Guru merupakan profesi yang mulia. Seingat saya, ketika saya sekolah dulu, di lagu ‘Hymne Guru” ada serangkai kata: “tanpa tanda jasa”. Penulis lagu tersebut tentunya memiliki pengalaman tersendiri dengan seorang guru pada masa itu, yang benar-benar bekerja tanpa mengharapkan imbalan tanda jasa. Hal tersebut dapat terjadi, tentunya karena dalam hati seorang guru ada niat untuk mengabdi, mengabdi bagi negri. Meskipun sekarang dalam lagu itu, saat ini rangkaian kata itu berubah menjadi: “membangun insan cendekia”. Semoga niatan pengabdian tetap ada dalam hati sanubari, untuk membangun generasi penerus bangsa yang cerdas dan tentunya berakhlak mulia.
Inilah Kisahku
Menjadi guru tentunya tidak terlepas dari pengabdian di dalam hatinya. Inilah mengapa saat ini saya menjadi seorang guru, dan itu berawal dari sebuah pengabdian. Pengabdian bukan hanya sekedar nama, ataupun jabatan. Tetapi pengabdian yang benar-benar dikerjakan karena adanya kebutuhan mendesak yaitu pendidikan untuk generasi bangsa mendatang. Berawal dari hati saya yang sangat senang melihat teman saya bisa mengajar di sekolah sebagai guru, dan akhirnya saya pun terjun menjadi seorang guru Pendidikan Agama Kristen di sebuah Sekolah Dasar, 15 tahun lalu. Saya masih ingat, saat itu hanya mendapat Gaji sebesar Rp. 25.000,- sebulan, dan itu tidak menggentarkan hati saya, karena niatan dalam hati adalah untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak tanpa memperhitungkan imbalan. Saya bersyukur, bahwa saya tidak pernah mengalami kekurangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena berkat Tuhan datang dari banyak cara. Lima tahun berselang, saya dan istri harus kembali ke daerah asal saya karena terpanggil oleh pengabdian untuk melayani anak-anak di sebuah sekolah negeri, yang membutuhkan Pendidikan Agama Kristen. Meskipun hanya 6 - 10 anak, tetap saya kerjakan pekerjaan tersebut dengan penuh pengabdian. Oleh kemurahan Tuhan, akhirnya saya pun diterima sebagai Guru Honorer, yang terdaftar di Dapodik, melalui kebijakan seorang Kepala Sekolah yang menghendaki agar saya tidak hanya menjadi seorang guru lepas. Hingga saat ini, saya tetap belajar mengabdi untuk mendidik anak-anak, bukan hanya untuk anak-anak dalam Pendidikan Agama Kristen saja, tetapi bisa ikut serta mendidik anak-anak melalui pendidikan karakter Kepramukaan serta pendidikan Seni dan Budaya. Saya belajar dari seorang guru Senior, Alm. Bp. Bijuri Has, S.Pd.I, dimana beliau dengan penuh kesabaran melakukan pembimbingan kepada anak-anak, meskipun tidak mendapat honor tambahan dalam kegiatan Kepramukaan, beliau dengan kesabaran tetap melatih dan membimbing anak-anak meraih apa yang mereka impikan. Hal ini menjadi pendorong saya juga untuk terus belajar tentang arti sebuah pengabdian. Demikian juga, sekalipun masih menjadi seorang guru honorer, tidak menciutkan niat saya untuk terus belajar agar dapat bermanfaat, dengan membagikan ilmu yang saya dapatkan dalam pembelajaran.
Sebuah Refleksi
Pengabdian tidak akan memperhitungkan berapa besar gaji yang didapatkan dari yang dikerjakannya; sekalipun memang, sebagai manusia membutuhkan “gaji” untuk kehidupannya sehari-hari. Tetapi hati seorang guru yang penuh pengabdian, tidak akan memikirkan hal itu lebih dari niatan hatinya untuk membangun generasi unggul dengan ilmu yang dibagikannya.
Inilah “Pengabdian Tanpa Batas”. Manusia bisa berkata kalau “kesabaran itu ada batasnya”, tetapi hati sang Pengabdi tak bergeming dengan aral yang melintang. Meski tak seberapa yang didapatkan, namun hatinya tetap ikhlas untuk mengabdi, mendidik calon pemimpin di kemudian hari. Harapan akan selalu ada, karena masa depan tidak akan hilang.
Penulis : Daniel Dwimawan, S.Pd.K.