Rimbun. Hijau. Hektaran pohon tebu yang membentang bak permadani yang di dominasi warna hijau yang cantik. Kesan pertama yang aku dapatkan saat memasuki main gate , site salah satu perusahaan tebu di Lampung Tengah. Tidak pernah terbayang ada pusat hunian dan segala sistemnya yang telah terpadu. Rumah sakit, rumah ibadah, bahkan sekolah yang jumlahnya melebihi jumlah jari satu orang manusia. Mulai TK hingga Perguruan tinggi ada di dalamnya. Siswanya berasal dari beragam latar belakang, ada anak tukang tebang, buruh tanam, hingga anak manager bisa mengenyam pendidikan tanpa dipungut biaya.
Sekolah-sekolah yang ada di dalamnya terletak di dua kabupaten. Medan menuju sekolah-sekolah ini pun bermacam-macam. Aku mengajar di sekolah yang bisa dibilang tingkat kesulitan medannya adalah medium. Membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai dengan bis, yang kalau hujan tiba rasanya seperti terguncang-guncang karena jalanan yang rusak. Jangan membayangkan jalanan yang sudah di aspal seperti jalanan yang ada di kota besar. Jalanan yang ku lalui menuju sekolah ini, sepenuhnya adalah tanah. Ada beberapa sekolah yang harus di tempuh lebih lama lagi, bahkan sampai dua jam dengan medan yang lebih terjal, itu untuk sekolah yang tingkat kesulitannya paling tinggi.
Aku berangkat menuju terminal bus sekolah sekitar pukul 06.15. Jauh lebih pagi daripada ketika aku masih menjadi siswa dulu. Murid di sekolahku berangkat lebih pagi lagi. Beberapa dari mereka berangkat dari rumah sebelum pukul 6, ya sebelum langit berwarna cerah. Dengan menaiki CT (kendaraan berupa truk yang dimodifikasi) mereka berangkat ke sekolah dengan ceria dan penuh semangat meski harus berdesak-desakkan dan belum sarapan.
Mayoritas murid di sekolahku adalah anak tukang tebang dan buruh tanam. Tenaga kasar yang jasanya dibayar mingguan. Kebanyakan dari mereka dituntut untuk dewasa sebelum waktunya. Kerasnya kehidupan membuat mereka tertempa menjadi pribadi yang kuat. Saat jam istirahat tiba, kami biasa makan bersama. Mereka memakan bekal mereka dengan sangat lahap, walau tak kulihat ada protein di sana. Sekedar nasi dan sayur seadanya.
Syukur milik mereka memang jauh lebih sederhana.
âGood morning, Miss Chaâ
âGood afternoon, Miss Chaâ
âSee you, Miss Chaâ
Sapaan-sapaan yang sering mereka ucapkan dengan nada ceria dan penuh semangat saat mereka baru sampai di sekolah, akan pulang sekolah, atau bertemu denganku di mana saja. Atau saat mereka berebut untuk menjawab pertanyaan yang aku berikan. Hal-hal yang tentu saja akan kurindukan bila tak bersama mereka lagi.
Sebagian dari mereka, kebanyakan waktunya dihabiskan di dalam site perkebunan tebu ini. Mereka jarang tahu perkembangan apa yang ada di dunia luar. Bangunan-bangunan tinggi dan gemerlap perkotaan menjadi barang mewah bagi mereka.
Aku pikir, aku yang seorang gurulah yang mampu menginspirasi.
Kenyataannya, justru aku lah yang terinspirasi
Pengalaman pertamaku mengajar di sekolah formal adalah di sini. Aku yang bukan sarjana pendidikan menemukan passion ku di sini. Banyak pertanyaan yang aku temukan jawabannya di sini. Bersama mereka, ya bersama mereka aku seperti mendapat suntikan semangat. Keterbatasan yang mereka miliki tak lantas membuat semangat mereka surut. Mata-mata penuh binar yang siap menyongsong kesuksesan. Setitik asa yang tak boleh kubiarkan padam, harus kubuat semakin menyala terang. Membersamai mereka meraih cita-cita yang lebih tinggi dari yang aku bisa bayangkan.
Tak kenal batas, Asa mereka, untuk Indonesia.