Pengantar
Sejak Program Sekolah Penggerak diluncurkan, para guru semakin diakrabkan dengan istilah pembelajaran berdiferensiasi. Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara pun kerap didengungkan: guru harus dapat menuntun murid untuk berkembang sesuai dengan kodratnya dan guru harus menciptakan pembelajaran yang berpihak kepada murid. Kedua konsep dasar ini coba diterapkan di setiap satuan pendidikan Program Sekolah Penggerak. Ada rupa-rupa praktik, tantangan, kesulitan, dan solusi yang dialami.
Cerita dari rekan Kepala SMAN 3 Borong, Bapak Konstan Rada, menarik bagi saya. Di sekolahnya, melalui asesmen awal (asesmen diagnostik), dipetakan kesiapan awal belajar murid, gaya belajar, kondisi lingkungan dan keluarga, prediksi/proyeksi melanjutkan kuliah, dan minat-bakat siswa. Tanpa sebuah observasi mendalam saja, sudah dapat dipastikan bahwa 85 – 90% output siswa sekolah tersebut tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena alasan ekonomi. Setamat SMA, para siswa langsung bekerja membantu orang tua, menjadi ojek, merantau, dan macam-macam pilihan pekerjaan sebelum memasuki jenjang kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, berdasarkan hasil asesmen awal tadi, para siswa diarahkan untuk mengikuti pembelajaran yang praktis, seperti bercocok tanam, mengolah kebun, memelihara ternak, mengolah makanan ringan, mengembangkan keterampilan seni, dan lain sebagainya. Kurikulum sekolah didesain untuk mempelajari materi konseptual setiap mata pelajaran di kelas sekaligus diintegrasikan dengan kebutuhan praktis jika siswa pulang sekolah (ke rumah) atau ketika tamat nanti. Kepada siswa diajarkan cara bertanam sayur-mayur, jagung, ubi; memelihara ikan lele, nila; membuat kue-roti; mengenal otomotif; dan mengembangkan keterampilan seni dan olahraga.
Bagaimana hasilnya? Tentu masih akan dilihat setelah 3 (tiga) tahun berjalannya Program Sekolah Penggerak ini. Namun, apresiasi setinggi-tingginya diberikan kepada sekolah ini karena berhasil mengolah 5 ha tanah untuk kebun jagung, ubi, dan sayur-sayuran; ada siswa yang telah mendapatkan penghasilan karena keterampilan menggambar/melukis. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT menyaksikan langsung hasil karya siswa dan kebun sekolah ini dalam kesempatan kunjungannya ke Manggarai Timur pada bulan Januari yang lalu.
Cerita lain dari sebuah sekolah dasar di Lerang, Desa Golo Loni, Kecamatan Rana Mese. Kepala sekolah dan para guru membuat pemetaan awal kemampuan literasi dan numerasi siswa. Hasilnya menunjukkan, 80% siswa kelas awal (I – IV) memiliki kompetensi literasi dan numerasi pada level KURANG. Sebagai solusi, satuan pendidikan merumuskan desain pembelajaran yang bertujuan mengatasi problem literasi dan numerasi siswa. Para guru membuat modul baca-tulis yang menarik minat siswa, merancang kegiatan belajar menyenangkan di sekolah dan belajar mandiri siswa di rumah, merancang pembelajaran yang bersifat rekreatif untuk mengaktifkan kapasitas memori siswa, dan membuat format refleksi-evaluasi guru dan orang tua tentang kemajuan belajar siswa.
Hasilnya? Pada satu semester awal, seluruh kegiatan belajar-mengajar terfokus pada penguatan literasi siswa. Para siswa akhirnya menunjukkan kemajuan yang sangat luar biasa dalam kemampuan membacanya. Minat untuk mengikuti mata pelajaran lainnya pun meningkat karena siswa mampu membaca dengan baik. Modul ajar literasi yang disiapkan guru di sekolah tersebut kini menjadi contoh praktik baik hasil karya yang direkomendasikan oleh Kemendikburisti melalui Platform Merdeka Mengajar.
Konsep pembelajaran berdiferensiasi
Pembelajaran berdiferensiasi berorientasi pada pembelajaran yang memerdekakan pemikiran dan potensi murid. Tugas pendidikan adalah usaha pendelegasian secara bertahap perilaku kedewasaan. Maksudnya, pertama-tama kegiatan pendidikan itu terarah kepada upaya-upaya mengarahkan peserta didik bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. Seorang peserta dituntun, dibentuk, dibimbing agar mencapai perilaku kedewasaan dalam seluruh aspek personalnya, yakni kognitif, afektif, psikomotorik, dan kecakapan sosial.
