Apa yang ada dibenak Anda ketika baru saja masuk kelas, murid Anda tertidur? Ada yang meletakan kepalanya di meja. Ada yang bersandar di dinding dan ada pula yang tergeletak di lantai, semuanya dalam kondisi tertutup mata, alias tertidur.
Situasi ini saya alami ketika saya memasuki ruang kelas untuk mengajar mata pelajaran sosiologi di sebuah sekolah. Saya sungguh memprihatinkan bahwa keadaan ini tidak hanya dialami oleh saya saja. Guru geografi, guru matematika, juga mengalaminya.
Sebagai guru sosiologi kelas 10, 11, saya memiliki tanggung jawab terhadap moral mereka terhadap semua guru yang ada di sekolah tersebut. Saya mencoba mencari tahu kepada teman-teman guru muda atas pengalaman yang saya alami. Kedua teman, guru matematika dan guru geografi menyampaikan hal yang sama. Ketika saya mendapatkan informasi tersebut, saya memulai memikirkan cara apa yang sekiranya bisa membantu mereka lebih menyadari bagaimana bersikap sopan, santun kepada Bapak Ibu guru di sekolah.
Dugaan saya, ini pasti bukan karena mereka mengantuk. Tetapi mereka membohongi guru alias dikerjain. Dari pada saya banyak berpikir yang bukan-bukan terhadap murid tersebut, saya mencoba untuk berpikir postif terhadap kenyataan tersebut. Saya mencoba mengajak mereka sharing bersama.
Selamat siang semuanya, saya mencoba memberikan sapaan kepada mereka dengan suara yang lantang. Ayo rek, bangun, bagun! Saya mencoba membangun kemistri bahasanya mereka. Pak boy memiliki cerita menarik. Apakah sudah siap mendengarkan? Ada yang masih mengantuk, silahkan cuci muka di washtafel? Satu per satu murid saya bangun. Saya pun mencoba mendekati mereka, mengelus punggung mereka agar mereka bisa bangun dari tidurnya. Ketika mereka semua sudah bangun, dan siap untuk medengarkan, saya menyampaikan kepada mereka bahwa hari ini tidak ada pemberian materi. Kita gunakan waktu hari ini untuk Ngopi (Ngobrol Pintar). Mereka pun merasa gembira, ada yang berseru “pak boy baik deh!”
Setelah saya mengkondisikan kelas tersebut, saya mencoba memulai percakapan. Saya bertanya kepada salah seorang murid, namnya Kevin (bukan nama sebenarnya): bagaimana kabar Kevin hari ini? Mengantuk, malas pak belajar sosiologi! Saya mencoba bertanya kepada salah satu temannya dengan pertanyaan yang sama, jawabnya mengantuk, capek pak! Saya tertegun dengan jawaban kedua murid tersebut. Saya mencoba menggali lebih dalam, sebenarnya apa yang mereka alami ini, apa penyebabnya. Apa yang membuat mereka kurang bersemangat hari ini? Apa tujuan akhir dari proses belajar mereka? Apa cara saya membantu mereka dalam mengatasi kondisi demikian?
Saya dan murid terlena dalam sharing pengalaman tersebut. Saya baru menyadari bahwa kurun waktu sharing yang kami habiskan sudah sudah tujuh puluh menit. Saya mencoba memetakan masalah yang mereka alami, pertama, murid mengalami kelelahan dalam belajar pada jam pelajaran sebelumnya. Kedua, murid merasa sulit memahami materi apabila cara mengajar serta sajian materi kurang menarik. Ketiga, motivasi belajar mereka turun akibat pikiran mereka terkuras banyak di pelajaran sebelumnya. Keempat, tidak ada jedah istirahat dalam melaksanakan proses belajar. Dari pemetaan tersebut, saya mencoba menyampaikan kepada murid. Saya bersikap terbuka terhadap mereka, menyampaikan kembali kebutuhan mereka.
Sebagian mereka merasakan hal tersebut. Dan sebagian dari mereka tidak memiliki pemahaman yang tepat tentang mengapa mereka harus berada di sekolah, mengapa mereka harus belajar. Hanya sebagian kecil dari mereka memahami keberadan mereka. Ketika saya bertanya, untuk apa kalian belajar, mengapa kalian belajar sosiologi? Mengapa kalian mengalami kelelahan belajar? semua menggelengkan kepala, mereka merasa tidak tahu, mereka menuturkan tidak tahu pak sama guru si A, si B, dst.
Setelah mengumpulkan informasi sebagai fakta akurat dari murid, saya mencoba untuk berjedah sejenak, sembari meminta ijin kepada murid untuk keluar di teras kelas sejenak. Saya menemukan cara untuk membantu murid dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Tujuan agar ketika mereka telah menemukan masalah dan mampu mencari cara, mereka menjadi murid yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bertanggung jawab terhadap proses belajarnya di sekolah, bertanggung jawab dalam menuntun ilmu di sekolah, bertanggung jawab terhadap kehadirannya bersama Bapak Ibu guru di lingkungan sekolah.
