"Memikul Beban Berat dari Luar Kelas, Tetap Waras di Dalam Kelas" - Guruinovatif.id

Diterbitkan 06 Des 2023

"Memikul Beban Berat dari Luar Kelas, Tetap Waras di Dalam Kelas"

Saya mencoba hadir di kelas dengan membawa wacana bahwa seorang guru tetaplah manusia dengan celah-celah di tubuhnya. Saya ingin mengajak murid saya untuk berinteraksi tidak sebagai guru dan murid, melainkan sebagai manusia yang mempunyai tugas beribadah mencari ilmu dengan berperan menjadi seorang

Seputar Guru

Dewandaru Ibrahim

Kunjungi Profile
1256x
Bagikan

Memikul Beban Berat dari Luar Kelas, Tetap Waras di Dalam Kelas

Dewandaru Ibrahim

Ketenangan batin seorang guru di dalam kelas barangkali bukan suatu yang main-main. Meningkatnya kadar ketergangguan perasaan (emosional) seorang guru tidak bisa dipungkiri akan sangat berpengaruh kepada cara mengajarnya. Interaksi antara guru dengan murid akan sedikit terganggu jika seorang guru tidak mempunyai batin yang tenang (katakanlah mentalnya atau emosinya sedang tidak stabil). Jika seorang guru tidak bisa membangun atau mengatur emosionalnya maka sangat besar kemungkinan terbentuk jarak antara guru dengan murid. Hal tersebut merupakan pemandangan yang sangat menyedihkan di dalam kelas.

Dr. Tina Boogren mengatakan bahwa guru lebih banyak mengambil keputusan menit demi menit daripada ahli bedah otak dan itulah mengapa seorang guru setiap hari mengalami kelelahan Ketika pulang sekolah. Pernyataan Dr. Boogren tersebut barangkali relevan melihat dalam sehari seorang guru bisa mengajar di beberapa kelas yang berbeda dan tentu dengan gaya dan kebudayaan kelas yang berbeda. Pada kenyataannya kelelahan seorang guru tidak hanya fisik yang diforsir dari pukul 07.00 hingga 15.30, melainkan juga batin dan pikiran. Belum lagi jika ditambah dengan administrasi yang juga terasa memberatkan.

Sepertinya beban guru semakin bertumpuk pasca pandemi Covid-19, ketidakhadiran siswa dan guru di ruang kelas yang kurang lebih hamper dua tahun itu membuat suasana kelas jauh berbeda dari sebelumnya. Anak-anak yang biasanya belajar di rumah atau bahkan yang tidak belajar sama sekali, pasca pandemi dipaksa Kembali untuk hadir di ruang kelas. Ketidakhadiran selama dua tahun tentu membentuk suatu kebiasaan baru yang mungkin susah dihilangkan. Seringkali ditemui di dalam kelas ada Sebagian anak yang mengantuk, sulit berkonsentrasi, bosan, bermain game, dan lain sebagainya. hal tersebut jika tidak disikapi dengan dada yang lapang tentu akan menimbulkan chaos di dalam kelas, terlebih jika seorang guru dalam kelas tersebut secara emosional tidak berada pada titik yang stabil.

Sosok guru mungkin seringkali mendapatkan stigma sebagai sosok yang sempurna. Tidak hanya sebagai manusia yang penuh dengan ilmu, namun juga manusia yang periang, murah senyum, arif, penuh kasih sayang, berpenampilan rapih dan bertutur kata baik. Stigma-stigma tersebut sepertinya sedikit membebani dan memaksa seorang guru untuk menyembunyikan wajah aslinya. Pandangan umum tentang guru yang sempurna itu menjadikan sedikit saja kesalahan seorang guru menjadi kesalahan yang fatal. Seorang guru yang tadinya dihormati bisa jadi tiba-tiba menjadi bahan cibiran bahkan olok-olokan para murid di belakang. 

Suatu kali saya memasuki ruang kelas dengan membawa beban dari luar kelas. Kelas tersebut adalah kelas terkahir pada hari itu. Pertama kali saya melangkah saya melihat kondisi kelas yang sangat tidak kondusif. Sebagian anak tertidur, Sebagian bermain gawai, sebagian yang lain asik berbincang. Pemandangan itu masih terjadi bahkan setelah saya duduk dan hendak mengucapkan salam. Tentu sebagai seseorang yang berada dalam tekanan dan tidak stabil tersebut membuat saya stress. Beruntungnya hal tersebut bisa saya tahan dan saya memulai Pelajaran dengan menawarkan sebuah kesepakatan.

