Menilik Pentingnya Kesehatan Mental Seorang Guru, Perlukah Seorang Guru Harus Selalu Sempurna? - Guruinovatif.id

Diterbitkan 25 Nov 2023

Menilik Pentingnya Kesehatan Mental Seorang Guru, Perlukah Seorang Guru Harus Selalu Sempurna?

Beban tugas, tuntutan kesempurnaan, terkadang membuat seorang guru menjadi lupa menjaga kewarasannya sendiri. Padahal, kesehatan mental seorang guru tentunya berpengaruh pada anak didiknya. Menilik pentingnya kesehatan mental seorang guru, perlukah seorang guru memang harus selalu sempurna?

Seputar Guru

FAUZIA MAGHFIROH

Kunjungi Profile
605x
Bagikan

Kemarilah, singgah dulu sebentar

Perjalananmu jauh, tak ada tempat berteduh

Menangislah, kan kau juga manusia

Mana ada yang bisa

Berlarut-larut, berpura-pura sempurna

Potongan lirik lagu tersebut tak asing terdengar di telinga. Lirik lagu yang dipopulerkan oleh Ghea Indrawari dan dirilis Mei 2023 itu mungkin tidak hanya berlaku bagi anak muda atau remaja. Nampaknya, lirik itu juga mewakili perasaan siapapun yang bergejolak dan sering merasa harus berpura-pura sempurna –yang nyatanya tak bisa–, termasuk seorang guru.

Akhir-akhir ini, kita dihadapkan pada kesadaran khalayak tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Bahkan, di kalangan muda-mudi sering terdengar istilah seperti healing, menjaga mental, demi kesehatan mental, mental healthy, dan lainnya yang mengarah pada satu topik : pentingnya menjaga kesehatan mental.

Kondisi zaman yang semakin berkembang, tekanan hidup yang semakin bervariasi, tantangan dunia teknologi, menjadi salah satu keniscayaan untuk kita mengakui bahwa kesadaran tentang kesehatan mental saat ini sudah semakin merata. Tak hanya di kalangan para psikolog, ahli jiwa, di masyarakat awam pun banyak yang telah menyadari akan hal ini. Tak ketinggalan juga profesi guru.

Kembali ke lirik lagu di atas, nampaknya guru adalah sosok yang sering harus dituntut ‘berpura-pura sempurna’, di mata muridnya, teman sejawatnya, keluarganya, bahkan lingkungan di sekitarnya. Apa benar? Stigma guru ‘digugu dan ditiru’ yang artinya guru adalah sosok yang bisa ditaati dan ditiru, menuntut guru menjadi sosok yang sempurna, dan lupa bahwa guru juga manusia. 

Bagi seorang guru, dirinya telah mendapat ‘cap’ tak tertulis bahwa dia adalah sosok yang harusnya mengajarkan kebaikan, mencontohkan kesempurnaan, tak boleh salah, tak boleh keliru. Bahkan, di lingkungan tempat tinggalnya, meski sudah berganti baju menjadi warga desa, nampaknya ‘cap’ sebagai guru akan terus melekat dan tak bisa dilepaskan. Ia akan menjadi sosok yang selalu ‘dilihat dan diamati’ bahkan dari berbagai sisi.

Ada sebuah pepatah yang  mengatakan bahwa “semua murid semua guru” belum sepenuhnya disadari oleh khalayak. Bahwa guru memang betul menjadi sosok yang harus bisa ditiru, namun ia juga terkadang, bahkan sering, menjadi murid yang harus terus belajar agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sosok guru yang selalu benar, tak pernah salah, selalu baik, tidak berlaku hari ini. Dengan kemajuan teknologi, terkadang justru siswa yang diajarnyalah yang lebih pandai dan mengerti suatu hal baru ketimbang guru yang mungkin tak selalu update melalui gawainya.

Ketika sudah masuk rumah, seorang guru akan berganti peran. Bisa menjadi ayah, ibu, atau anak, yang terkadang semuanya berjalan tak sesuai kemauan. Masalah-masalah siswa di sekolahnya, lingkungan mengajar, terkadang terbawa sampai masuk di dalam rumahnya. Tentu hal itu tidak baik. Tekanan demi tekanan tentang administrasi guru yang begitu menumpuk, belum lagi tekanan masalah ekonomi keluarga, sangat mungkin menyebabkan seorang guru mengalami stres yang akan berdampak pada kesehatan mentalnya, yang dalam jangka panjang pasti berdampak pada performanya mengajar anak didiknya.

