Di tengah gempuran teknologi dan dominasi gawai, bagaimana kita sebagai pendidik memastikan peserta didik tetap aktif bergerak dan terhubung dengan budayanya? Artikel ini membagikan sebuah praktik baik dari SD Negeri Banyurip 1, yang berhasil memantik kembali semangat bergerak siswa melalui kearifan lokal: permainan tradisional.
Menjawab Tantangan Zaman
Kita semua menyaksikan fenomena yang sama. Perkembangan teknologi yang pesat telah mengubah pola bermain anak-anak. Gawai dan permainan digital seringkali menggantikan aktivitas fisik dan interaksi sosial yang esensial bagi tumbuh kembang mereka.
Hal ini membawa dua kekhawatiran utama:
Kesehatan: Menurunnya aktivitas fisik berdampak pada keterampilan motorik dan meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti obesitas.
Budaya: Minat terhadap permainan berbasis budaya lokal menurun, mengancam nilai-nilai luhur (karakter, sosial, edukatif) yang terkandung di dalamnya.
SD Negeri Banyurip 1 melihat ini sebagai sebuah panggilan. Kami sadar bahwa siswa SD pada dasarnya sangat menyukai model belajar sambil bermain. Permainan tradisional, dengan segala kekayaannya, adalah jawaban yang kami cari. Praktik baik ini bertujuan tidak hanya untuk melestarikan budaya, tetapi juga sebagai strategi jitu untuk mengurangi ketergantungan pada gawai dan mengajak siswa bergerak aktif.
Tantangan yang Dihadapi
Tentu saja, niat baik ini tidak berjalan tanpa hambatan. Dalam menerapkan kembali permainan tradisional di lingkungan sekolah, kami mengidentifikasi beberapa tantangan utama:
Dominasi gawai:
Permainan digital yang menawarkan hiburan instan menjadi pesaing berat bagi permainan tradisional yang menuntut aktivitas fisik.
Kurangnya pengetahuan:
Ironisnya, banyak siswa (dan bahkan sebagian pendidik) yang tidak lagi familiar dengan cara bermain dan aturan permainan tradisional.
Fasilitas terbatas:
Beberapa permainan tradisional membutuhkan ruang terbuka yang cukup luas, yang terkadang menjadi kendala, terutama di sekolah dengan lahan terbatas.
Prioritas kurikulum:
Tuntutan akademik yang ketat seringkali membuat kegiatan non-akademis seperti bermain "terpinggirkan".
Persepsi:
Sebagian kalangan masih menganggap permainan tradisional hanya hiburan semata, bukan alat pendidikan yang serius.
Aksi Nyata: 7 Strategi Membudayakan Permainan Tradisional
Menghadapi tantangan tersebut, kami tidak menyerah. Kami merancang dan melaksanakan beberapa langkah aksi yang terintegrasi untuk membudayakan kembali permainan tradisional di SD Negeri Banyurip 1:
Integrasi kurikulum:
Permainan tradisional seperti "Gobak Sodor", "Egrang", dan "Engklek" tidak hanya menjadi pengisi waktu istirahat, tetapi juga diintegrasikan secara terstruktur ke dalam mata pelajaran PJOK (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan) dan kegiatan ekstrakurikuler.
Festival dan kompetisi:
Kami mengadakan festival atau kompetisi permainan tradisional antar kelas. Antusiasme siswa luar biasa! Ini membangkitkan semangat sportivitas dan kebanggaan.
Pelatihan guru:
Guru perlu menjadi fasilitator yang efektif. Kami mengadakan sesi in-house training (IHT) singkat untuk menyegarkan kembali pengetahuan guru tentang filosofi dan cara memandu berbagai permainan tradisional.
Optimalisasi sarana:
Kami memastikan ketersediaan ruang dan alat. Lapangan sekolah kami gambar dengan pola "Engklek" permanen. Alat-alat sederhana seperti egrang bambu dan bola kasti kami sediakan.
Pembelajaran kontekstual:
Kami menghubungkan permainan dengan mata pelajaran lain. Misalnya, menghitung skor di permainan "Congklak" (matematika) atau mempelajari asal-usul permainan (IPS dan Budaya).
Pemanfaatan teknologi (Secara bijak):
Kami menggunakan teknologi justru untuk mempromosikan permainan tradisional. Siswa diajak membuat video tutorial sederhana tentang cara bermain, yang kemudian bisa dibagikan di media sosial sekolah.
Hari Permainan Tradisional:
Kami menetapkan satu hari khusus dalam satu semester di mana seluruh warga sekolah—dari siswa hingga guru—bersama-sama keluar kelas untuk bermain permainan tradisional.
Hasil dan Dampak Positif: Lebih dari Sekadar Keringat
Hasil yang kami amati jauh melampaui ekspektasi awal. Praktik baik ini tidak hanya membuat siswa berkeringat, tetapi juga menumbuhkan berbagai aspek positif:
Peningkatan keterampilan motorik:
Permainan seperti "Engklek," "Egrang," dan "Lompat Tali" terbukti sangat efektif meningkatkan koordinasi, keseimbangan, dan kecepatan. Kebugaran fisik siswa meningkat.
Pengembangan keterampilan sosial:
Ini adalah hasil terbesar. Melalui "Gobak Sodor", siswa belajar tentang kerjasama tim, strategi, dan komunikasi. Mereka belajar menerima kekalahan (sportivitas) dan merayakan kemenangan bersama.
Aspek kognitif:
Banyak permainan tradisional yang mengasah kemampuan berpikir kritis dan mengambil keputusan dengan cepat.
Pelestarian budaya:
Siswa kini memiliki "modal" permainan yang bisa mereka mainkan di rumah, mengurangi waktu mereka dengan gawai. Mereka menjadi agen pelestar budaya di lingkungan mereka.
Menggerakkan Generasi, Melestarikan Tradisi
Penerapan permainan tradisional di SD Negeri Banyurip 1 adalah sebuah langkah strategis untuk mendukung perkembangan holistik siswa. Ini adalah bukti bahwa kita bisa melestarikan warisan budaya sekaligus menjawab kebutuhan zaman akan aktivitas fisik dan sosial.
Tantangan pasti ada, tetapi melalui kolaborasi guru, siswa, dan orang tua, semua bisa diatasi. Praktik baik ini telah berkontribusi nyata dalam membentuk karakter siswa yang lebih sehat secara fisik, sosial, dan emosional.
Permainan tradisional adalah alat pendidikan karakter yang luar biasa. Mari kita, para guru inovatif, tidak ragu untuk membawanya kembali ke halaman sekolah kita.
Penyunting: Putra