Quiz Story Instagram: “Emang Boleh Literasi Digital Seseru ini?” - Guruinovatif.id

Diterbitkan 08 Sep 2023

Quiz Story Instagram: “Emang Boleh Literasi Digital Seseru ini?”

Jangan terlalu sering memberikan teori yang bertele-tele. Bukan, bukan berarti jelek. Tapi itu tidak membangkitkan minat. Dari mana kita bisa meningkatkan literasi jika bahkan tidak ada hasrat dalam hati untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi?

Dunia Pendidikan

Aprilia Nurul Aini

Kunjungi Profile
1052x
Bagikan

Anak muda mana yang tidak pernah mendengar ungkapan pada judul di atas? Salah satu tren, yang mungkin, lebih dari tiga kali sehari hilir mudik di daftar reel Instagram atau for your page (FYP) TikTok para remaja masa kini. 

Sebagai generasi yang lahir dari rahim teknologi dan digitalisasi, calon-calon masa depan bangsa ini, pada dasarnya, sudah bukan porsinya lagi untuk selalu dicekoki perkara tata cara penggunaan teknologi informasi. Itu sudah jadi makanan mereka saban hari. Mereka sudah bisa bahkan tanpa diajari.

Jika kita ingin bicara tentang literasi, maka yang anak-anak ini perlukan sebagai bekal awal adalah pengertian tentang mana yang boleh dan yang tidak, mana yang aman dan tidak aman, mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, mana yang sesuai dan tidak sesuai, mana yang mendorong dan mana yang menghambat kemajuan.

Jangan terlalu sering memberikan teori yang bertele-tele. Bukan, bukan berarti jelek. Tapi itu tidak membangkitkan minat. Tidak adanya minat akan berimplikasi pada kurangnya kemauan untuk mencari tahu lebih lanjut. 

Dari mana kita bisa meningkatkan literasi jika bahkan tidak ada hasrat dalam hati untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi?

Jika konteks subjek yang sedang kita bicarakan adalah siswa sekolah, maka kita tengah membahas para anggota Generasi Z (Gen Z). Sebuah kelompok generasi yang lahir antara tahun 1996-2015 (Pew Research Center, 2020). Dalam publikasinya, Purdue Global (2021) menyebutkan bahwa salah satu ciri khas dari generasi paling melek teknologi ini adalah pola komunikasinya yang langsung dan terus terang, cenderung tidak sabaran, berpikiran instan, serta memiliki rentang perhatian yang pendek.

Terlihat seperti kekurangan, bukan? 

Bisa jadi. 

Tapi bukan “sisi lemah” Gen Z di atas yang jadi tokoh utama di sini. Justru kelemahan-kelemahan itulah yang akan kita manfaatkan untuk menciptakan inovasi dalam konteks literasi.

Jika boleh meminjam sepenggal peribahasa, maka mari kita memancing di air keruh. Kurang lebih seperti itu, dalam artian yang positif. Inilah waktu yang tepat untuk membuktikan bahwa sisi yang mungkin dianggap sebagai kelemahan di sisi lain justru menjadi peluang untuk meningkatkan level literasi mereka. 

Bagaimana caranya?

Pertama, coba sedikit kita menata mindset mereka. Hindari kata-kata yang sudah terlihat membosankan dari awal. Jangan gunakan istilah-istilah berat. Pilih kata-kata yang hampir selalu berhasil memikat perhatian, tapi jangan berlebihan. Selanjutnya, coba pilih sesuatu yang bisa memacu adrenalin. Tak perlu sampai berteriak seperti saat naik wahana roller coaster atau nonton film horor penuh jumpscare. Cukup yang memberikan sensasi berdebar barang sedetik dua detik. 

Sudah bisa menebak? 

Yes. GAME!

Oke, sekarang, setelah kita mendapatkan metodenya, maka pertanyaan selanjutnya adalah: lewat apa kita akan menyampaikan? 

Sebuah studi yang dilakukan oleh McKinsey (2019) menunjukkan bahwa Gen Z di Asia menghabiskan lebih dari enam jam waktu harian mereka untuk menonton beragam hal melalui layar ponsel. Fakta ini tentu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Terlebih kita sedang bicara tentang literasi digital. Maka sudah selayaknya pula kita menggunakan platform berbasis digital sebagai sarana penyampaiannya. Well, dari sekian banyak platform digital yang ada, pilih saja satu yang sekiranya ia tidak pernah absen dari hari-hari anak-anak kita. 

Instagram. Correct. 

Survei yang dilakukan oleh The Center for Generational Kinetic (2018) menunjukkan bahwa 41% Gen Z memiliki akun Instagram guna menunjang aktivitas sosial mereka. Nilai ini jauh dibanding Facebook yang hanya diminati oleh 16% Gen Z. Menjadi sebuah alasan yang masuk akal untuk memanfaatkan media sosial ini sebagai platform penguat literasi.  

Oke. Metodenya sudah, platformnya sudah. 

Sekarang adalah bagaimana caranya men-deliver pemahaman yang ingin kita sampaikan agar misi penguatan literasi digital kita tercapai. 

For your information, Instagram punya satu fitur menarik yang membuat penggunanya dapat saling berinteraksi dengan cara yang berbeda, yakni dalam bentuk kuis. Fitur quiz story besutan Instagram ini memberikan pilihan cara berkomunikasi yang antimonoton. Fitur inilah yang akan kita gunakan sebagai media literasi. 

Pertama-tama, pada quiz story yang kita buat, beri saja awalan berupa kata pemantik singkat. Seperti misalnya: “Buktiin kalau kamu memang layak dibilang anak muda kekinian!” atau “Kamu keren, sih, kalau bisa jawab ini”. Nah, setelah itu, sodorkan beberapa slide story Instagram berisi kuis bertema literasi digital. 

