[Yogyakarta, 29 – 31 Oktober 2025] – GuruInovatif.id kembali menghadirkan rangkaian workshop nasional dengan tema besar “Asesmen Autentik Berbasis STEM.” Melalui edisi ini, Guru Inovatif Academy (GIA) menyoroti urgensi pembaruan asesmen di sekolah yang tidak hanya mengukur pengetahuan peserta didik, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, kolaboratif, dan kreatif sesuai dengan prinsip Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM).
Di tengah perubahan kurikulum dan tuntutan pembelajaran abad ke-21, asesmen kini berperan penting sebagai bagian dari proses belajar yang mendorong peserta didik untuk memahami, bereksperimen, dan merefleksikan hasil kerja mereka sendiri. Guru tidak lagi sekadar “pemberi nilai,” tetapi menjadi perancang pengalaman belajar yang bermakna dan relevan dengan konteks kehidupan nyata.
Untuk mendukung transformasi ini, enam narasumber inspiratif berbagi praktik baik dan strategi implementatif dalam penyusunan asesmen berbasis STEM yang aplikatif di kelas:
Fina Ulinnuha Arifin Febrianti, S.Pd., & Agita Violy, S.S., S.Pd., M.Pd. – GIA 63: Asesmen Autentik Berbasis STEM
Tubagus Arayyan, M.Pd., & Rizqi Zhairisma, S.Pd., Gr. – GIA 66: Asesmen Proyek Kolaboratif Berbasis STEM
Rolla Fardila, S.Pd., & Merri Natalia, M.Pd. – GIA 69: Asesmen Proyek Riset Berbasis STEM
Melalui ketiga sesi ini, GuruInovatif.id mengajak para pendidik untuk meninjau kembali makna sejati asesmen: bukan sebagai alat untuk menilai hasil, tetapi sebagai jembatan yang membantu siswa belajar lebih mendalam dan memahami proses berpikir di balik setiap proyek dan penemuan yang mereka buat.
Mengubah Pola Pikir: Asesmen Sebagai Proses Belajar
Pada sesi GIA 63, yang dibersamai oleh Bu Fina Ulinnuha Arifin Febrianti dan Bu Agita Violy, para peserta diajak meninjau kembali cara pandang terhadap asesmen di kelas. Bu Fina membuka sesi dengan menekankan bahwa asesmen autentik sejatinya adalah bagian dari proses belajar itu sendiri, bukan sekadar kegiatan di akhir pembelajaran. Guru diajak untuk menilai tidak hanya apa yang dihasilkan peserta didik, tetapi juga bagaimana mereka berpikir, bereksperimen, dan merefleksikan prosesnya.
Menurutnya, asesmen autentik adalah upaya untuk melihat peserta didik secara utuh, bukan hanya dari angka atau skor ujian, melainkan dari bagaimana mereka berupaya memahami dan menerapkan konsep dalam situasi nyata. Dengan pendekatan ini, guru dapat melihat sejauh mana peserta didik telah membangun kompetensi dan sikap ilmiah yang dibutuhkan di abad ke-21.
Baca juga:
Cara Guru Menghadapi Perbedaan Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Berdiferensiasi
Bu Fina menekankan bahwa ketika guru mengubah cara pandang terhadap asesmen, maka budaya belajar di kelas pun ikut berubah. Peserta didik tidak lagi belajar demi nilai, tetapi karena ingin memahami dan menyelesaikan tantangan yang diberikan. Asesmen menjadi ruang dialog antara guru dan peserta didik, di mana hasil bukan satu-satunya ukuran keberhasilan, melainkan refleksi dari perjalanan belajar yang bermakna.
Merancang asesmen yang memantik rasa ingin tahu
Dalam praktiknya, Bu Fina mengajak guru untuk merancang asesmen yang mendorong eksplorasi dan rasa ingin tahu. Ia mencontohkan tugas yang melibatkan pengamatan lingkungan sekitar atau eksperimen sederhana yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ketika peserta didik diajak untuk bertanya, mencari tahu, dan menemukan sendiri jawabannya, pembelajaran menjadi lebih aktif dan kontekstual.

Ia juga menyoroti pentingnya memberi ruang bagi peserta didik untuk mengekspresikan hasil belajarnya dalam berbagai bentuk, seperti poster, video, laporan visual, atau presentasi. Variasi bentuk asesmen ini tidak hanya meningkatkan motivasi belajar, tetapi juga menumbuhkan keterampilan komunikasi dan kreativitas.
