“Krasa ning ora di rasa”
Supratman, SD Negeri Lempuyangwangi
“Menjadi guru PAUD tidak lebih rendah dari guru TK. Menjadi guru TK tidak lebih rendah dari guru SD, menjadi guru SD tidak lebih rendah dari guru SMP, menjadi guru SMP tidak lebih rendah dari guru SMA, menjadi guru SMA tidak lebih rendah dari Dosen, dan menjadi Dosen tidak lebih tinggi dari menjadi guru”
Masing-masing memiliki kompetensi dan keahlian sesuai bidangnya sehingga tidak untuk dibandingkan. Ungkapan ini saya dapatkan dari sesaat setelah merenung setelah mengajar dikelas. Kala itu saya mendapatkan ucapan dari seseorang yang menganggap perpindahan mengajar dari SMP ke jenjang SD disebuat sebagai turun pangkat. Namun menurut saya tidak ada istilah turun pangkat. Dimanapun dan kapanpun guru akan tetap menajdi guru. Guru akan melekat seumur hidup. Saya mengajar di kelas 6 di salah satu sekolah dasar negeri di Yogyakarta. Sebagai informasi, saya baru sekitar empat bulan mengajar sebagai guru kelas Sekolah Dasar. Sebelumnya, saya sebagai guru mata pelajaran di salah satu sekolah menengah pertama negeri di Yogyakarta kurang lebih selama empat tahun. Merupakan salah satu dari sekian ratus ribu guru yang lolos dalam seleksi PPPK tahap ke tiga. Saya lebih beruntung dibandingkan dari teman-teman guru yang dibatalkan meskipun mendapatkan pengumuman kelulusan. Hal ini menjadi salah satu faktor tingkat stress guru menjadi semakin meningkat di Indonesia. Perubahan kebijakan pemerintah yang dinamis berdampak signifikan terhadap kondisi psikis guru saat ini.
Jika berpijak pada kebijakan pendidikan nasional kaitannya dengan kompetensi guru tentu tidaklah etis apabila seorang guru mengungkapkan kegelisahan akan profesianya. Guru dianggap sosok yang sempurna tanpa ada kekurangan. Bahkan dari bangun tidur hingga tidur kembali. Guru merupakan sosok digugu dan ditiru. Guru menjadi adalah garda terdepan yang bertangungjawab dalam menjaga kualitas sumber daya manusia. Melalui proses belajar mengajar guru lah yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Ditangan guru akan dihasilkan peserta didik yang berkaulitas, cakap secara akademis, memiliki lifeskill yang baik, kematangan emosional , dan moral spriritual. Akan tetapi, secara kodrati guru adalah manusia pada umumnya. Guru menjalankan tugas nya sebagai professi serta menjalankan tugasnya sebagai manusia. Oleh karena itu, diperlukan guru yang professional untuk menjalankan tugasnya. Awal mula menjadi guru kelas saya mengalami Culture Shock. Sering sekali rekan kerja menanyakan bagaimana perbandingan antara guru kelas dengan guru mata pelajaran. Dengan segenap pengetahuan yang saya miliki, saya sampaikan bahwa menjadi guru kelas dan mata pelajaran kurang lebih relatif sama dan tidak ada perbedaan yang mencolok dalam hal mengajarkan materi.
Namun memang saya akui ada beberapa perbedaan yang terjadi. Terasa sekali bagaimana perbedaan dari sebelum menjadi guru mata pelajaran kemudian menjadi guru kelas. Jam kerja yang relatif panjang dan intensitas bertemu dengan peserta didik lebih banyak dibandingkan dengan guru mata pelajaran. Namun dengan penuh tanggungjawab saya laksanakan tugas sesuai tugas dan fungsi pokok sebagai guru profesional . Dalam peraturan pemerintah No 19 tahun 2005 tentang standar pendidikan nasional, bahwa guru professional harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Pertama, kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan pembalajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, kompetensi kepribadian dimana guru harus memiliki kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berakhlak mulia, dan berwibawa, dan dapat menjadi teladan bagi siswa. Ketiga, kompetensi sosial merupakan kemampuan yang harus dimiliki guru untuk berkomunikasi dan bergaul saecara efektif dengan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa dan masyarakat sekitar. Keempat, kompetensi profesional dimana penguasaan materi secara luas dan mendalam yang harus dikuasai guru dan substansi kelimuan yang menaungi materi, serta penguasaan terhadap struktur metodologi keilmuan.
Mengacu dari empat kompetensi tersebut dapat kita simpulkan bahwa guru memiliki tangungjawab yang besar dalam profesinya sebagai guru. Guru profesional harus memiliki empat kompetensi tersebut. Tidak hanya guru, setiap profesi dan pekerjaan memiliki tuntutan profesi masing-masing sesuai dengan keahliannya. Namun perlu kita sadari. Guru adalah manusia biasa. Guru bisa mengalami sakit. Guru bisa mengalami lelah. Guru bisa mengalami ganguan baik secara psikis maupun fisik. Sebagaimana profesi yang lain. Namun seringkali atas nama profesionalisme, guru harus memaksakan diri untuk tetap bekerja profesioanl dan bertahan dengan segenap jiwa dan raga meskipun berdampak negatif terhadap kesehatan mentalnya. Dengan jiwa besar nya guru labih sering “ Krasa ning ora di rasa”yang saya terjemahkan terasa namun tidak dirasakan. Dalam satu waktu pasti akan ada masa titik terendah dalam proses kehidupan. Hal ini wajar dialami oleh setiap individu. Akan tetapi dengan prinsip“krasa ning ora di rasa” itulah yang menjadikan guru masih tetap kokoh berdiri meskipun mental nya pun juga tercabik-cabik. Atas nama professionalime dan tanggungjawab. Padahal guru juga berhak merasakan lelah, sedih, risau, kecewa dan berhak untuk mengungkapkan itu dan mendapatkan penaganan secara medis. Guru berhak untuk sehat jiwa dan raganya.
