Berprofesi menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah. Guru dituntut mampu mendidik siswa agar menjadi generasi yang dapat beradaptasi dan menghadapi tantangan zaman dengan lebih baik. Sedang, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta gaya hidup yang lebih modern cenderung mendorong pola pikir berbeda pada siswa di setiap zamannya. Akan tetapi, guru mau tidak mau sebagaimana diamanatkan undang-undang musti mengikuti semangat dalam penentu mutu pendidikan (kebijakan).
Hal itu, tidak jarang menambah persoalan (beban) bagi guru. Pada satu sisi musti mengupgrade hal-hal baru disisi lain harus menjalankan kebijakan pemerintah (Kemendikbud). Sebaliknya, menyangkut kesehatan mental seorang guru itu minim sekali mendapat perhatian bahkan persoalan itu jarang sekali menjadi suatu hal menarik untuk dikaji secara terbuka sebagai wacana publik.
Padahal, harus diakui keberhasilan terselenggaranya pendidikan nasional sangat ditentukan oleh kesiapan guru dalam proses pembelajaran. Ini tidak hanya sebatas sebuah profesi guru musti dijalankan, namun dengan rasa tanggung jawab besar untuk mengembangkan potensi dan kualitas peserta didik pada ranah kognitif, psikomotorik hingga ranah afektif sedikit banyak memberi dampak pada kesehatan mental seorang guru.
Oleh sebab itu, menjadi sangat urgen adanya layanan konseling bagi seorang guru. Hal itu, bisa diwujudkan dengan menggandeng psikolog profesional maupun lembaga yang konsen terhadap masalah kesehatan mental. Pasalnya, tanggung jawab yang besar di sekolah serta tantangan hidup lainnya yang dihadapi seringkali memunculkan emosi-emosi yang harus dikelola dengan baik.
Tekanan lainnya misalnya bisa berasal dari peserta didik dimana usia remaja merupakan bagian dari proses pencarian jati diri. Tidak dapat dikesampingkan bahwa emosi mereka masih fluktuatif dan dibutuhkan keterampilan untuk mengelolanya dengan baik. Sementara, hubungan guru dan siswa haruslah menjadi hubungan yang dinamis dan harmonis.
Dengan itu, guru bisa dengan baik menyampaikan materi sementara siswa bisa dengan mudah dan senang melalui proses pembelajaran yang mungkin tidak mudah bagi mereka. Pentingnya layanan konseling bagi guru sebenarnya dibutuhkan bukan baru-baru ini melainkan gejala perlunya layanan kesehatan mental guru sejak dahulu mustinya harus ada. Ambil contoh, beberapa tahun terakhir ini kita banyak dikejutkan akan berita negatif mengenai hubungan guru dan siswa.
Data kekerasan pada anak dari LPA Provinsi Jawa Timur misalnya, sepanjang tahun 2018 terdapat 120 kasus kekerasan anak terjadi di dunia pendidikan yang pelakunya adalah guru. Kemudian, dari data itu pula pelaku kekerasan bukan saja dilakukan oleh guru melainkan kepala sekolah sampai karyawan. Mereka, melakukan kekerasan berdalih mendisplinkan siswa.
Fenomena kekerasan pada satuan pendidikan ini masih banyak dijumpai sampai sekarang bahkan pelakunya terkadang oleh siswa terhadap guru mereka. Beberapa hari lalu siswa SMP menganiaya guru lantaran ditegur tidak memakai sepatu (Kompas.com, 17/11/2023). Pada kasus lainnya siswa SMK di Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaporkan ke polisi setelah nekat memukul gurunya karena tidak terima ditegur lantaran merokok di sekolah (Detik.com, 8/11/2023).