Bu Fina menutup sesi dengan pesan reflektif bahwa guru perlu menjadi desainer pengalaman belajar. Artinya, asesmen bukan hanya soal menilai, tetapi bagaimana guru merancang pengalaman yang membuat peserta didik mampu memahami makna di balik setiap proses belajar. Dengan cara ini, asesmen menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar evaluasi.
Kolaborasi Sebagai Inti Pembelajaran
Pada sesi GIA 66, yang dibersamai oleh Bapak Tubagus Arayyan dan Bu Rizqi Zhairisma, para guru diajak memahami pentingnya kolaborasi dalam pembelajaran berbasis STEM. Bapak Tubagus menjelaskan bahwa kolaborasi bukan hanya kerja kelompok, tetapi juga proses belajar sosial yang membentuk karakter dan keterampilan komunikasi peserta didik.
Bapak Tubagus menjelaskan bahwa proyek kolaboratif memberi kesempatan bagi peserta didik untuk belajar menghargai perbedaan, mendengarkan pendapat, dan bernegosiasi dalam mengambil keputusan. Di sinilah peran guru menjadi penting, memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki tanggung jawab dan peran yang jelas, serta memberikan umpan balik yang konstruktif sepanjang proses berlangsung.
Ia juga menegaskan bahwa keberhasilan asesmen kolaboratif tidak diukur dari seberapa sempurna hasil proyeknya, tetapi dari seberapa efektif peserta didik berkontribusi dan belajar dari satu sama lain. Guru dapat menilai dinamika tim, inisiatif individu, dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan konflik sebagai bagian dari asesmen yang holistik.
Strategi membangun proyek yang bermakna
Dalam sesi ini, Bapak Tubagus memaparkan berbagai contoh proyek kolaboratif berbasis STEM yang dapat diterapkan di sekolah. Misalnya, merancang sistem pengelolaan sampah sederhana, membuat alat penghemat energi, atau mengembangkan kampanye lingkungan dengan dukungan data ilmiah. Proyek semacam ini menuntut peserta didik untuk menggabungkan pengetahuan dari berbagai bidang dan berpikir kritis dalam mencari solusi nyata.

Selain aspek teknis, Bapak Tubagus juga menekankan pentingnya asesmen formatif selama proyek berlangsung. Guru dapat menggunakan jurnal refleksi, peer assessment, atau portofolio proyek untuk memantau perkembangan dan memberikan umpan balik yang bermakna. Dengan cara ini, peserta didik tidak hanya belajar menyelesaikan tugas, tetapi juga belajar memahami proses berpikir mereka sendiri.
Menurut Bapak Tubagus, proyek kolaboratif berbasis STEM adalah miniatur kehidupan nyata. Ketika peserta didik belajar bekerja sama dalam menyelesaikan tantangan yang kompleks, mereka sesungguhnya sedang berlatih menjadi pemecah masalah dan pembelajar sepanjang hayat.
Dari Eksperimen Menuju Penemuan: Asesmen Berbasis Riset
Sesi workshop GIA 69, yang dibersamai oleh Bapak Rolla Fardila dan Bu Merri Natalia menyoroti pentingnya riset sebagai bagian dari pembelajaran berbasis STEM. Bapak Rolla menegaskan bahwa riset bukan hanya untuk ilmuwan, tetapi juga bisa menjadi pendekatan pembelajaran yang menyenangkan dan penuh makna di kelas. Menurut Bapak Rolla, dengan riset, peserta didik belajar bagaimana berpikir secara sistematis, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan berdasarkan data yang mereka peroleh sendiri.
Bapak Rolla mengajak guru untuk melihat riset sebagai proses bertanya dan menemukan, bukan kegiatan yang kompleks atau menakutkan. Ia menunjukkan bahwa riset sederhana, seperti mengamati perubahan suhu, pertumbuhan tanaman, atau perilaku benda, sudah cukup untuk menumbuhkan rasa ingin tahu ilmiah di kalangan peserta didik. Yang terpenting adalah bagaimana guru membimbing proses tersebut agar tetap fokus pada pembelajaran dan relevan dengan konteks kehidupan peserta didik.
Baca juga:
Webinar Nasional Oktober | Media Interaktif untuk Pembelajaran STEM
Dengan pendekatan riset, asesmen menjadi lebih berorientasi proses. Guru dapat menilai bagaimana peserta didik merencanakan penelitian, mengumpulkan data, menganalisis hasil, dan menyampaikan temuannya secara ilmiah. Setiap tahap menjadi cerminan dari keterampilan berpikir kritis dan kemampuan literasi sains peserta didik.