Berikut adalah contohnya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

 

Orang-orang biasanya tidak tahan untuk mengklik sesuatu yang muncul di story Instagram yang sedang dilihat. Baik karena alasan keingintahuan, pembuktian kemampuan, atau yaa, gabut maksimal.

Melalui strategi ini perlahan anak-anak secara tanpa sadar telah meningkatkan kemampuan literasi digital mereka. 

Sedikit demi sedikit.

Kelebihan dari story quiz adalah ia tidak memerlukan usaha berlebih agar bisa diakses. Anak muda biasa mengistilahkannya dengan effortless. Hampir setiap hari mereka menyisihkan waktu untuk “setor kehadiran” di media sosial yang satu ini. Cukup dengan satu sentuhan jari saja, semua sudah terbuka dengan mudahnya.

Kedua, sederhana tapi mengena. Tak perlu kalimat panjang yang jatuhnya hanya akan dilewatkan. Penggunaan kata-kata singkat pada kuis selaras dengan karakter Gen Z yang cenderung punya pola komunikasi langsung dan terus terang. Rendahnya rentang perhatian mereka menjadi alasan lain yang memperkuat argumen bahwa pemanfaatan quiz story adalah pilihan tepat. 

Menjadi nilai lebih jika kita bisa sedikit menambahkan stiker kekinian yang tengah banyak dibicarakan atau mungkin tokoh-tokoh virtual yang sedang terkenal. Hal itu akan menambah unsur kedekatan dengan audiens.

Satu pertanyaan yang mungkin timbul adalah, apakah strategi ini bisa diterapkan untuk generasi yang lebih tua? 

Tentu saja. Jika pemikiran yang dimaksud adalah "apakah memungkinkan jika menggunakan cara di atas untuk kelompok umur yang tergolong lebih senior, termasuk di antaranya guru dan pengajar?", maka jawabannya adalah sangat mungkin, sangat bisa. Hampir semua orang menggunakan media sosial untuk berkomunikasi hari ini. Tinggal bagaimana cara kita untuk mengelola peluang besar yang sudah tersaji.

Tenaga pendidik sebagai fasilitator, mediator, dan pembimbing, tentu punya peran strategis untuk mengarahkan anak didiknya. Segala macam pelatihan guru, peningkatan kapasitas melalui sertifikasi guru, hingga yang berupa pelatihan in house training rela dilalui sebagai bentuk ikhtiar dalam membekali diri. Baik melalui jalur yang telah disediakan oleh pemerintah, maupun yang diadakan oleh lembaga-lembaga pelatihan seperti misalnya GuruInovatif.id.

Akan sangat disayangkan apabila segala upaya tersebut, dalam proses transfernya belum terlaksana secara optimal akibat dari pemilihan media atau platform sharing yang kurang tepat. Pemanfaatan fitur quiz story Instagram merupakan sebuah inovasi sekaligus bentuk kontribusi nyata dari para pegiat dunia pendidikan dalam penguatan literasi digital, baik bagi siswa maupun guru. 

Inovasi adalah cara paling ampuh agar tidak terbawa arus tanpa bisa memilah mana yang boleh dan mana yang harus. Mari sama-sama saling menginspirasi dan mengedukasi dalam kebaikan yang terus berkelanjutan demi generasi penerus yang literate melek digital.    

 

Referensi

McKinsey. 2019. Asia Pacific Gen Z Survey. Diakses dari https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Industries/Retail/Our Insights/Asias Generation Z comes of age/Asias-Generation-Z-comes-of-age.ashx 

Pew Research Center. 2020. On the Cusp of Adulthood and Facing an Uncertain Future: What We Know About Gen Z So Far. Diakses dari https://www.pewresearch.org/social-trends/2020/05/14/on-the-cusp-of-adulthood-and-facing-an-uncertain-future-what-we-know-about-gen-z-so-far-2/

Purdue Global. 2021. Generational Differences in the Workplace. Diakses dari https://www.purdueglobal.edu/education-partnerships/generational-workforce-differences-infographic/

The Center for Generational Kinetic. 2018. The State of Gen Z 2018. Diakses dari https://genhq.com/generation-z-research-2018/

 

n.b. Ada banyak bentuk cinta di dunia. Dan tulisan ini adalah bentuk cinta saya pada murid-murid saya yang tetap antusias dalam belajar dan terus berusaha meski kadang hanya bisa menjawab “iya, iya”. Yakinlah, Nak, bahwa pemahaman tak pernah berkhianat pada ketekunan.


Penyunting: Putra

1

0

Komentar (1)

ASRI PUJIHASTUTI

Sep 11, 2023

Waah seru dan kekinian sekali artikelnya, ispiratif bu. Emang boleh inovasi kreatif dan seru tapi sesimpel ini??
Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Pentingnya Literasi Digital dalam Pendidikan

BUSTANOL ARIFIN

Aug 19, 2023
3 min
MPLS atau MOS? Menentukan Mana yang Paling Efektif untuk Memperkenalkan Lingkungan Sekolah
3 min
Wawasan Wiyata Mandala untuk Menciptakan Pendidikan Inklusif
3 min
YouTube sebagai Media Literasi Digital bagi Guru dan Siswa

PUJI ASTUTI

Aug 14, 2023
2 min
SELF-EDUCATION : LAWAN HOAX SEJAK DINI

Iin Nuraini

Jan 15, 2024
5 min
CAKRA Inovasi Terkini Menyatukan Sinergitas Pendidikan

ASRUL, S.Pd

May 28, 2024
2 min

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB

Kursus Webinar