Bayangkan dua pelajar dalam satu kelas. Si A tampak serius: mencatat dengan penuh warna, aktif dalam permainan edukatif, dan selalu siap menjawab. Namun, ketika ditanya “Apa yang kamu pelajari hari ini?”, jawabannya hanya hening. Si B, meski tampak tenang, kemudian memberikan jawaban reflektif, menghubungkan konsep dengan pengalaman pribadi dan menyampaikan pertanyaan kritis. Itulah visualisasi klasik dari surface learner versus deep learner.
Perbedaan ini bukan sekadar soal gaya belajar, melainkan soal orientasi dalam menafsirkan makna pembelajaran. Artikel ini akan menyoroti apa yang dimaksud dengan surface dan deep learner, keunggulan pendekatan mendalam, serta bagaimana strategi pembelajaran dapat diarahkan agar siswa mampu melampaui sekadar hafalan menuju pemahaman yang benar-benar bermakna.
Apa Itu Surface Learner dan Deep Learner?
Dalam teori pendidikan, pendekatan belajar sering dibagi menjadi dua spektrum utama: surface learning dan deep learning.
Deep learner
Mereka yang benar-benar menyelami materi. Mereka tidak puas hanya dengan mengetahui “apa”, tetapi juga mengeksplorasi “mengapa” dan “bagaimana”. Proses ini ditandai dengan upaya aktif mencari makna, menghubungkan ide baru dengan pengetahuan sebelumnya, serta memandang belajar sebagai proses pengembangan diri. Motivasi mereka biasanya intrinsik, misalnya rasa ingin tahu, minat mendalam pada topik tertentu, atau keyakinan bahwa ilmu tersebut akan membentuk cara pandang mereka terhadap dunia.
Surface learner
Di sisi lain, siswa belajar lebih dangkal. Orientasi utama mereka adalah menyelesaikan tuntutan eksternal: lulus ujian, mendapatkan nilai minimal, atau memenuhi harapan orang lain. Strategi yang digunakan cenderung mekanis—menghafal, mengulang, menyalin catatan—tanpa upaya signifikan memahami konteks. Mereka menganggap belajar sebagai beban, bukan peluang untuk berkembang.
Penting dipahami bahwa kedua tipe ini bukanlah kategori mutlak. Seseorang bisa berpindah dari surface ke deep (atau sebaliknya) tergantung situasi, konteks mata pelajaran, maupun tekanan eksternal.
Mengapa Pendekatan Mendalam Lebih Unggul?
Banyak penelitian pendidikan menunjukkan bahwa deep learning memberikan hasil jangka panjang yang lebih kuat. Hal ini terlihat dari beberapa aspek:
1. Prestasi akademik lebih stabil
Deep learner cenderung memiliki pemahaman yang lebih menyeluruh, sehingga lebih mudah mengaplikasikan konsep ke dalam situasi baru. Mereka tidak hanya bisa mengerjakan soal hafalan, tetapi juga menyelesaikan soal analisis atau aplikasi yang kompleks.
2. Kesejahteraan psikologis
Belajar dengan motivasi intrinsik menciptakan rasa puas. Siswa merasa “terisi” karena memahami sesuatu dengan mendalam. Hal ini mengurangi stres yang sering dialami surface learner, yang biasanya tertekan oleh target nilai.
3. Keterampilan hidup jangka panjang
Pendekatan mendalam mengasah kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, serta daya refleksi. Keterampilan ini tidak hanya berguna di sekolah, tetapi juga dalam pekerjaan dan kehidupan sosial.
Meski demikian, bukan berarti surface learning tidak memiliki tempat. Justru kombinasi yang seimbang bisa menciptakan kondisi yang lebih produktif, terutama dalam konteks tertentu.
Perbedaan Strategi & Metakognisi
Perbedaan utama surface learner dan deep learner tampak jelas pada strategi belajar dan kesadaran metakognitif.
Deep learner
Menerapkan strategi metakognitif, yaitu mampu memantau sejauh mana mereka memahami sesuatu.
Jika belum paham, mereka akan mengubah pendekatan, mencari referensi lain, berdiskusi, atau membuat analogi.
Mereka aktif mengajukan pertanyaan, bukan hanya menerima informasi mentah.
Surface learner:
Belajar secara pasif: mendengar, menyalin, menghafal.
Tidak melakukan evaluasi apakah materi sudah benar-benar dipahami.
Fokus pada “hasil instan” daripada proses.
