Guru, sebuah profesi yang dikenal mulia, bahkan pernah muncul julukan pahlawan tanpa tanda jasa. Julukan ini lahir pada saat peralihan zaman kolonial menuju zaman merdeka, sejarah mencatat bahwa peran guru dapat dikatakan sangat berbakti dalam menggambar masa depan bangsa dengan tanpa pamrih, hingga pada saat itu guru dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa (Tilaar dalam Gunawan, 2013). Istilah Guru berasal dari bahasa sanskerta yaitu Gu dan Ru, Gu memiliki makna kegelapan, sedangkan Ru berarti bercahaya. Gabungan kedua kata itu akhirnya membentuk sebuah makna bahwa guru adalah orang yang mampu membawa cahaya dalam kegelapan (detik.com). Dalam filosofi Jawa guru adalah sebuah kata yang mempunyai makna digugu dan ditiru. Digugu artinya perkataannya harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan ditiru memiliki makna sikap dan perbuatannya dapat menjadi teladan bagi siswanya. Pemberian julukan dan makna istilah guru tersebut menyiratkan bahwa seorang guru memiliki peran yang sangat besar dalam dunia pendidikan.
Peran guru dalam mencerdaskan peserta didik tercantum dalam peran mendidik. Akan tetapi, guru tidak sekadar mendidik saja, guru diharuskan memiliki kemampuan lain. Menurut Sopian (2016) guru memiliki satu kesatuan peran dan fungsi yang tak terpisahkan, antara kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih. Pendapat tersebut memberikan pengertian bahwa guru tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan dalam ranah kognitif semata. Akan tetapi, guru memiliki peran menumbuhkan teladan dan membentuk sikap peserta didik dalam ranah afektif. Hal ini sesuai dengan tugas guru yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 141 tahun 2005 tentang penjelasan sistem pendidikan nasional (sisdiknas) pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meskipun demikian, usaha guru dalam membentuk karakter peserta didik, kadang tidak disambut dengan tindakan yang baik oleh peserta didik. Saat ini fenomena kekerasan yang dilakukan siswa terhadap guru semakin sering terjadi, seperti kasus penganiayaan guru yang dilakukan oleh siswanya di Demak. Republik.co.id melaporkan bahwa kejadian ini bermula ketika guru mengingatkan peserta didiknya untuk mengumpulkan tugas sebelum mengikuti ujian, akan tetapi peserta didik tersebut jengkel dan merasa tidak terima, sehingga ia berani meleyangkan sebilah celurit kepada gurunya. Peristiwa memilukan juga terjadi di SMK Taliwang, seorang guru digugat oleh orang tua peserta didik dan didenda 50 Juta hanya karena menghukum beberapa siswanya yang tidak mau diajak salat. Nahas! Fenomena di atas menunjukkan bahwa peran guru dalam membentuk karakter peserta didik, tak lagi selayaknya filosofi Jawa digugu dan ditiru.
Beban tugas guru bukan hanya mendidik saja. Meskipun tugas dalam mendidik peserta didik sudah cukup berat dan bukan hal yang sepele, tugas lain dalam melangsungkan kehidupan di sekolah harus tetap berjalan. Orang awam memandang pekerjaan guru cukup ringan. Tapi yang tidak diketahui berbagai tugas tambahan harus pula dikerjakan. Guru dituntut memiliki adminsitrasi yang lengkap dan rapi, seperti membuat Alur Tujuan Pembelajaran, Modul Ajar, media pembelajaran, mempersiapkan rapor, dan sebagainya. Tugas tambahan lain yang harus guru kerjakan seperti menjadi wali kelas, wakil kepala sekolah, pembimbing ekstrakurikuler, dan lainnya. Belum lagi tugas ketika ada proyek-proyek tertentu untuk peningkatan kualitas sekolah. Terkadang tugas tambahan tersebut justru yang membuat pikiran, waktu, dan tenaga seorang guru tersita. Jadi, tidak jarang guru stres, karena harus membagi waktunya untuk mengajar dan mengerjakan tugas tambahan.
