Guru sebagai ujung tombak dalam peningkatan kualitas pendidikan mempunyai peran yang sentral dan vital. Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mengajar, mendidik, mengarahkan, membimbing, melatih, mengevaluasi, dan menilai murid pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk menjalankan peran dan tugas tersebut, guru seharusnya menguasai empat komptensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Supaya dapat melaksanakan tugas dengan optimal, seorang guru disamping harus mempunyai kesehatan fisik juga memiliki kesehatan mental yang prima.
Kesehatan mental adalah kondisi yang terjadi sebagai hasil dari mental yang terorganisasikan dan berfungsi secara normal. Surya (2015:154) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah fungsi keseluruhan kepribadian secara penuh dan harmonis. Dalam kondisi mental yang sehat, potensi-potensi baik dalam diri seseorang terutama guru baik yang bersifat pembawaan maupun yang diperoleh dapat terekspresikan secara harmonis dan terarah pada satu tujuan. Ada enam faktor yang mempengaruhi kesehatan mental yaitu kondisi fisik, kepribadian, psiklogis, perkembangan, keagamaan, dan lingkungan (Surya, 2015:154). Kondisi fisik termasuk pembawaan, kepribadian meliputi konsep dan penerimaan diri, psikologis terkait kebiasaan dan sikap, perkembangan termasuk aspek intelektual dan emosional, keagaaman atau religi, serta lingkungan terkait kurikulum dan guru. Guru yang bermental sehat akan mampu mengekspresikan potensinya secara bebas tanpa ragu-ragu dan terkekang.
Isu kesehatan mental menjadi suatu yang fundamental karena disinggung oleh Bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia saat pelaksanaan puncak Hari Guru Nasional ke-78. Jokowi menyebutkan bahwa profesi guru rentan untuk terkena stres lebih tinggi dibanding profesi lain di Indonesia. Sebanyak 59,90% guru mengalami stres sedang dan 5 % mengalami stres berat dalam menjalankan kegiatan pembelajaran (Fathonah dan Renhoran, 2021). Tingkat stres guru disebabkan oleh tiga hal pokok yaitu pergantian kurilulum, perilaku murid yang cenderung tidak baik, dan belum beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Hal ini menandakan bahwa merawat kesehatan mental guru menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan dan ditangani dengan tepat.
Polis merupakan akronim dari program healing berbasis literasi yang dapat menjadi alterantif solusi untuk merawat kesehatan mental guru. Healing merupakan suatu proses menyembuhkan diri dari luka batin. Luka batin hanyalah sebuah peristiwa. Setiap peristiwa dapat disikapi dengan bijaksana. Literasi ada kaitannya dengan healing. Literasi dengan membaca dapat menyembukan pikiran dan hati yang galau. Otak perlu nutrisi jiwa agar selalu fresh dan sehat. Pada dasarnya healing untuk berliterasi dapat dilakukan dengan niatan yang berasal dari dirimu. Healing berbasis literasi membuat guru dapat mengendalikan pikiran dan emosi. Saat guru melakukan kegiatan yang nyaman dan memperhatikan diri sendiri dapat berdampak baik pada kesehatan fisik dan mental.
Pentingnya program healing berbasis literasi ini yaitu muncul kesadaran mendasar tentang pentingnya kemajuan pendidikan di Indonesia, pemerintah dan masyarakat sadar akan keunggulan individu, dan faktor pendukung seperti komunitas-komunitas yang bersemangat menumbuhkan kegiatan dan budaya literasi di lingkungan pendidikan dan masyarakat. Healing berbasis literasi mempunyai beberapa manfaat yaitu memperluas wawasan dan pengetahuan, membantu mengambil keputusan, memperkaya kosakata, melatih fokus dan konsentrasi, serta mengasah kemampuan menangkap informasi juga meningkatkan kreativitas guru sehingga terhindar dari stres dan kesehatan mental selalu terrawat dan sehat.
Referensi:
Fathonah, S., & Renhoran, C.R. (2021). Gambaran Tingkat Stres Guru Madrasah Aliyah di
Jakarta Selatan. Jurnal Pendidikan Islam, 12 (1), 57-70.
Surya, M. (2015). Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta
Penyunting: Putra