Oleh: Rabiatul Awaliyah
Keengganan membaca mengakibatkan kemiskinan literasi yang akan berbuntut pada kemiskinan pendidikan, kemiskinan akses sosial, kemiskinan politik, dan kemiskinan penguasaan teknologi (Ahmad, 2021: 147). Ya, membaca merupakan kunci utama untuk memahami berbagai hal. Pertanyaannya, mengapa siswa dan guru masih banyak yang belum melek membaca?
Terang saja, generasi yang tidak akrab dengan kegiatan membaca buku akan gagap dengan berbagai kemajuan teknologi yang hadir kian mutakhir. Sehingga, sangat rentan terjerumus ke dalam hal negatif. Ibarat fondasi, kebiasaan membaca buku adalah beton yang dapat mengokohkan cara pikir dan cara pandangnya dalam menghadapi berbagai hal.
Hal ini pula berlaku untuk guru. Guru itu digugu dan ditiru. Bila guru tidak gemar membaca buku, apatah lagi dengan siswa yang sebagian besar akan menyalin perilaku gurunya. Ya, guru mesti menjadi uswatun hasanah alias contoh yang baik bagi siswa dan lingkungannya. Berat memang, tetapi begitulah idealnya.
Banyak pelatihan guru saat ini yang mengajarkan agar guru melek teknologi. Tujuannya ialah agar tidak ketinggalan dengan siswa yang tentu sudah lebih karib dengan perangkat teknologi. Nah, dengan mengikuti pelatihan-pelatihan guru, ia akan meningkatkan kapasitas diri yang tentu juga akan bermanfaat dan menunjang profesinya sebagai pendidik di era kemajuan teknologi ini.
Tak ayal, media pembelajaran pun harus diolah dan dikemas dengan menarik, unik, dan membuat siswa penasaran. Mengajar memang bukan perkara transfer pengetahuan saja, tetapi juga bagaimana menciptakan ruang pembelajaran yang hidup, yang mampu menghidupkan nalar dan rasa ingin tahu siswa.
Pun, siswa semestinya mampu menanamkan dalam dirinya untuk belajar secara mandiri dan ikhlas menerima pembelajaran. Anggaplah tugas yang diberikan oleh Bapak/Ibu guru sebagai challenge yang harus diselesaikan secara maksimal. Buktikan bahwa kalian mampu bertanggung jawab dan mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Namun, tentu saja, kesadaran itu tidak semerta-merta muncul begitu saja. Ia harus dipupuk dan disirami dengan nutrisi. Mendekatkan siswa dengan buku adalah cara yang amat baik. Guru mesti menyiapkan pembelajaran yang dapat memberikan siswa akses terhadap buku-buku. Ya, guru harus berperan menjadi terdepan dalam membangkitkan girah literasi di sekolah.
Teknologi Menunjang Tradisi Literasi
Riyanto menyebutkan, peran teknologi dalam dunia pendidikan telah bergeser, dari yang awalnya sekunder menjadi primer (2021: 186). Namun, apakah teknologi akan menggantikan guru? Tentu tidak. Teknologi hanyalah alat (tool) yang berperan sebagai media. Meskipun internet mampu menyajikan berbagai informasi yang mudah diakses, tidak semuanya dapat dijadikan rujukan. Sehingga, butuh kemampuan literasi untuk dapat bijak dan cerdas menggunakan platform digital itu.
Di dalam proses pembelajaran, guru dan siswa bisa bekerja sama dalam membangun tradisi lliterasi di kelas. Kehadiran teknologi internet dapat menunjang upaya tersebut. Banyak hal bisa diakses, mulai dari ebook, website, media sosial, bahkan AI ChatGPT, yang bisa dimanfaatkan untuk proses pembelajaran.
Jelas hal ini membutuhkan kualitas guru yang berjiwa pembelajar. Sebab, dengan begitu, ia akan terus meng-upgrade dirinya dengan pengetahuan baru. Di internet, dengan mudah bisa ditemukan beragam informasi, seperti informasi mengenai sertifikasi guru, pelatihan in house training, pelatihan, workshop pendidikan, dan sebagainya.
Jadi, sebetulnya tak ada lagi alasan untuk tidak belajar dan terus mengembangkan diri. Bapak/Ibu guru bisa belajar kapan pun dan di manapun dengan mentor yang mungkin berlokasi nun jauh di sana. Hal itu memungkinkan terjadi bila guru memiliki kemampuan literasi digital yang memadai.
Urgensi Literasi di Sekolah
Hasil Asesmen Nasional tahun 2021 yang diumumkan Mendikbud rasanya cukup menjadi perhatian. Sebab, berdasarkan hasil itu, kemampuan literasi siswa masih terbilang rendah. Sehingga, dapat dikatakan, membangkitkan girah literasi di sekolah amatlah penting.
Ya, budaya literasi di sekolah merupakan kebutuhan primer. Sebab itulah girah literasi di sekolah harus dibangun dengan kerangka yang kokoh, program dan capaian yang jelas. Baik itu dalam proses pembelajaran maupun dalam program-program penunjang lainnya.
Dekatkan siswa dengan buku-buku. Biasakan dengan aktivitas membaca dan menerangkan apa yang dibacanya. Siswa juga perlu dibekali dengan kebiasaan membaca bertarget, membaca dengan pemahaman. Jadi, ketika ia membaca, akan memahami apa yang dibacanya. Namun, tetap dengan target agar siswa terpacu untuk membaca terus-menerus.
Mari kita ikhtiarkan agar generasi ke depan lebih melek literasi dan dapat memajukan bangsa ini.
Penyunting: Putra