Menyusun riset sederhana di kelas
Bapak Rolla juga membagikan beberapa strategi praktis untuk memulai riset di kelas tanpa harus menggunakan alat laboratorium canggih. Guru bisa memanfaatkan bahan-bahan sederhana di lingkungan sekolah, seperti air, cahaya, atau tanah, untuk membuat eksperimen mini. Kegiatan ini tidak hanya melatih peserta didik berpikir ilmiah, tetapi juga membiasakan mereka untuk mengamati, mencatat, dan menarik kesimpulan secara logis.
Ia juga mendorong guru untuk memanfaatkan project-based learning sebagai wadah pelaksanaan riset kecil. Peserta didik dapat diminta membuat laporan hasil pengamatan, infografis, atau video dokumentasi yang menampilkan proses penelitiannya. Pendekatan ini memadukan kreativitas dengan ketelitian, menjadikan riset sebagai pengalaman belajar yang hidup dan menyenangkan.

Bapak Rolla menutup sesinya dengan penekanan bahwa riset di kelas bukan tentang hasil eksperimen yang sempurna, tetapi tentang proses peserta didik belajar berpikir seperti ilmuwan: bertanya, mencoba, gagal, memperbaiki, dan menemukan. Dengan cara ini, asesmen menjadi jembatan antara pengetahuan dan pengalaman nyata.
Menata Ulang Makna Belajar Melalui Asesmen
Rangkaian Workshop Nasional Oktober ini memperlihatkan bahwa asesmen bukan lagi sekadar alat evaluasi, melainkan bagian penting dari proses pembelajaran itu sendiri. Melalui asesmen autentik, guru dapat melihat perkembangan peserta didik dari berbagai aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, serta membantu mereka mengenali potensi diri melalui proses belajar yang reflektif.
Lebih dari sekadar angka di rapor, asesmen autentik mengajarkan bahwa setiap proses belajar memiliki cerita. Ada perjuangan, kegigihan, dan bahkan keraguan yang menjadi bagian dari pertumbuhan peserta didik. Di sinilah guru berperan sebagai penafsir makna, bukan hanya pencatat nilai. Guru yang reflektif akan melihat bahwa keberhasilan pembelajaran bukan diukur dari kecepatan peserta didik menjawab soal, tetapi dari sejauh mana mereka memahami dan mampu menerapkan pengetahuannya secara nyata.
Dari sesi Bu Fina Ulinnuha Arifin Febrianti dan Bu Agita Violy, Bapak Tubagus Arayyan dan Bu Rizqi Zhairisma, hingga Bapak Rolla Fardila dan Bu Merri Natalia, satu benang merah terlihat jelas: asesmen yang baik adalah asesmen yang menumbuhkan. Asesmen semacam ini menumbuhkan rasa ingin tahu, keterampilan kolaborasi, dan semangat riset di dalam diri peserta didik. Dengan pendekatan tersebut, pendidikan tidak hanya mencetak peserta didik yang cerdas, tetapi juga pembelajar mandiri yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Lebih jauh lagi, asesmen autentik menuntut guru untuk turut belajar memahami karakter setiap peserta didik, menyesuaikan strategi pembelajaran, dan menilai dengan empati. Ketika guru belajar bersama peserta didik, proses pendidikan menjadi lebih hidup dan bermakna. Setiap proyek, eksperimen, dan refleksi menjadi ruang bersama untuk tumbuh, bukan sekadar menyelesaikan target kurikulum.
Bu Agita, Bu Risma, dan Bu Merri juga turut membagikan pengalaman mereka dalam merancang asesmen berbasis STEM yang kontekstual dan inspiratif di kelas. Pendekatan mereka menegaskan bahwa asesmen dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan kreativitas sekaligus memperkuat karakter peserta didik.
Pada akhirnya, asesmen bukan hanya tentang menilai, tetapi tentang memanusiakan pembelajaran. Konsep ini mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah perjalanan panjang menuju pemahaman, bukan perlombaan menuju hasil. Dari sinilah masa depan pendidikan berbasis STEM menemukan pijakannya, bahwa ilmu pengetahuan akan tumbuh subur ketika diiringi dengan nilai-nilai reflektif, kolaboratif, dan kemanusiaan.
Simak kembali pemaparan lengkap dari para narasumber dalam rangkaian workshop ini dan dapatkan berbagai contoh penerapan pembelajaran yang efektif di sekolah Anda.
Dapatkan ratusan pelatihan, sertifikat resmi, serta mentoring melalui membership GuruInovatif.id untuk membantu guru mengembangkan pembelajaran cerdas digital yang tetap berakar pada nilai, karakter, dan kemanusiaan.

Gabung membership dan jadilah bagian dari perubahan!
Penulis: Ridwan | Penyunting: Putra