Saya mencoba hadir di kelas dengan membawa wacana bahwa seorang guru tetaplah manusia dengan celah-celah di tubuhnya. Saya ingin mengajak murid saya untuk berinteraksi tidak sebagai guru dan murid, melainkan sebagai manusia yang mempunyai tugas beribadah mencari ilmu dengan berperan menjadi seorang guru dan murid di dalam kelas. Saya mengatakan kepada siswa bahwa antara guru dan murid adalah manusia yang saling membutuhkan. Bukan murid yang butuh guru atau guru yang butuh murid. Keduanya saling membutuhkan karena terkena kewajiban untuk menuntut ilmu.

Saya ingin mereka merasakan dan menciptakan keadilan, terutama di ruang kelas. Terutama untuk saling bekerjasama menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Saya mengatakan bahwa seringkali saya berkompromi dengan keadaan mereka yang lelah setelah olahraga atau setelah belajar beberapa mata pelajaran yang sulit dengan bernegoisasi akan seperti apa dan bagaimana pembelajaran hari ini. Saya mengatakan bahwa saya tidak mungkin selalu bisa menuruti kemauan mereka untuk menciptakan sauasana yang menyenangkan, melainkan harus ada kerjasama antara saya dan mereka. Saya mengatakan bahwa saya sedang tidak baik-baik saja, saya sedang hancur secara emosional dan lelah secara fisik, tapi saya punya tanggungjawab untuk tetap mengajar dan tentu saja menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Walhasil, alhamdulillah sedikit demi sedikit sikap murid berubah meski awalnya saya agak canggung.

Mungkin saya bukan guru yang profesional, sebab saya terlalu malas untuk bermain drama. Saya pikir guru tidak bisa terus menerus berpura-pura baik-baik saja di depan murid. Sangat berat dan dongkol jika seorang terus menerus bermain drama di depan kelas. Entah sikap saya ini profesional atau tidak, pantas atau tidak, cengeng atau tidak, logis atau tidak logis, saya rasa hal ini merupakan sikap yang masih realistis dan logis. Saya hanya mengajak para murid untuk utuh menjadi manusia. Setidaknya mereka harus mengerti keadaan dan kenyataan (realistis), objektif dalam memandang sesuatu sekaligus melatih mereka untuk menumbuhkan empati serta bekerja sama untuk membangun suatu ekosistem belajar yang menyenangkan. Mereka tidak hanya berperan pasif di kelas tapi mereka juga berlatih untuk sadar dengan tanggungjawab menciptakan kesenangan dalam belajar.

Sekali lagi, guru dan murid adalah dua pihak yang saling membutuhkan, manusia yang berkewajiban menuntut ilmu dengan berperan sebagai guru dan murid. Mungkin ini adalah alibi saya sebagai guru yang tidak heroik, lebih terkesan cengeng, dan mungkin juga contoh buruk sebuah profesionalitas, tapi saya optimis ketidakprofesionalitasan ini akan melahirkan kesadaran bagi siswa untuk berempati, objektif, serta menumbuhkan kemampuan untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Akhirul kalam, intinya murid tidak hanya bisa belajar, tapi juga bisa menikmati kesenangan belajar, dan guru bisa menjadi tetap waras brigas wilujeng nir ing sambikala.

Purwokerto, 30 November 2023


Penyunting: Putra

2

7

Komentar (2)

Jesse Christiami

Dec 12, 2023

artikel ini memberikan perspektif yang penting tentang tantangan yang dihadapi guru dan mencoba menggambarkan pendekatan manusiawi dalam mengatasinya.

Megawati Megawati

Dec 11, 2023

Tetap semangat, like this tetap waras💪🙏😁semangat ya
Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Literasi Digital di Madrasah anti Gadget?!?!

IKA ROSARIA

Sep 10, 2023
3 min
Pembelajaran Berdeferensiasi Solusi Menyongsong Indonesia Emas
2 min
Méntal guru jangan mental !!

ani sumiani

Nov 30, 2023
8 min
10 Tips Mengurangi Beban Kerja Guru
7 min
Guru Sehat Mental, Murid pun Bahagia
2 min
Penerapan Reward dan punishment dalam Pendidikan
4 min

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB

Kursus Webinar