Adanya fenomena kekerasan, ketidakselarasan interaksi guru dengan peserta didik, beban mengajar, dan tugas administrasi lainnya, tak jarang membuat guru memiliki masalah kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir melalui metode survei membuktikan bahwa setidaknya terdapat 53% dari sampel 2.126 guru dari 6 daerah tingkat II di Jawa Barat dan 1 daerah tingkat II di luar Jawa mengalami stres, dari mulai tingkat ringan sampai berat (https://mediaindonesia.com). Penelitian lain mengejutkan Presiden Jokowi saat menghadiri acara peringatan ulang tahun ke-78 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Kelapa Gading, Jakarta. Beliau menuturkan bahwa "Menurut sebuah lembaga riset internasional, ini yang saya baca di Rand Corporation tahun 2022. Saya kaget juga setelah membaca bahwa tingkat stres guru itu lebih tinggi dari pekerjaan yang lain," . Jadi, memang sudah sebaiknya guru perlu peduli dengan kewarasannya sebelum memikirkan tugas berat yang harus diemban di sekolah.
Kesehatan mental bagi seorang guru sangat penting, sebab guru adalah mitra peserta didik dalam pembelajaran. Jika guru mengalami masalah kesehatan mental, bukan tidak mungkin jika peserta didik dapat merasakan imbas dari masalah ini. Sedikit kesal juga sebenarnya ketika guru berkali-kali diburu tuntutan untuk mengikuti pelatihan. Alih-alih untung karena dapat meningkatkan kuailtas diri secara gratis, terkadang justru keharusan itu menjadi hal yang membuat guru tertekan. Pemerintah harus mulai peduli dengan kesehatan mental guru. Pemerintah tidak melulu menuntut guru harus mengikuti berbagai pelatihan, guru tidak melulu diburu tugas-tugas administrisi yang memberatkan, dan seharusnya ada perlindungan hukum yang lebih jelas bagi guru. Pemerintah perlu menginisiasi sebuah program untuk kesejahteraan dan kesehatan bagi guru. Tak hanya seminar parenting untuk memahami karakter peserta didik saja, tapi perlu adanya program bagi guru untuk merawat dirinya. Jikalaupun ada guru yang merasa terganggu kesehatan mentalnya, pihak sekolah tidak lagi tabu untuk menganjurkan guru melakukan penyembuhan pada pihak yang lebih kompeten.
Pada momen Hari Guru Nasional ke-78 ini, sepantasnya guru kembali pada makna filosofi digugu dan ditiru. Dihormati, bukan dilucuti. Diberikan kesejahteraan, bukan penderitaan. Guru tak melulu diburu beban tugas yang berat. Guru perlu perlindungan hukum yang kuat ketika ia digugat. Guru perlu diberi ruang agar terus sehat. Hidup guru Indonesia!
Daftar Pustaka
detik.com. 2 Mei 2023. "Ini Dia Asal-usul Kata Guru, Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Diakses pada 24 November 2023. Tautan: https://www.detik.com/jabar/berita/d-6698455/ini-dia-asal-usul-kata-guru-sang-pahlawan-tanpa-tanda-jasa.
Kompas.com. 25 November 2023. "Jokowi: Saya Kaget Tingkat Stres Guru Lebih Tinggi dari Pekerjaan Lain". Diakses pada 27 November 2023. Tautan: https://nasional.kompas.com/read/2023/11/25/11275491/jokowi-saya-kaget-tingkat-stres-guru-lebih-tinggi-dari-pekerjaan-lain.
Mediaindonesia.com. 29 April 2019. “Agar Guru Tidak Stres”. Diakses pada 27 November 2023. Tautan: https://mediaindonesia.com/opini/232489/agar-guru-tidak-stres
Pemerintah Indonesia. 2003. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemendikbudristek. Jakarta.
Sopian, Ahmad. (2016). Tugas, Peran, dan Fungsi Guru dalam Pendidikan. Jurnal Tarbiyah Islamiyah Volume 1 Nomor 1 Edisi Juni 2016. Salatiga: STIT Raudhatul Ulum.
Penyunting: Putra