“Sampai kita bisa mengatur waktu, kita tidak bisa mengatur hal-hal lain.”
Kutipan dari Peter F Drucer ini menjadi pemaantik bagaimana kita bisa melakukan banyak hal dengan menaklukkan waktu. Dengan waktu yang sama setiap orang akan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Modal utama yang dimiliki oleh semua orang ini menjadi pemicu terganggunya kesehatan mental manakala tidak dikelola dengan bijak. Waktu yang berlalu dengan cepat, pekerjaan yang menumpuk, pressure dari pimpinan yang begitu kuat merupakan beberapa hal penyebab burnout atau stres pada guru sehingga mental health menjadi rapuh.
Sekolah Institusi Moral
sekolah sebagai intitusi moral memiliki andil yang besar dalam membentuk dan menjaga kesehatan mental guru-gurunya. Guru dan murid menjadi pelaku utama yang saling berinteraksi bahu membahu menjalin chemistry untuk mencapai tujuan bersama. hubungan keduanya tak selalu harmonis bahkan sering muncul gap yang dalam dan curam sehingga terdapa celah yang menyebabkan terganggunya mental health guru, bahkan murid
Parubahan paradigma
Tingkah laku murid yang tidak sesuai harapan menjadi salah satu pemicu burnout pada guru. penerapan disiplin yang kaku justru membuat murid menjadi semakin membangkang. Murid cenderung patuh hanya saat ada yang mengawasi. Motivasi untuk mematuhi disiplin hanya berupa motivasi insrinsik. penerapan disiplim yang seperti ini tentu tidak akan banyak berdampak pada kondisi lingkungan belajar di sekolah bahkan hanya bisa berperan sebagai pengekang kebebasan. paradigma berpikir bahwa guru adalah orang yang bisa mengontrol murid perlu dirubah. teori kontrol Dr. William Glasser menyebutkan bahwa kita tidak bisa mengontrol perilaku orang lain, hanya diri k ita yang bisa mengontrol kita sendiri.
Dalam teori kontrol dijelaskan bahwa terdapat beberapa miskonsepsi yang perlu diluruskan yaitu, guru dapat mengontrol murid, walaupun pada kenyataanya terlihat seperti guru mengontrol murid namun sejatinya muridlah yang memiliki kendali penuh atas dirinya. Mereka melakukan hal yang mereka inginkan. Teori kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
Budaya positif
sebagai guru agar kesehatan mental tetap bagus dan terhindar dari berbagai gangguan mental kita perlu menerapkan budaya positif di sekolah. Budaya positif di sekolah adalah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diejawantahkan ke dalam kebiasaan sehari-hari para warganya di lingkungan sekolah, sehingga terbentuk suatu lingkungan positif yang aman dan nyaman untuk bertumbuh. (Modul GP Dasus 1.4) dengan kondisi seperti ini sekolah akan menjadi tempat nyaman sehingga kewaraasan tetap terjaga.
Nilai-Nilai Kebajikan universal
Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.
Motivasi instrinsik yang terbangun ini yang diharapkan dapat tercermin dalam menjalankan nilai-nilai kebajikan yang sudah diyakini. Dalam dunia Pendidikan Indonesia salah satu nilai yang diyakini dan akan diwujudkan adalah profil pelajar Pancasila. Yang terdiri dari beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebinekaan global, bergotong royong, dan kreatif.
Restitusi
Salah satu yang membuat guru sering stress adalah kondisi murid yang diharapkan tidak terjadi. Saat hendak mengajar tentu seorang guru berharap bahwa muridnya akan mendengarkan mencatat dan paham dengan apa yang diharapkan sehingga tujuan pembelajaran bisa tercapai. Namun apakah selalu berlaku demikian? Jawabnya tentu tidak bahwa setiap murid juga memiliki tujuan dan keinginan sendiri sehingga kadang bertentangan dengan keinginan guru.
Mereka sering membuat gaduh dikelas karena kebutuhan diperhatikan, sering melawan karena butuh membela diri. Disaat seperti ini hukuman tentu tidak bisa diterapkan jika tidak ingin menambah konflik baru dalam penyelesaian masalah. Saatnya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang nyaman dengan restitusi sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).
Dalam restitusi kita bisa belajar secara kolaboratif untuk menyelesaikan masalah, memahami sebenarnya apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita bisa memperlakukan orang lain. Mengapa harus restitusi? karena restitusi bukanlah cara menebus kesalahan namun cara untuk belajar dengan kesalahan. Restitusi juga dapat berfungsi untuk memperbaiki hubungan, setiap murid yang melakukan kesalahan akan Kembali ke kelompoknya dengan identitas diri yang semakin kuat. Alasan berikutnya adalah karena restitusi merupakan sebuah tawaran bukan paksaan. Tahapan untuk melakukan restitusi diawali dengan menstabilkan identitas (tabilize the Identity), yang kedua validasi tindakan yang salah (validate the misbehavior). Menyakan keyakinan (Seek the Belief)
Korelasi Restitusi dengan mental health guru
Restitusi sebagai cara menyelasaikan masalah bisa diadobsi oleh semua guru. Keterampilan melakukan restitusi terhadap murid yang bermasalah akan mendatangkan ketenangan jiwa bagi guru. Jiwa akan merasa lebih lapang dan memiliki penguatan diri yang lebih positif. Setiap murid tidak akan kembali kepada kelompok dengan identitas yang gagal namun kembali dengan identitas yang lebih kuat. Restitusi tidak bersifat memaksa namun sebuah tawaran, dengan restitusi kita bisa belajar dari kesalahan. Proses restitusi ini akan semakin medewasakan cara berpikir sehingga terhindar dari burnout yang mungkin muncul selama melakukan pembelajaran di kelas maupun di sekolah. Selamat berestitusi.
Penyunting: Putra