Sebenarnya, apa sih kesehatan mental itu? Menurut World Health Organization, sehat mental berarti suatu kondisi kesejahteraan pada individu yang mengenali kemampuan dirinya, mampu menghadapi stres (tekanan/situasi sulit) dalam kehidupannya, tetap produktif, dan berkontribusi bagi lingkungan dan masyarakat.

Beban mengajar guru di sekolah dan juga beban administrasi yang tak sedikit nampaknya juga perlu menjadi perhatian khusus. Jika waktu seorang guru hanya dihabiskan untuk mengurus administrasi mungkin dia juga tidak bisa fokus ke anak didiknya, bagaimana seharusnya menyiapkan pembelajaran yang menyenangkan. Belum lagi ketika ada anak yang “bermasalah” yang menjadi tokoh utama yang selalu dicari adalah ‘gurunya’. Seolah-olah, akhlak dan budi pekerti seorang anak hanya menjadi tanggung jawab guru di sekolah tanpa memperhatikan tanggung jawab orang tua maupun masyarakat di sekitarnya.

Jika boleh dianalogikan, seorang guru bagaikan fenomena gunung es yang diungkapkan dalam Freud’s Iceberg Theory. Gambaran gunung es yang hanya terlihat ujungnya tanpa orang tahu di bawahnya yang menyokongnya. Menurut teori Freud, gunung es yang terlihat menjulang diasumsikan menunjukkan 12% alam sadar manusia, sementara di bawahnya, ada 88% alam bawah sadar yang tak terlihat oleh siapapun. 

Bagaimana dengan guru? Yang terlihat adalah kewajibannya mengajar di kelas, setelah selesai pulang. Yang tak terlihat lebih besar dari itu: seperti beban administrasi, mengenali muridnya satu per satu, menyelesaikan masalah anak didiknya, belum lagi kewajiban di luar kelas seperti pelatihan, webinar, penugasan, dan lain sebagainya. Itu baru urusan di sekolah, seorang guru juga memiliki peran di keluarga dan masyarakat, bukankah ada hal-hal lain yang tak terlihat juga?

Beberapa waktu lalu pernah viral seorang guru di China yang terekam CCTV sedang terlihat lelah, sedang menuju kelas yang akan diajarnya. Guru Chen, namanya. Guru Chen kemudian terlihat berhenti di depan pintu kelas, lalu mengubah wajah lelahnya dengan wajah bahagia, menghela napas dan tersenyum lalu bersiap masuk ke kelas tersebut. Sontak video yang beredar tersebut membuat warganet terharu dengan perjuangan guru, tidak ada yang tahu apa yang sedang dirasakan seorang guru, mereka terpaksa menampilkan profesionalisme ketika sudah berada di kelasnya dan memberikan senyum terbaik untuk murid-muridnya.

Lalu, apakah guru harus terpaksa berlaku demikian terus menerus? Berpura-pura sempurna di depan muridnya adalah sebuah keharusan? Tidak pentingkah kesehatan mental baginya? Justru, kesehatan mental bagi seorang guru merupakan sesuatu yang amat penting. Menurut dr. Sri Wati Astuti AR, Sp.KJ (psikiater), guru adalah bagian integral dari lingkungan pendidikan dan kesejahteraan mental mereka memiliki dampak langsung pada proses pembelajaran dan perkembangan siswa. Oleh karena itulah, kesehatan mental guru merupakan hal yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian khusus oleh para pemangku kepentingan.

Dikutip dari laman website Universitas STEKOM yang merangkum hasil zoom meeting dengan dr. Sri tersebut, ada beberapa alasan mengapa kesehatan mental seorang guru dinilai sangat penting. Berikut adalah inti dari paparan tersebut.

Pertama, apabila seorang guru memiliki kesehatan mental yang positif dan baik, berhasil mengelola stress dengan lebih baik, tentunya guru tersebut dapat menjelaskan pembelajaran dengan komunikasi yang baik sehingga dapat berinteraksi dengan siswa juga dengan cara yang baik, yang pada akhinya dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, aman, dan nyaman.

Kedua, seperti pepatah Jawa yaitu guru: “digugu lan ditiru”, guru yang memiliki kemampuan mengelola stress yang baik akan menjadikan dirinya contoh yang dapat ditiru oleh anak didiknya. Guru yang menunjukkan kesehatan mental positif dan berhasil menyelesaikan tantangan menjadikan siswanya juga belajar pentingnya menjaga kesehatan mental.