Bahkan hubungan guru dan orang tua yang seharusnya menjadi jembatan justru malah kerap berselisih. Di daerah lainnya orang tua siswa mengatapel mata guru karena menegur dan menghukum anaknya yang merokok (Detik.com, 3/08/2023). Peristiwa ini menjadi catatan khusus yang harus dibenahi oleh pemerintah, instansi terkait yang mengurusi dunia pendidikan tidak terkecuali unit terkecil bernama sekolah yang menaungi para guru maupun siswa.
Semua masalah itu, setidaknya dapat dikurangi dengan memperhatikan kesehatan mental seorang guru. Sebab, masalah tersebut kerap kali muncul akibat dari kurangnya komunikasi, pemahaman serta hubungan yang kurang baik antar guru dengan siswa maupun wali siswa. Perbedaan generasi antara guru dan siswa juga menjadi salah satu faktor kurangnya keharmonisan antara keduanya.
Hasil sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 270 juta jiwa penduduk Indonesia 27,94 % merupakan gen Z yang sekarang berada di masa sekolah SD sampai SMP. Itu artinya, perlunya guru mengerti dunia anak sekarang kesempatan guru mau mengerti dan belajar manakala masalah kesehatan mental mereka stabil minimal guru bisa menanggalkan segala beban manakala memasuki ruang pendidikan.
Dalam tulisannya berjudul Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation (2017), Ryan Jenkins menyatakan bahwa Gen Z meiliki preferensi, harapan serta perspektif kerja yang berbeda dan dinilai menantang bagi organisasi. Karakternya lebih beragam, bersifat global dan memberikan pengaruh bagi budaya, masyarakat serta mampu memanfaatkan perubahan teknologi.
Untuk proses belajar Gen Z tidak hanya fokus belajar pada satu sumber saja. Ia akan mencari sumber pembelajaran dari berbagai jenis platform (Rahmatiah & Aisyah, 2019). Siswa saat ini memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap proses belajarnya karena memiliki akses informasi yang luas melalui berbagai platform.
Sementara guru, didominasi dengan mempertahankan karakteristik dalam proses belajar yang berpusat pada guru, step by step, dan belajar secara individu. Berdasarkan survei dari Pustekkom Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI tahun 2020 saat ini hanya 40 % guru yang siap dengan teknologi dan 60 % nya belum siap dengan perubahan zaman yang sangat berkembang pesat.
Perbedaan pandangan, anggapan dan kemampuan antar generasi ini tentunya menimbulkan masalah dalam pendidikan tak terkecuali berdampak pada mentalitas guru. Hal ini, memunculkan tekanan baik bagi siswa dan guru. Guru juga merupakan mahkluk sosial yang keberadaaanya tidak hanya sebagai profesi di sekolah saja namun juga harus menghadapi tantangan hidup lainnya.
Sebenarnya, adanya kasus terkait kesehatan mental guru bukan saja terjadi di Indonesia pada negara lain misalnya Korea Selatan lebih memprihatinkan hampir 100 orang guru dalam kurun waktu tertentu mengakhiri hidup mereka karena adanya tekanan dari siswa dan orang tua (CNBC Indonesia, 06/09/2023). Kasus ini menguak praktik perundungan yang juga dilakukan oleh orang tua siswa terhadap guru di Korea Selatan. Guru selain sebagai pengajar mata pelajaran dituntut pula dapat dengan adil, bijaksana dan baik dalam menghadapi sifat dan sikap para siswa sekaligus orang tua.
Tekanan-tekanan inilah yang juga dirasakan oleh para guru di belahan bumi manapun. Kesehatan mental guru sangatlah penting untuk dikelola dan dijaga dengan baik. Bagaimana tidak? Guru ialah tonggak pendidikan yang diharapkan dapat mencetak generasi penerus bangsa yang berbudi luhur dan berprestasi. Selain diperlukan aturan yang dapat melindungi guru dalam menjalankan tugasnya, diperlukan pula lembaga yang dapat digunakan sebagai alat untuk menampung keluh kesah serta pemikiran-pemikiran guru yang nantinya dapat merusak kesehatan mental guru. (*)
Penyunting: Putra