebagai wali kelas yang mengenal betul Jefri seorang murid yang gigih, bertanggung jawab pada teman-temannya, selalu tanggap sebagai ketua kelas ini melontarkan pernyataan tersebut. Usut punya usut, setelah saya tanya kenapa, ternyata dia terpukul dengan amarah dari Bu Dewi yang tak terbendung, bahkan beberapa anak yang biasanya pembuat onar di kelas sempat sakit hati karena disumpahi yang jelek-jelek sampai bawa-bawa kematian. Menurut saya, hal itu berlebihan dan mengganggu perkembangan psikologis dan mental anak. Terlebih lagi, generasi sekarang dianggap sebagai generasi bermental strawberry atau diartikan mental mereka mudah lembek (mental down) dengan celaan atau omongan buruk dari orang lain. Bahkan, respon siswa ada yang sangat ekstrim terjadi di Demak, karena alasan sakit hati dan tidak terima dengan perkataan gurunya, seorang anak menggorok gurunya di lingkungan sekolah bulan lalu. Peristiwa tersebut seakan menjadi alarm bagi kita semua untuk dapat mengendalikan emosi yang kita punya. Saya kira, jika kita pandai mengelola emosi, kita akan terhindar dari konflik-konflik antara guru dan murid yang begitu menciderai lembaga pendidikan tersebut. Seorang Bapak Emotional Intelegence (EI) Daniel Goleman menegaskan, “Seseorang yang belum memiliki kecerdasan emosi biasanya akan mudah mengalami gangguan kejiwaan, atau paling tidak kurang dapat mengendalikan emosinya, dan mudah larut dalam kesedihan apabila mengalami kegagalan. Apabila muncul perilaku-perilaku negatif yang disebabkan oleh kurangnya kecerdasan emosi, maka tidak mengherankan bila merugikan bagi orang lain yang berada di sekitarnya.” Secara harfiah, kecerdasan emosi adalah kemampuan memahami perasaan diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, saya yakin, jika setiap individu mmeiliki kecakapan Emotional Intelegence (EI) dalam kehidupan sehari-harinya, dapat dipastikan ia akan lebih dekat dengan emosi positif atau sering kita sebut dengan kebahagiaan, terutama dalam ranah sekolah. Keberhasilan menciptakan kebahagiaan di sekolah ini juga akan berdampak pada keberhasilan sebuah pembelajaran, sebagaimana yang tertera pada tagline Hari Guru Nasional di Kementerian Agama “Guru Pembelajar Bahagia Mengajar”. Menurut hemat saya Emotional Intelegence (EI) ini tidak cukup hanya dikuasai oleh guru saja, melainkan juga bisa diajarkan siswa. Sehingga, masing-masing individu dalam lingkungan sekolah cakap dalam mengendalikan emosi yang dimiliki. Beberapa kecakapan EI yang dapat kita terapkan untuk memperoleh kebahagiaan dalam interaksi guru dan siswa di sekolah yaitu. a. Kesadaran diri Menurut Daniel Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Adapun ciri orang yang mampu mengukur diri secara akurat adalah: 1) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. 2) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman. 3) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri sendiri. 4) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas. b. Pengaturan diri Pengaturan Diri Menurut Daniel Goleman pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.24 Menurut Daniel Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang umumnya dimiliki oleh staf performer adalah pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi. c. Motivasi Untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Menurut Daniel Goleman, salah satu cara untuk mencapai flow adalah dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi tinggi merupakan inti flow. Flow merupakan keadaan yang bebas dari gangguan emosional, jauh dari paksaan, perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh ekstase ringan d. Empati Menurut Daniel Goleman, empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.29 Menurut Daniel, kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati. Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness) dan kendali diri (self control). e. Keterampilan Sosial Keterampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim. Dalam memanifestasikan kemampuan ini dimulai dengan mengelola emosi sendiri yang pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang lain. Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua ketrampilan emosional lain, yaitu manajemen diri dan empati. Kelima hal inilah yang dapat kita kuatkan pada diri setiap individu, terutama guru dalam membentengi kesehatan mental yang dimiliki. Sehingga tercipta lingkungan belajar yang penuh dengan kebahagiaan. Mari kita wujudkan “Bahagia Mengajar” bagi seluruh guru di Indonesia.


Penyunting: Putra

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Pentingnya Menjadi Role Model bagi Siswa
4 min
Padlet! Media Kekinian untuk Memotivasi Siswa Lebih Aktif
5 min
Ketahui Cara Efektif E-Kinerja dan Aksi Nyata PMM
2 min
Peran Wali Kelas dalam Meningkatkan Efektifitas Pembelajaran Siswa
4 min
Melindungi Pahlawan Tanpa Jubah: Membahas dan Mendukung Kesehatan Mental Guru dalam Pendidikan Modern

idris fadillah

Nov 30, 2023
9 min
Isue Kesehatan Mental di Sekolah: Sudahkan Guruku Sehat?

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB

Kursus Webinar