Usaha pendidikan seperti ini mengandaikan seluruh komponen di dalam sekolah itu telah siap; atau menyiapkan diri sungguh-sungguh. Kunci pokoknya adalah pemetaan kesiapan belajar murid, kebutuhan belajarnya, dan bakat-minatnya. Dari sini berlanjut ke rancangan pembelajaran dan tindakan yang akan dilakukan bersama peserta didik. Keterlibatan berbagai pihak, terutama orang tua, sangat menentukan pemetaan kondisi awal para peserta didik. Oleh karena itu, orang tua dan murid harus jujur ketika guru melakukan pemetaan kebutuhan belajar, baik melalui wawancara, angket, survei, dan instrument pengumpulan data lainnya.
Secara konseptual, ada beberapa konteks direfensiasi, yakni diferensiasi konten, proses, dan produk. Pertama, diferensiasi konten terkait dengan kesiapan guru menyediakan bahan dan alat yang sesuai dengan kebutuhan belajar murid. Konten adalah apa yang kita ajarkan kepada murid. Konten dapat dibedakan sebagai tanggapan terhadap kesiapan, minat, dan profil belajar murid maupun kombinasi dari ketiganya. Untuk itu, guru perlu menyediakan bahan dan alat sesuai dengan kebutuhan belajar murid. Kedua, diferensiasi proses. Proses mengacu pada bagaimana murid akan memahami atau memaknai apa yang dipelajari. Caranya, (a) menggunakan kegiatan berjenjang, (b) meyediakan pertanyaan pemandu atau tantangan yang perlu diselesaikan di sudut-sudut minat, (c) membuat agenda individual untuk murid (daftar tugas, memvariasikan lama waktu yang murid dapat ambil untuk menyelesaikan tugas, dan (d) mengembangkan kegiatan bervariasi. Ketiga, diferensiasi produk. Produk adalah hasil pekerjaan atau unjuk kerja yang harus ditunjukkan murid kepada guru, seperti karangan, pidato, rekaman, diagram atau sesuatu yang ada wujudnya. Produk yang diberikan meliputi 2 hal: (1) memberikan tantangan dan keragaman atau variasi, dan (2) memberikan murid pilihan bagaimana mereka dapat mengekspresikan pembelajaran yang diinginkan.
Tantangan kita
Sejauh ini, di sekolah kita, belum tersedia dokumen yang memadai tentang rencana tindakan dan pembelajaran berdiferensiasi. Pemetaan kondisi awal siswa masih bersifat general (umum), seperti identitas siswa, kondisi latar belakang orang tua, hobi-bakat khusus, minat mata pelajaran, nilai pencapaian belajar per semester. Data lainnya juga berupa catatan dan nilai yang didokumentasikan oleh masing-masing guru. Desain untuk mengolah data ini demi suatu tindakan dan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik belum kita siapkan dengan baik. Inilah tantangan utama kita ke depannya.
Meskipun demikian, secara implementatif, desain kurikulum, penjabaran kegiatan sekolah dan asrama, serta bentuk-bentuk pendampingan individual dan klasikal bagi peserta didik cukup jelas tertata dalam kalender kerja kita. Tugas kita semua selanjutnya adalah mendokumentasikan (1) rencana pembelajaran berdiferensiasi, (2) pelaksanaan pembelajaran, dan (3) laporan evaluasi pembelajarannya. Tiga matra ini penting sebagai acuan atau panduan bagi sekolah sebagai lembaga, atau kepala sekolah dan guru sebagai pengambil kebijakan perihal bagaimana memenuhi kebutuhan belajar peserta didik. Tugas ini memang tidak mudah. Kita butuh kerja sama, kerja keras, dan kerja tuntas.
Sumber Bacaan:
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/02/pembelajaran-touch-inner
https://ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id/artikel/pembelajaran-berdiferensiasi-dan-penerapannya-di-kelas/
https://www.pintar.tanotofoundation.org/belajar-diferensiasi-solusi-menajamkan-potensi-siswa/
https://smpnegeri3jakarta.sch.id/blog/pembelajaran-berdiferensiasi/
Penyunting: Luqmanul Hakim