Menjadi seorang guru merupakan sebuah profesi yang menentukan kecerdasan bangsa. Guru merupakan profesi yang mulia. Bahkan, banyak generasi muda yang bercita-cita menjadi seorang guru. Di masyarakat umum pun pandangan mengenai guru sangat tinggi. Sebagaimana semboyan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan. Yaitu Ing Ngarsa Sung Tulodho yang mana berarti di depan sebagai teladan. Seorang guru harus menjadi teladan bagi murid-muridnya dan orang-orang disekitarnya. Ing Madya Mangun Karsa yang bermakna harus dapat memotivasi orang-orang disekitarnya. Tut Wuri Handayani yang bermakna mampu memberingan dorongan moral atau semangat. Dengan mengingat semboyan dan maknyanya ini, seorang guru berusaha bersikap hati-hati dan berusaha yang terbaik. Namun, tidak lepas dari hal itu, seorang guru terkadang melupakan akan kebutuhan kesehatannya demi pencintraan jati dirinya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial, dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif. Berdasarkan undang-undang tersebut maka sangat penting tentunya mengutamakan kesehatan. Dalam hal ini, tentunya kesehatan bagi seorang guru. Untuk kesehatan fisik, guru bisa menangani sendiri maupun mencari fasilitas kesehatan sesuai yang dibutuhkan. Namun untuk kesehatan mental terkadang guru mengabaikan hal tersebut dan merasa baik-baik saja. Padahal sejatinya, kesehatan mental itu sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. World Health Organization (WHO, 2001) menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang dialami individu yang didalammnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola setres, kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan serta berperan serta dikomunitasnya.
Hal yang dapat menimbulkan terganggunya kesehatan mental seorang guru diataranya, ketidaknyaman di lingkungan kerja, tekanan ataupun beban kerja yang berlebih, menghadapi wali murid yang sikapnya berlebih (selalu protes), serta upah yang dirasa belum mencukupi kebutuahn hidupnya. Selain itu, bagi guru honorer terkadang perhatian pemerintah masih kurang, sebagaimana pemberian insentif yang masih di bawah standar UMR. Terlebih guru di bawah naungan kemenag, yang mana insentif diberikan tidak secara berkala. Terlepas dari hal itu, sejatinya, tugas guru baik PNS maupun honorer sebenarnya sama, yaitu mencerdaskan anak bangsa. Terlebih hal yang membuat seorang guru dilema yaitu, tetap ingin mempertahankan dalam tanggungjawabnya namun apa yang ia dapatkan belum dapat mensejahterakan kehidupannya. Maka dari itu, kebanyakan dari guru honorer, sering mencari kerjaan sampingan, seperti mengajar di bimbel ataupun les privat. Tentunya hal tersebut akan mengurangi waktu istirahat seorang guru dan dapat menimbulkan setres. Hal- hal tersebut tentunya sangat menganggu kesehatan mental guru, namun biasanya guru tetap akan bersikap wajar dan baik-baik saja.
Upaya pemerintah dalam menjaga kesehatan mental guru yaitu dapat memberikan insentif yang semestinya dan berkala supaya kehidupannya lebih sejahtera, dan mengadakan sosialisasi terkait kesehatan guru. Upaya yang dapat dilakukan pemimpin sekolah yaitu dapat memprogramkan kegiatan untuk menunjang kesehatan guru baik fisik maupun mental, memberikan beban kerja yang cukup, serta menciptakan kondisi lingkungan yang nyaman. Bagi guru sendiri dapat melakukan olahraga, bertamasya, istirahat yang cukup, serta mencari pelayanan terkait kesehatan mental (mengikuti workshop), dimana guru dalam menjaga kesehatan mentalnya harus berusaha secara mandiri juga.
Penyunting: Putra