GI Class #159 | Menggali Potensi Anak melalui Pendekatan Humanis dan Sentuhan Hati - Guruinovatif.id

Diterbitkan 09 Des 2025

GI Class #159 | Menggali Potensi Anak melalui Pendekatan Humanis dan Sentuhan Hati

GuruInovatif.id kembali menyelenggarakan webinar inspiratif, Guru Inovatif Class ke-159 yang membahas mengenai “Menggali Potensi Anak melalui Pendekatan Humanis dan Sentuhan Hati” bersama Bilqisthi Zhahiriyah, M.Psi., Psikolog, Cht.

Pelatihan Guru

Event Guru Inovatif

Kunjungi Profile
8x
Bagikan

[Yogyakarta, 8 Desember 2025] – GuruInovatif.id kembali menghadirkan webinar nasional Guru Inovatif Class dengan topik “Menggali Potensi Anak melalui Pendekatan Humanis dan Sentuhan Hati”, bersama Bilqisthi Zhahiriyah, M.Psi., Psikolog, Cht., sebagai narasumber utama.

Dalam pembukaannya, Bilqis mengajak peserta untuk melihat kembali makna kehadiran seorang anak di sekolah. Menurutnya, siswa tidak hanya datang membawa tas berisi buku, mereka juga membawa perasaan, karakter, mimpi, serta potensi yang unik dalam dirinya. Ada anak yang menyapa dengan senyum cerah sejak pagi, ada yang hadir dengan ekspresi datar, namun menyimpan banyak kisah di balik matanya.

Bilqis kemudian menekankan bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada yang menonjol dalam menggambar, ada yang dengan mudah menyampaikan pendapat, dan ada pula yang tampak pendiam tetapi memiliki dunia pemikiran yang kaya. Tantangan besarnya adalah: apakah kita sebagai guru mampu melihat, menggali, dan mengembangkan potensi itu sesuai bakat dan minat masing-masing siswa?

Perkembangan Emosi dan Karakter Anak dalam Pendekatan Humanis

Bilqis menjelaskan bahwa setiap anak datang ke sekolah dengan kondisi perasaan yang berbeda-beda. Ada yang datang dengan semangat dan wajah ceria, namun ada pula yang membawa kecemasan karena mengalami situasi kurang menyenangkan di rumah, misalnya dimarahi orang tua sebelum berangkat. Di sekolah, guru seringkali langsung meminta anak duduk rapi dan fokus belajar, padahal hati mereka mungkin belum siap untuk menerima pelajaran.

Dalam pendekatan humanis, proses belajar tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kesiapan emosional. Bilqis mengaitkan hal ini dengan teori Hierarki Kebutuhan Maslow, yang menyatakan bahwa manusia memiliki beberapa lapisan kebutuhan sebelum mampu mencapai potensi belajar yang optimal:

  • Kebutuhan fisik: makan, istirahat, kesehatan.

  • Rasa aman: bebas dari rasa takut dan ancaman.

  • Rasa cinta dan memiliki: merasa diterima dan disayangi.

  • Harga diri: merasa dihargai dan diakui.

  • Aktualisasi diri: mampu berkarya, berkembang, dan mencapai prestasi.

Baca juga:
Laboratorium di Genggaman: Strategi Pengembangan Bahan Ajar Fisika Berupa Video Interaktif dan Simulasi dalam Konteks Hybrid Learning

Bilqis memberikan analogi menarik: jika proses belajar diibaratkan sebagai sebuah rumah, maka “belajar” adalah bagian atapnya. Sementara kebutuhan akan rasa aman dan cinta adalah fondasinya. Tanpa fondasi yang kuat, atap tidak dapat berdiri kokoh. Begitu pula dalam kehidupan anak. Ketika kebutuhan emosionalnya belum terpenuhi, anak bisa menunjukkan perilaku tantrum, mudah menarik diri, kurang percaya diri, atau sulit berkonsentrasi. Sayangnya, kita terkadang terburu-buru memberi label seperti “malas” atau “nakal”, padahal mereka mungkin hanya belum siap secara emosional untuk belajar.

Bilqis menegaskan bahwa pembelajaran baru dapat berlangsung efektif ketika beberapa prinsip ini hadir:

1. Anak merasa diterima tanpa syarat (Unconditional positive regard)

Prinsip ini menekankan bahwa nilai seorang anak tidak ditentukan oleh prestasi akademik semata. Mereka berharga karena mereka adalah anak yang kita bimbing, bukan karena angka-angka di rapornya. Tanpa sadar, orang dewasa sering mengucapkan kalimat seperti, “Kalau nilainya bagus, Ibu beri hadiah,” dengan tujuan memotivasi. Namun bagi sebagian anak, pesan ini bisa ditangkap secara berbeda: “Agar aku disayang, aku harus berhasil dulu.”

Dalam pendekatan humanis, cinta dan penerimaan seharusnya diberikan terlebih dahulu. Setelah itu, barulah proses belajar berkembang dengan lebih sehat. Prestasi tetap penting, tetapi bukan prasyarat untuk mendapatkan kasih sayang. Justru ketika anak merasa dicintai tanpa syarat, ia akan lebih percaya diri untuk berproses dan mencapai prestasi.

2. Lingkungan belajar yang penuh empati (Empathy-oriented teaching)

Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang mampu memahami dunia batin anak. Guru dan orang tua perlu mendengarkan cerita anak dengan empati—berusaha melihat dari perspektif mereka, bukan langsung menilai. Anak yang rewel, misalnya, mungkin bukan sedang mencari perhatian, tetapi sedang lelah atau cemas.