Saya membantu mereka untuk menemukan daya juang serta cara mengolah proses belajar di kelas. Saya sebenarnya bukan guru ahli psikologi, tahu tentang cara untuk mengatasi masalah tersebut dengan bekal ilmu yang memadai. Tetapi saya mencoba belajar memahami murid saat itu. Dengan kepercayaan serta sungguh-sungguh membantu murid membuat saya tetap semangat.
Saya tidak menyerah. Saya mencoba mengingat media yang pernah saya gunakan di kala SMA. Saya menemukan media yaitu peper assessment. Saya mengajak masing-masing murid menulis tantangan, hambatan, peluang ketika mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Selain itu, saya minta tolong kepada murid untuk menuliskan cara belajarnya serta media belajar yang dinginkan. Saya segera membagikan kertas HVS F4 kepada murid. Saya mengajak murid untuk menuliskan secara bebas. Saya menyampaikan kepada mereka, apa yang kalian tulis tidak terpengaruh dengan penilaian sikap, serta penilaian kognitif.
Setelah saya memberikan kesempatan kepada murid untuk menulis, saya menyampaikan secara lisan hal-hal yang pernah saya alami ketika berada di kelas tersebut. Saya pun menulis di selembar kertas. Saya juga ingin mengenal pengalaman yang saya alami.
Setelah saya menulis. Saya menunggu murid mengumpulkan tulisannya di meja kelas. Semua murid mengumpulkan hasil tulisan. Saya meminta murid untuk memberikan waktu kepada saya untuk membaca tulisan mereka. Setelah saya membaca cepat, kilat, terpahami, saya mendapatkan insight dari murid tentang apa arti seorang guru di hadapan mereka.
Saya mengajak mereka untuk menuliskan di sebuah buku tulis milik saya tentang tujuan akhir yang ingin diraih ketika mengikuti pelajaran di kelas. Motivasi serta komitmen sebagai landasan dasar yang kami bangun untuk menciptakan ruang belajar dikelas sesuai dengan apa yang diharapkan murid tersebut. Saya merasa menarik dari setiap tulisan mereka. Saya tertegun, terharu dari setiap gagasan mereka.
Saya merasa terbantu untuk mengenal kebutuhan dan pengalaman murid sebagai pelajar di sekolah. Saya sungguh mengenal apa yang mereka butuhkan dalam belajar. Saya akhirnya memutuskan murid menggunakan media tersebut untuk menumbuhkan proses belajar di sekolah, di rumah, dan di mana pun.
***
Siang itu, saya mencoba mendatangi kelas mereka ketika pelajaran telah usai. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa tetap melakukan praktik menulis di kertas sebagai bentuk self-healing melatih kecakapan diri. Mereka tampak begitu antusias. Mereka semua berseru, ya pak boy…ya pak boy!
Di pertemuan berikutnya, saya mencoba mempraktekkan hal yang sama bersama mereka. Mereka begitu antusias ketika saya menyampaikan hal tersebut. Ada beberapa murid menyampaikan pengalamannya ketika ia sangat serius menulis hal tersebut. Ada dampak yang ia rasakan. Ketika beberapa murid menyampaikan pengalamannya, saya memberikan kesempatan kepada murid yang lain untuk menyampikan pengalamannya.
Di sesi ini, saya meminta murid untuk menuliskan tujuan akhir dari proses belajar yang ia dapatkan hari itu pada sebuah buku kepunyaan saya. Saya mencoba membantu mereka untuk mengungkapkan gagasannya, komitmen, motivasi singkatnya hal yang ingin ia capai di bangku sekolah. Dari cara yang saya lakukan ini membuat saya sangat memahami mereka.
Hasilnya beragam, setiap pengalaman mereka. Ada yang sangat bijak, ada yang masih taraf belajar menulis gagasannya. Saya tetap memberikan motivasi kepada mereka untuk tetap semangat dalam menulis.
