Pada era globalisasi, internet telah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat modern. Masyarakat memiliki kemudahan dalam mengakses segala macam informasi yang dibutuhkan dan terkoneksi dengan jejaring sosial media. Berbagai aspek kehidupan juga ditunjang dengan adanya digitalisasi, sehingga gaya hidup masyarakat berubah seiring perkembangan zaman. Di Indonesia, jumlah pengguna internet terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, terdapat 215 juta pengguna internet yang meningkat dari tahun sebelumnya. Dalam penggunaannya, ruang digital merupakan perpanjangan dari ruang fisik. Masyarakat memiliki kesempatan untuk berekspresi dan menyuarakan pendapatnya pada ruang digital.
Dengan pertumbuhan pengguna internet yang sangat pesat, warga internet (netizen) memiliki kendali untuk menyebarkan informasi yang dimilikinya pada jejaring sosial media yang dimilikinya. Penyebaran informasi yang cepat ini memiliki celah untuk disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang palsu (hoax), ujaran kebencian, radikalisasi, dan praktik penipuan. Pada tahun 2013-2021, ada lebih dari 393 kasus pelanggaran Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama terkait dengan berita palsu dan ujaran kebencian di sosial media (Annur, 2022). Berdasarkan hal ini, informasi yang tersebar di internet tidak dapat dikonsumsi secara mentah, tetapi perlu disaring dan dipilah secara cerdas dan bijak.
Dalam bidang pendidikan, internet memiliki peran yang penting dalam menunjang kegiatan belajar dan mengajar. Pendidik dan pelajar memanfaatkan informasi yang beredar dari berbagai sumber literasi untuk mengembangkan bahan ajar dan mencapai tujuan pembelajaran di sekolah. Namun dengan banyaknya hoax dari sumber literasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal tersebut dapat menjadikan kekeliruan dan kesalahpahaman dalam proses pembelajaran. Jika ini terjadi, hal tersebut akan mempengaruhi capaian hasil belajar siswa, serta berdampak pada kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus disebabkan kemampuan literasi Indonesia yang rendah. Tingkat literasi Indonesia yang rendah ditunjukkan dengan posisi Indonesia yang berada pada ranking 62 dari 70 negara (Kemendagri, 2021). Selain itu, indeks literasi digital Indonesia pada tahun 2021 berada di level 3,49 dari skala 1-5 yang menunjukkan berada di level sedang (Kominfo, 2023).
Berdasarkan Kementrian Kominfo (2021), Indeks literasi digital tersebut diukur berdasarkan indikator utama, yaitu digital skills(kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK, serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari), digital ethics (kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari), digital safety (kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, menimbang, meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari), dan digital culture (kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan nilai pancasila dan bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari). Empat komponen tersebut juga dijadikan sebagai acuan untuk mencapai kecakapan digital.
Pelajar saat ini telah terpapar oleh internet dan teknologi digital sejak usia muda perlu diberi bekal untuk menggunakan internet secara tepat. Oleh karena itu, mereka perlu memiliki kemampuan berliterasi yang baik dalam menggunakan internet. Hal tersebut disebabkan kemampuan literasi digital yang baik akan berbanding lurus dengan kecakapan digital yang baik pula, sehingga pelajar perlu mendapatkan pembelajaran dari pengajar untuk membangun kemampuan literasi digital dengan pola yang dapat membentuk kebiasaan pelajar. Hoax Breaker Movement adalah gerakan untuk meningkatkan literasi digital dalam mengulas hoax yang beredar luas di masyarakat. Program tersebut dapat dimulai dari lingkungan pendidikan dimana generasi muda menimba ilmu.
Pengetahuan yang diberikan perlu membentuk pemahaman yang mendalam hingga terjadinya proses perubahan pola pikir dari pelajar, sehingga mereka dapat menggunakan kemampuan tersebut secara berkelanjutan. Salah satu teori dari pendekatan kognitif yang membahas tentang proses belajar yang mendalam adalah teori insightful learning (belajar berwawasan). Belajar berwawasan adalah proses belajar individu dalam mengetahui hubungan-hubungan yang diperlukan untuk memecahkan suatu masalah tertentu (Kartini & Gulo, 1987). Karakteristik dari belajar berwawasan, yaitu adanya transisi dari prasolusi ke solusi. Solusi untuk masalah yang ada diperoleh dari wawasan mendalam yang akan diingat dalam jangka waktu yang lama (Hergenhahn & olson, 2008). Dengan menggunakan teori kognitif ini, siswa dapat membentuk mentalnya yang didapatkan dari proses belajar dan informasi yang ia dapatkan, sehingga siswa memiliki acuan untuk berpikir dan berperilaku, serta memiliki wawasan mendalam yang digunakan secara berkelanjutan.