Contoh sederhana: ketika belajar biologi tentang sistem pernapasan, surface learner hanya menghafal “paru-paru memiliki alveolus”. Deep learner justru bertanya, “Mengapa alveolus penting? Bagaimana kaitannya dengan difusi oksigen ke dalam darah? Dan apa dampaknya jika alveolus rusak?” Pertanyaan kritis ini menuntun pada pemahaman konseptual, bukan sekadar hafalan.
Proyek Berbasis Masalah (PBL): Jembatan Menuju Kedalaman
Salah satu metode efektif untuk mendorong siswa menjadi deep learner adalah Problem-Based Learning (PBL).
Dalam PBL, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang menuntut pemecahan melalui investigasi, kolaborasi, dan refleksi. Misalnya, bukannya hanya menghafal rumus fisika, siswa ditantang untuk merancang jembatan mini menggunakan prinsip mekanika.
Meta-analisis pendidikan menemukan bahwa PBL memiliki efek positif pada deep learning (effect size = 0,11). Artinya, metode ini memang memicu keterlibatan yang lebih bermakna. Dampaknya pada surface learning relatif kecil (ES = 0,08), sehingga fokus utamanya tetap mendorong siswa untuk masuk ke level pemahaman yang lebih tinggi (Dolmans et al., 2016).
Selain itu, PBL menumbuhkan motivasi intrinsik karena siswa merasa pembelajaran lebih relevan dengan dunia nyata. Mereka belajar bukan karena “harus”, tetapi karena ingin menyelesaikan masalah yang menantang.
Surface Learning: Fondasi atau Batas?
Meskipun sering mendapat konotasi negatif, surface learning tidak sepenuhnya buruk. Dalam banyak kasus, ia berfungsi sebagai fondasi awal sebelum seseorang naik ke level pemahaman mendalam.
Contoh: untuk memahami kalkulus, siswa perlu terlebih dahulu menghafal rumus dasar turunan dan integral. Tahap hafalan ini bersifat surface, tetapi menjadi pijakan agar nantinya mereka bisa menerapkan konsep kalkulus pada permasalahan nyata.
Permasalahan muncul ketika siswa berhenti di level surface dan tidak melangkah lebih jauh. Jika belajar hanya sebatas menghafal, maka ilmu mudah hilang setelah ujian berakhir. Oleh karena itu, surface learning sebaiknya dilihat sebagai batu loncatan, bukan tujuan akhir.
Studi Terkini: Saat Surface & Deep Learning Beririsan
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidak selalu harus memilih salah satu. Kombinasi surface dan deep learning justru bisa menghasilkan performa optimal.
Sebuah studi pada mahasiswa teknik di Tiongkok menemukan adanya kelompok yang disebut “deep and surface shared learners”. Mereka menggunakan strategi hafalan (surface) untuk menguasai dasar-dasar, lalu memanfaatkan pendekatan mendalam (deep) untuk menghubungkan konsep dan berpikir kritis. Hasilnya, kelompok ini memiliki kinerja akademik yang lebih baik dibandingkan mereka yang hanya fokus pada salah satu pendekatan.
Temuan ini memperlihatkan bahwa fleksibilitas dalam gaya belajar sangat penting. Hafalan tetap diperlukan sebagai pondasi, tetapi harus diikuti eksplorasi makna yang lebih luas. Dengan demikian, siswa tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan kompleks.
Diskursus surface learner vs deep learner mengingatkan kita bahwa belajar bukan sekadar aktivitas teknis, melainkan proses pembentukan makna. Surface learning memang dapat membantu di tahap awal, tetapi tanpa pendalaman, ilmu hanya berakhir sebagai hafalan sesaat. Sebaliknya, deep learning menuntun pada pemahaman yang bertahan lama, membentuk pola pikir kritis, dan memperkaya kehidupan.
Idealnya, sistem pendidikan dan strategi mengajar tidak sekadar menekankan hasil ujian, melainkan membuka ruang bagi siswa untuk bertanya, berefleksi, dan mengaitkan ilmu dengan kehidupan nyata. Dengan begitu, kita tidak hanya mencetak siswa berprestasi di atas kertas, tetapi juga pembelajar sejati yang haus makna.
Sumber Rujukan:
Dolmans, D. H. J. M. et al. (2016) ‘Deep and surface learning in problem-based learning: a review of the literature’, Advances in Health Sciences Education, 21(5), pp. 1087–1112. doi: 10.1007/s10459-015-9645-6.
Penyunting: Putra