Generasi Stroberi dan Kesehatan Mental Guru
*Dra. Siswandarti, M.Pd.
Stigma Generasi Stroberi
Kasus bunuh diri di kalangan pelajar dan mahasiswa akhir-akhir ini marak diberitakan di berbagai media sosial. Fenomena ini mengindikasikan bahwa generasi sekarang rentan dengan permasalahan psikis dan sebagian dari mereka tidak mampu mengatasinya. Tak ayal, stigma Generasi stroberi disematkan untuk melabeli Generasi X, yang lahir antara tahun 1980 dan 2000. Generasi ini dikenal sebagai generasi yang kreatif, namun rapuh dalam menghadapi tekanan sosial. Generasi stroberi pertama kali muncul di Taiwan, yang digunakan untuk mengindikasikan generasi yang lahir setelah tahun 1981. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan generasi masa itu yang mengalami kesulitan dalam menghadapi tekanan sosial.
Tantangan Guru
Menjadi guru adalah pekerjaan mulia dan mempunyai tanggung jawab besar dalam mencetak generasi. Menghadapi Generasi stroberi menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Kita tidak boleh abai, menyudutkan, atau bahkan menghakimi dengan membanding-bandingkan generasi sebelumnya yang dianggap lebih tangguh dalam menghadapi setiap permasalahan. Tugas guru adalah menuntun peserta didik sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Menuntun merupakan salah satu pilar utama filosofi Ki Hadjar Dewantara (KHD). Tugas guru bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih pada membentuk karakter dan memfasilitasi peserta didik untuk mengoptimalkan potensinya. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesadaran reflektif agar guru mampu menuntun peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang berakhlak mulia, mandiri, dan tangguh.
Menuntun dalam konteks filosofi KHD mengandung beberapa makna, yaitu memberi petunjuk, membangun kemandirian, membentuk karakter, dan menghargai setiap individu. Pada proses pembelajaran, guru hendaknya memberikan petunjuk, melibatkan peserta didik dalam kelompok diskusi, memecahkan masalah, dan membimbing mereka agar mampu berpikir kritis. Dalam mengembangkan kemandirian, guru hendaknya memberi kebebasan kepada peserta didik dalam mencari bahan atau sumber belajar. Untuk membentuk karakter, guru hendaknya menjadi teladan, motivator dan inspirator agar peserta didik mempunyai etika dan sikap bertanggung jawab. Selanjutnya, guru hendaknya bisa menghargai murid sebagai individu yang mempunyai perbedaan potensi sehingga guru memperlakukan mereka sesuai dengan kebutuhan dan potensi setiap individu. Dengan mengedepankan sikap mental, keteladanan, dan menuntun peserta didik, guru akan mampu membimbing dan mengembangkan setiap individu peserta didik secara holistik, baik lahir maupun batin sehingga mampu melahirkan pribadi-pribadi yang kritis, kreatif, dan tangguh untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam menumbuhkan karakter peserta didik, tentu saja dibutuhkan kesehatan mental yang prima. Menurut https://www.lactoclub.co.id, kesehatan mental adalah kondisi individu yang memiliki kesejahteraan, mampu menyadari potensinya, dan memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup di berbagai situasi kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan kontributif. Kesehatan mental adalah bagian dari kompetensi kepribadian guru. Kompetensi ini, antara lain mencakup akhlak mulia, jujur, keteladanan, bijaksana, dan berwibawa. Dengan kesehatan mental yang baik, seorang guru akan mampu menuntun peserta didik dalam menguatkan karakter dan mengembangkan potensinya.
Pentingnya Kesehatan Mental Guru
Kesehatan mental mutlak diperlukan oleh seorang guru agar mampu menuntun peserta didik sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Ketika seorang guru mempunyai kesehatan mental yang baik, dia akan mampu mengoptimalkan potensi dan menggembleng mental peserta didik. Dengan begitu, guru tersebut dapat mencetak generasi yang kritis, kreatif, dan tangguh dalam menghadapi perubahan zaman sekaligus dapat mengurangi stigma Generasi Stroberi.
Penyunting: Putra