Ketiga, dengan kesehatan mental yang baik, guru dapat lebih meningkatkan kreativitas dan inovasinya sehingga mendorong siswanya untuk turut berpikir kreatif, kritis, dan inovatif. Hal ini tentu akan berdampak baik kepada guru itu sendiri, siswa, dan juga sekolahnya karena berhasil menciptakan lingkungan belajar yang senantiasa positif.

Apabila kesehatan mental ini tidak diperhatikan, bisa jadi seorang guru mengalami burnout. Ini adalah istilah untuk kondisi stres kronis di mana pekerja merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional gara-gara pekerjaannya. Profesi guru sangat menuntut banyak hal sehingga risiko kelelahan fisik dan emosional yang parah sangat mungkin terjadi pada guru. Untuk itu, penting bagi sistem pendidikan maupun lembaga sekolah untuk memberikan dukungan yang tepat, seperti menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung, mengurangi adanya toxic relationship di antara para warga sekolah, memfasilitasi sesi pelatihan maupun konsultasi dengan penyedia jasa layanan kesehatan mental, serta mendukung penuh terhadap kegiatan positif yang dapat meningkatkan kreativitas. 

Tak hanya menjadi tugas pemangku kepentingan, bagi guru itu sendiri, menjaga dan merawat diri sendiri untuk tetap “waras” juga menjadi hal penting. Artinya, seorang guru harus tahu kapan saatnya beristirahat, tidak memforsir tenaganya, menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya, tidak mencampur-adukkan permasalahan, tahu kapan harus menceritakan permasalahannya dan kepada siapa, tahu kapan harus mencari bantuan jika diperlukan, serta dapat aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan mental bagi dirinya.

Sebagai tampuk perkembangan dunia pendidikan, kesehatan mental seorang guru merupakan ujung tombak yang berperan langung menjaga kesehatan mental anak didiknya, yang nantinya mereka adalah para penerus generasi bangsa di masa depan. Namun, tak hanya ‘dituntut’, guru juga harusnya dibantu dan didukung oleh semua pihak demi terlaksananya tujuan pendidikan bersama. Seorang guru tak bisa berjalan sendirian. Membangun masyarakat yang sadar pentingnya kesehatan mental harus dilakukan bersama-sama.

Salam bahagia, untuk semua Ibu dan Bapak Guru hebat.

Daftar Pustaka

Corriana. “Teori Gunung Es dalam Psikologi”. Diakses pada 24 November 2023. https://dosenpsikologi.com/teori-gunung-es-dalam-psikologi.

Kompasiana. 2023. “Menggali Makna di Balik Lirik Lagu ‘Jiwa yang Bersedih’ Ghea Indrawari. Diakses pada 24 November 2023. https://www.kompasiana.com/noerashari3023/64d064044addee67ac45f4b3/menggali-makna-di-balik-lirik-lagu-jiwa-yang-bersedih-ghea-indrawari.

Kusdarmawan, Rahma Putra. 2023. “Kesehatan Mental Seorang Guru, Seberapa Penting?” dalam Inspiring Professional #91. Diakses pada 24 November 2023. https://stekom.ac.id/berita/inspiring-professional-kesehatan-mental-guru-seberapa-penting.

Sumampaow, Nael. 2020. “Kesehatan Mental Guru dan Siswa” dalam Diskusi Tematik Pusat Penelitian Kebijakan: Sekolah Daring di Masa Pandemi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses pada 24 November 2023. psikologi.ui.ac.id.

Daftar Gambar

Gambar 1:  “Teori Gunung Es (Iceberg) diunduh pada 24 November 2023 pada laman https://www.sosial79.com/2022/10/teori-gunung-es-pengertian-komponen.html.


Penyunting: Putra

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Mulok, Kurikulum Merdeka, dan Relasinya dalam Pendidikan
5 min
10 Tips Mengurangi Beban Kerja Guru
7 min
Rahasia Sukses Guru Abad 21: Wajib Ketahui 5 Kompetensi Penting Ini!
3 min
8 Tips Persiapan Masuk Sekolah untuk Guru
3 min
Pengaruh Kesehatan Mental Guru terhadap Tinggi Rendahnya Hasil Belajar Peserta Didik
3 min
Guru Berisiko Tinggi Mengalami Burnout? Ketahui Penyebab dan Cara Mengatasinya!

rahajeng shafira

Dec 04, 2023
4 min

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB

Kursus Webinar