Pada belajar berwawasan, siswa dihadapkan pada masalah yang membuat mereka berusaha mencari informasi baru atau menata ulang informasi lama sampai dengan mendapatkan wawasan mendalam tentang solusinya. Dalam Hoax Breaker Movement, siswa dihadapkan oleh berita ataupun informasi hoax yang didapatkan dari pengumpulan informasi siswa. Dalam 1 minggu, kegiatan ini dapat dilakukan dengan membahas 1 topik hoax yang dibahas. Kegiatan ini perlu pendampingan dari guru untuk memfasilitasi dan mengarahkan siswa untuk mendapatkan skema berpikir yang tepat. Guru dapat memandu siswa untuk mencari kebenaran informasi dari sumber yang kredibel dan akurat melalui perangkat digitalnya masing-masing. Informasi yang didapatkan dari proses pencarian siswa tersebut ditulis oleh guru menggunakan peta konsep untuk memberikan gambaran menyeluruh kepada siswa terkait kebenaran informasi. Dalam hal ini, guru akan membantu siswa memandang hubungan dan mengorganisasikan pengalaman belajar mereka ke dalam pola yang bermakna. Kemudian, guru memberikan arahan terkait sumber yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga sumber tersebut memberikan kejelasan dari informasi hoax yang ada. Ketika guru dan siswa telah menemukan titik terang dari kebenaran informasi, guru memandu siswa untuk menyimpulkan dari berbagai informasi yang didapat, sehingga siswa memahami konsep dari informasi yang benar.
Jika hal terakhir yang dilakukan dalam situasi pemecahan masalah adalah memecahkan masalah itu, solusi tersebut akan melekat dalam pikiran individu (Hergenhahn & olson, 2008). Pencapaian untuk mendapatkan kejelasan informasi itu juga akan memuaskan siswa. Selain itu, program ini juga bermanfaat bagi pendidik untuk selalu menggunakan sumber yang kredibel agar mempertahankan mutu pendidik kaitannya dengan sertifikasi guru. Hal ini dapat dicapai dengan mengadakan pelatihan guru pada pelatihan in house training.
Dengan pembiasaan pola pembelajaran yang ada pada Hoax Breaker Movement, guru dan siswa dapat terbiasa menyikapi informasi dan berperilaku seperti pembiasaan tersebut, sehingga guru dan siswa dapat memiliki kecakapan dalam berliterasi digital. Hoax bukan menjadi sebagai ancaman memiliki pengetahuan yang salah, tetapi menjadi tantangan untuk dapat memiliki pemikiran yang kritis dan cemerlang. Generasi muda yang hebat berawal dari kemampuan berliterasi digital yang sehat.
Daftar Pustaka
Agustini, P. (2021). Empat Pilar Literasi untuk Dukung Transformasi Digital. Retrieved from https://aptika.kominfo.go.id/2021/01/empat-pilar-literasi-untuk-dukung-transformasi-digital/
Annur, C. M. (2022). Hampir 400 Orang Dituntut dengan UU ITE dalam 9 Tahun Terakhir. Retrieved from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/18/hampir-400-orang-dituntut-dengan-uu-ite-dalam-9-tahun-terakhir#:~:text=Menurut laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network,trennya menurun pada 2021 seperti terlihat%2
APJII. (2023). Survei Internet APJII 2023. Retrieved from https://survei.apjii.or.id/home
Hergenhahn, B., & olson, M. H. (2008). Theories of Learning. Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup.
Kartini, K., & Gulo, D. (1987). Kamus Psikologi. Bandung: PT. Pionir Jaya.
Kemendagri. (2021). Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara. Retrieved from https://perpustakaan.kemendagri.go.id/2021/03/tingkat-literasi-indonesia-di-dunia-rendah-ranking-62-dari-70-negara/
Kominfo. (2023). Modul Sosialisasi Literasi Digital Sektor Pemerintahan Kominfo RI. Jakarta: Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Sumber gambar : https://c.ndtvimg.com/2022-09/7euo9k68_smart-class-in-kushinagar_625x300_01_September_22.jpg
Penyunting: Putra