Bilqis membagikan sebuah kisah tentang seorang anak yang dikenal sangat jahil dan sulit dinasehati di kelas. Setelah ditelusuri, ternyata sebelum berangkat sekolah ia selalu mendapat teguran keras dari ibunya karena beban pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan. Ternyata, perilaku yang tampak “mengganggu” itu adalah cara anak mengekspresikan perasaan yang tak mampu ia sampaikan dengan kata-kata.

GI Class #159 | Menggali Potensi Anak melalui Pendekatan Humanis dan Sentuhan Hati

3. Hubungan yang tulus dan autentik (Authentic relationship)

Guru dan orang tua tidak harus tampil sempurna. Mereka juga manusia biasa yang menghadapi kelelahan, kesibukan, dan tantangan harian. Namun ketika mereka hadir dengan ketulusan, kehangatan, dan tidak bersikap menggurui, anak akan merasa lebih aman untuk berbicara, bertanya, atau bahkan bercerita tentang hal yang mengganggu pikirannya.

Hubungan autentik juga berarti berani mengakui kesalahan. Jika orang dewasa melakukan kekeliruan, meminta maaf kepada anak bukanlah hal yang tabu. Anak belajar bukan hanya dari kata-kata yang mereka dengar, tetapi dari perilaku yang mereka lihat setiap hari. Ketika orang dewasa menunjukkan kejujuran dan kerendahan hati, anak akan meniru nilai-nilai tersebut dalam membangun karakternya.

Identifikasi Kekuatan dan Hambatan Belajar Anak

Bilqis menjelaskan bahwa orang tua sering kali terlalu fokus pada kelemahan anak—misalnya, ketika anak dianggap “kurang” dalam Matematika—tanpa melihat sisi kuat yang sebenarnya dimiliki anak. Padahal, setiap anak pasti memiliki potensi atau keunggulan tertentu. Jika anak yang sudah berusaha keras justru diberi label “lemah”, hal tersebut dapat menurunkan rasa percaya diri dan membuatnya merasa minder.

Secara umum, seorang anak biasanya memiliki satu atau lebih area keunggulan, seperti:

  • Kognitif — unggul dalam akademik, logika, baca-tulis, serta berhitung.

  • Sosial-empati — mudah berteman, komunikatif, dan mampu mencairkan suasana, meskipun nilai akademiknya tidak selalu tinggi.

  • Kreatif-seni — senang bermusik, menggambar, bercerita, atau mengekspresikan emosi melalui karya.

  • Motorik — aktif bergerak, tidak betah duduk lama, dan menonjol dalam olahraga atau aktivitas kinestetik.

Menurut Bilqis, hambatan belajar adalah sesuatu yang wajar. Hambatan tidak boleh dipandang sebagai cacat, kegagalan, atau kesalahan orang tua maupun guru. Hambatan justru menjadi sinyal bahwa anak membutuhkan cara pendampingan yang berbeda, bukan hukuman atau stigma.

Baca juga:
Merajut Mimpi Di Pelosok Negeri: Kunci Mengatasi Bagaimana Tantangan Pendidikan Di Wilayah Terpencil Demi Pemerataan Pendidikan Di Indonesia Yang Lebih Adil

Ia juga menjabarkan bahwa hambatan belajar dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti:

  • Emosional — anak mudah cemas, takut, atau trauma saat proses belajar.

  • Sosial — anak membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi di lingkungan sekolah.

  • Kognitif — kesulitan fokus atau mempertahankan perhatian.

  • Bahasa — tantangan dalam berkomunikasi dua arah.

  • Sensoris — sensitivitas tinggi terhadap suara, sentuhan, atau rangsangan lain.

Karena itu, ketika menghadapi anak yang mengalami kesulitan belajar, pertanyaannya bukan lagi “Anak ini kenapa sih?”, tetapi berubah menjadi “Anak ini sedang membutuhkan apa?”.

Bilqis kemudian memaparkan beberapa pendekatan intervensi yang dapat dilakukan guru dan orang tua, seperti memvalidasi perasaan anak, menerapkan diferensiasi pembelajaran, membangun kolaborasi yang terbuka antara orang tua dan guru, serta melibatkan dukungan dari konselor. Penjelasan lengkap mengenai keempat pendekatan ini dapat Anda simak melalui tayangan ulang webinar pada tautan berikut.

Temukan berbagai webinar, workshop, dan materi inspiratif lainnya dengan bergabung di membership GuruInovatif.id.

Membership GuruInovatif.id

Klik untuk bergabung membership GuruInovatif.id disini


Penulis: Eka | Penyunting: Putra

0

0

Loading comments...

Memuat komentar...

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

GI Class #152 | Inovasi Pembelajaran Mendalam melalui Design Thinking dan AI untuk Pendidikan Masa Depan
0 sec
GI Academy #15 : Kupas Tuntas Implementasi Pembelajaran Berdiferensiasi pada Kurikulum Merdeka
0 sec
GI Academy #17 Menggali Kemampuan Siswa dengan Coaching
0 sec
Workshop Guru tentang Gamefikasi Koding untuk Pendidikan
0 sec
Menemukan Kembali Jiwa Pendidikan di Era Digital lewat Kolaborasi Design Thinking, AI, dan Pendekatan Humanistik
0 sec
Menguasai Literasi Digital:Kunci Sukses dalam Membimbing Siswa di Era Digital
0 sec
Komunitas