***
Dari pengalaman di atas saya benyak belajar dari murid. Pertama, guru harus memiliki sikap pengertian, tidak berprsangka buruk pada setiap aktivitas murid di kelas. Berpikir postif akan berdampak terhadap keberadaan guru di kelas. Kehadiran guru dikelas diapresiasi, disenangi murid dll. Kedua, guru harus berpihak kepada murid. Keberpihakkan guru terhadap murid adalah usaha untuk menyadari diri bahwa menjadi guru bukan mengukur status sosial dengan murid. Menjadi guru adalah suatu cara bagaimana kita menjadi pelayan, pendengar setia bagi mereka. Ketiga, guru harus pandai mencari cara. Mencari cara merupakan sebuah upaya yang dilakukan guru agar ia dapat mengetahui, memperoleh informasi dari murid melalui media yang digunakan. Keempat, jadilah guru yang peduli dengan apa yang dialami murid di kelas. Guru yang empati akan mencari banyak cara dalam memenuhi kebutuhan murid dalam belajar. Guru yang kurang peduli akan melihat hal tersebut sebagai hambatan. Saya merasakan bahwa ketika saya menemukan murid yang memiliki masalah tersebut saya merasa bangga menjadi guru. Saya banyak belajar dari murid. Saya bisa mengoreksi diri. Saya dapat memahami keadaan diri mereka, apa tujuan mereka belajar. Kelima, kehadiran saya dihadapan murid adalah sebuah proses untuk memacu adrenalin bahwa menjadi guru sesungguhnya tentu harus mengalami jatuh bangun bersama murid. Guru yang banyak menjumpai masalah bersama muridnya adalah guru yang siap untuk didewasakan oleh muridnya. Kehadiran murid merupakan “emas” kehidupan bagi guru. Guru bisa belajar karena ia lebih dahulu mendapatkan pengalaman belajar bersama murid. Hubungan antara guru dan murid adalah relasi resiprokal-saling menguntungkan. Keenam, menjadi guru harus pantang menyerah. Saya menyadari bahwa di tahun pertama menjadi guru sungguh merasakan betapa saya kaget dengan pengalaman ini. Saya begitu polos mengakui bahwa menjadi guru itu sangat menarik. Bisa menyampaikan ilmu kepada murid. Entah murid mengerti atau tidak, tentu saya bisa memberikan ilmu kepada mereka. Saya tidak memikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengalami hal ini. Kedelapan, guru harus membangun relasi dekat dengan murid di luar jam sekolah. Keterlibatan guru dalam mengikuti aktivitas bersama murid seperti main futsal, badminton, renang, memberikan efek sangat positif dalam kehidupan guru. Dari kedekatan ini saya memiliki sapaan khusus oleh mereka, yaitu “Pak boy”.
Pak boy merupakan panggilan akrab oleh semua murid di sekolah tersebut. Gaya bergaulana sentuy, mengikuti perkembangan zaman murid menjadi pengalaman berharga ketika saya mengawali profesi guru di tahun pertama di SMAK Mater Dei. Pak boy merupakan sapaan kebanggan tersendiri bagi saya. Dari sapaan ini, saya merasa begitu berarti. Saya tidak tahu apa makna dibalik paggilan pak boy ini. Saya bersikap positif bahwa mereka sungguh welcome dengan kehadiran saya.
Saya menyadari bahwa saya merupakan guru baru di sekolah itu. Namun, di tiga bulan pertama saya mengajar di sekolah tersebut, saya telah mendapatkan julukan nama baru ciptaan murid. Ketika bertemu di jalan, mereka selalu menyapa “Pak Boy”. Segudang makna menilik dibalik panggilan nama ini.
Saya menyadari bahwa menjadi guru adalah sebuah pengalaman jatuh bangun. Ada rasa penat, kesal, ada rasa bahagia. Tentu itu semua pengalaman manusiawi. Sadar akan hal ini, tetapi jangan berhenti untuk belajar dengan perkembangan zaman mereka. Kita harus masuk dalam ruang kehidupan mereka. Lupakan dunia kita di masa SMA masa “doeloe”.
Berkiprah dengan semangat baru di mana kita menjumpai setiap murid di sekolah. Belajarlah untuk beradaptasi dari waktu ke waktu. Sebab menjadi guru bukan semata-mata karena kepandaian tetapi panggilan hati. Hati yang tulus akan mengahsilkan cinta yang besar kepada murid. Cinta yang besar akan menghasilkan perhatian dan pelayanan yang intens kepada murid. Biarkanlah anak-anak datang kepadaku merupakan sebuah motivasi yang harus saya perjuangkan dari waktu ke waktu dalam membersamai mereka di lembaga pendidikan.
Ini adalah sebuah kisah saya menjadi guru di tahun 2017. Saya adalah guru yang masih dibilang sangat mudah di dunia pendidikan formal. Namun kecintaan saya di dunia pendidikan telah terbentuk di dalam keluarga. Sosok ayah mengajarkan banyak hal membuat saya terpikat dengan wejangan hidup sebagai guru. Begitu pula, semasa kuliah saya belajar mengasah hati, mengasuh murid di lembaga bimbingan belajar. Di lembaga tersebut bagaimana saya harus belajar banyak hal. Kesabaran adalah tolok ukur utama yang harus dibangun untuk menjadi guru. Bangkitlah semangat menjadi guru, jangan berhenti untuk berefleksi, belajar tanpa henti kembangkan cinta yang besar untuk murid. Mereka adalah permata bangsa kebanggan-Mu dikemudian hari. Berkiprahlah sebagi guru berdaya, ditengah revolusi zaman. Wujudkan niat, kembangkan human skill dalam menghadapi revolusi pendidikan di era 4.0 menuju Indonesia emas. Bersama murid saya melangkah, bersama murid saya semakin mencintai profesi guru. Tumbuhkan iman yang kokoh luangkan waktu untuk memberdayakan murid Indonesia saat ini.
Saya menjadi mengerti bahwa sapaan “Pak Boy” menjadi tergiang dibenakku. Saya hanya berkata dalam sanubari: saya sungguh hadir bersama mereka, saya peduli, saya ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Pak Boy rangkuman kisahku bersama murid di awal permula menjadi guru. Terima kasih mantan muridku. Kalian semua “mutiara hidupku”. Gratias Ago!