Dalam buku karya Jacquie Turnibul (2013 ) bahwa asosiasi guru di Inggris menyatakan bahwa guru memiliki tingkat stress paling tinggi seiring adanya tuntutan pekerjaan yang cukup tinggi. Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa guru merupakan profesi dengan tingkat stress paling tinggi dibandingkan dengan profesi yang lain. Seiring perkembangan teknologi yang semakin kompleks, menjadi pendukung pula tingkat stress yang dialami olah guru. Dilaporkan terdapat 41,5 persen guru di Inggris mengungkapkan bahwa mereka sangat tertekan dengan tuntutan pekerjaan(2013). Tidak menutup kemungkinan dengan profesi yang sama, itu juga dialami oleh guru-guru di Indonesia.
Hasil penelitian Nasib Tua Lumban Gaol (2021) dalam artikel jurnalnya menyebutkan ada banyak faktor yang menyebabkan tingkat stress guru cukup tinggi. Hal itu diakibatkan oleh perilaku buruk siswa, praktik kepemimpinan yang tidak sesuai, kurangnya dukungan rekan kerja, tuntutan pekerjaan yang begitu banyak, kekurangan gaji, situasi pekerjaan yang kurang baik, dan perubahan kebijakan yang begitu cepat. Dari penelitian itu dapat kita lihat bahwa kesehatan mental guru itu sangatlah penting. Dengan mental yang baik akan berdampak baik pula dalam proses pembalajaran tentunya berbanding lurus terhadap mutu pendidikan. Sering kali tidak ada yang meperhatikan bagaimana nasib kesehatan mental guru. Guru harus berjuang untuk menjaga kesehatan mental peserta didik dan kesehatan mental guru itu sendiri. Tidak sedikit guru yang harus berjuang, menjaga, mempertahankan mentalnya agar tetap sehat. Maka perlu sekali untuk memberikan fasilitas untuk menunjang dalam dalam upaya peningkatan kesehatan mental guru.
Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental guru diantaranya. Pertama, pemberian fasislitas konseling atau professional psikolog untuk para guru. Selama ini guru terutama di sekolah dasar memiliki peran ganda. Sebagai orang tua, sebagi pendidik, sebagai konselor, sebagai teman, sebagi ibu sebagai ayah. Namun terlepas dari peran tersebut satu hal yang dikesampingkan yakni peran guru sebagai manusia. Guru berhak untuk menjadi manusia yang dimanusiakan dimana juga diperlakukan sebagaimana mestinya. Kedua, berikan kejujuran terhadap diri sendiri. Suatu ketika guru perlu mendapatkan kesempatan jujru terhadap dirinya sendiri. Hal ini guru perlu jujur dan mengakui terhadap diri sendiri apabila sedang tidak baik-baik saja tanpa harus ada pengahalang tuntutan profesi. Karena kita dapat menutup rasa sakit dengan atas nama profesionalime. Ketiga, pemberian self reward. Menjadi guru bukanlah profesi yang mudah sehingga sebagai salah satu bentuk untuk menjaga kesehatan mental adalah dengan memberikan apresiasi terhadap kinerja yang telah dilaksanakan. Keempat, qualitytime dalam waktu tertentu guru akan menemui titik jenuh dalam mengajar. Ketika titik jenuh ini muncul maka diperlukan qualitytime untuk diri sendiri. Dapat dilakukan dengan me time . Ini penting sebagai upaya memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Kelima, optimalisasi peran pengawas sekolah dalam memberikan dampingan terhadap sekolah. Hingga saat ini pengawas sekolah masih dianggap memliki herarki yang nyata antara guru, kepala sekolah, dan pengawas. Kita ketahui bahwa sesunguhnya kepala sekolah adalah guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai pimpinan. Namun paradigma yang terjadi dilapangan adalah pengawas sekolah merupakan sosok atasan yang siap untuk mengevaluasi kinerja kepala sekolah yang mana tugasnya dibebankan terhadap guru. Pengwas tidak hanya berperan sebagai peninjau namun juga sebagi kolaborator yang terjun secara langusung dilapangan sehingga tidak ada sekat antara pengawas dan guru. Keenam, menanamkan mental growth mindsite . Dengan pemikiran yang berkembang maka hal-hal yang bersifat dinamis bisa disikapi secara bijaksana. Segala sesuatu dapat dilaksanakan secara kolaboratif. Akhirnya apabila upaya-upaya tersebut dapat diterapakan maka akan dapat menguragi tingkat stress terhadap guru. Apabila tingkat stress bekurang tentunya kesehatan mental guru akan tertap terjaga. Sehingga terciptalah manusia yang sehat jiwa nya dan raganya. Sebagaimana tujuan dari dilaksanakan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagaiaan yang setinggi-tingginya. Guru merupakan bagian dari anggota masyarakat yang sudah sampai pada puncak sehingga berhak mencapai keselamatan, baik keselamatan fisik maupun keselamatan mental.
Penyunting: Putra