Saya terlahir dari keluarga yang sederhana di tahun 1971 di salahsatu kota banjir di Jawa Timur yaitu Bojonegoro. Setengah abad lebih kini usiaku masih membekas bagaimana kerasnya menjalani hidup dan kehidupanku selama ini. Lewat tulisan ini saya ingin berbagi dan menginspirasi kaum mileneal yang tentunya sangat jauh berbeda dengan keberadaan kami melewati pendidikan kala itu. Jangankan mengenal yang namanya internet, mengetahui komputer itupun ketika kami berada di bangku SPG(Sekolah Pendidikan Guru),itupun karena mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang ada. Sementara anak muda jaman sekarang melek IT udah terlihat begitu mereka sudah mengenal dan dapat memegang benda-benda di sekelilingnya. Jangan meratapi masa lalu, namun marilah belajar terus untuk mengarungi masa kini yang mengharuskan kita belajar beberapa hal agar tidak gaptek dan mampu berdaya saing dengan sekeliling kita. Semangat inilah yang membuatku yang terbilang jadul dapat tetap bergerak dan menggerakkan di era milenial ini.
Tahun 1991 adalah tahun pertamaku untuk lepas dari dunia bangku sekolah SPG kala itu. Hanya satu tujuan hidupku saat itu adalah merantau ke Kalimantan untuk dapat membantu menopang ekonomi keluargaku. Ayah dan ibu yang sudah renta dan masih menghidupi ketiga adikku dan seorang kakakku kala itu. Karena orientasinya adalah mencari penghasilan, maka saat itu ilmu keguruan dan kependidikan yang aku miliki tidak langsung dapat saya terapkan di dunia pendidikan. Dari tahun ke tahun saya bergelut dengan mesin-mesin industri, sampai pada tahun 1997 saya berada disalah satu lingkungan HTI(Hutan Tanaman Industri) di pedalaman Kalimantan Timur kembali tergugah nurani kependidikan dan keguruanku menyaksikan anak-anak karyawan yang tidak bisa sekolah jika air sungai Mahakam pasang, karena jarak dari camp dengan sekolah lumayan agak jauh dan melewati sungai-sungai yang masih rawan hewan melata seperti ular, biawak, bahkan buaya. Tahun itu saya ajukan proposal ke Direksi PT Ratah Timber Company untuk dibuatkan lokal yang dapat saya fungsikan sebagai gedung sekolah. Alhamdulillah disetujui dan sayapun di tahun itu mulai mempraktikkan ilmu kependidikan yang pernah saya enyam di Jawa sebelumnya. Bukan tanpa rintangan, ada saja beberapa hal yang menghalangi perjalanan saya membesarkan sekolah itu.
Saat ini sekolah itu sudah menjadi Sekolah Negeri di pedalaman Kalimantan Timur tepatnya di Desa Mamahak Teboq Kabupaten Kutai Barat. Kalau bercerita tentang tantangan dalam mengembangkan sekolah disana kala itu sepertinya tidak akan ada habisnya jika harus saya tuliskan. Namun saya hanya ingin menginspirasi teman-teman bahwa keberadaan lembaga pendidikan di pedalaman sekalipun jika dilaksanakan dengan tekad dan managemen yang bagus ternyata dapat menghasilkan output berupa lulusan yang berkualitas. Pernah suatu ketika mantan murid saya harus mengikuti orangtuanya pindah tugas ke kota. Di tempat baru dan sekolah baru, guru-gurunya awalnya tidak percaya kalau murid ini adalah pindahan dari sekolah di pedalaman Kalimantan Timur. Namun dengan penjelasan yang disampaikan orangtuanya, akhirnya para guru di kota menyadari bahwa terpencil bukan jaminan mutunya kurang bagus. Tahun 2002 saya harus meninggalkan SD yang saya rintis dan pulang ke Jawa, dan menetap di Kabupaten Kediri.
Tahun 2004 saya ikut tes penerimaan Guru Bantu, namun awalnya ditolak oleh panitia gegara tidak memiliki surat mengajar aktif (surat sukwan) di Kabupaten Kediri. Dengan memberanikan diri berbekal tekad kuat untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan Kabupaten Kediri, akhirnya argumentasi saya diterima dan boleh mengikuti Tes Guru Bantu. Januari 2005 saya mengawali masuk dunia pendidikan di Kabupaten Kediri, dan sadar dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, sayapun mengambil kuliah jurusan sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Budi Utomo Malang. Tahun 2006 tatkala Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) diberlakukan, saya adalah salahsatu guru SD yang lulus menjadi Narasumber KTSP pada ToT Narasumber KTSP di waktu itu, dan status saya masih GB atau Guru Bantu. Belum genap setahun kala itu ikut tes CPNS dan lolos dengan nilai baik. Namun PP tentang GB ada pasal yang berbunyi GB yang belum genap 1 tahun belum bisa beralih menjadi CPNS. Akhirnya dengan berbesar hati harus menerima keadaan, dinyatakan lolos CPNS namun tidak bisa menerima SK. Dan ini saya jalani kurang lebih setahun setengah, sampai akhirnya ketika PP tentang GB direvisi maka NIP keluar dan SK bisa diterimakan.
Tahun 2012 ketika ada penjaringan Sertifikasi Guru lewat jalur PLPG, saya bersama beberapa guru dari Kabupaten Kediri, Nganjuk, Tulungagung jadi satu di bawah salahsatu Universitas yang ditunjuk untuk menjadi penyelenggara PLPG waktu itu. Saya termasuk salahsatu dari sekian puluh guru yang mengikuti kegiatan itu kurang lebih 10 hari. Dan saya termasuk yang sering dijadikan percontohan oleh dosen pembimbing kegiatan PLPG waktu itu. Lagi-lagi ada saja ujian yang saya alami. Bagaimana tidak kaget dan galau ketika diumumkan secara online ternyata nama saya berada pada deretan yang tidak lulus. Teman-teman pada tidak percaya, saya tetap bersabar dan berbesar hati. Saya mencoba mencari tahu alasan saya dinyatakan tidak lulus PLPG waktu itu. Sampai akhirnya saya dapat jawaban yang membuat hati dan diri saya menjadi berani dan kuat hadapi kondisi itu. Jawaban dari dosen pembimbing yang memberikan penilaian kala itu: “Pak Rindang gak mungkin tidak lulus. Nilai panjenengan lho selama ini belum pernah ada.” Jawaban ini yang menguatkan saya untuk ‘demo’ sendiri ke Universitas Penyelenggara PLPG. Sehari dua hari gak ditanggapi.
Hari ketiga saya datang lagi dan berkata agak keras kepada personil disana kala itu. Ternyata dua hari sebelumnya gak mau menanggapi karena mereka masih merencanakan jawaban yang tepat menghadapi ‘demo’ yang saya lakukan. Hari ketiga saya meminta membuka manual penilaian yang ada di buku catatan panitia, dan akhirnya terjawab pernyataan dosen pembimbing bahwa nilai saya belum pernah ada sebelumnya. Rekap nilai saya saat itu adalah 99,25 dan pembulatan keatas harusnya 100 ternyata oleh panitia hanya dientry 10. Artinya nilai saya kalah dengan yang nilainya 50 atau 60, sehingga dinyatakan tidak lulus. Sehari setelah peristiwa itu nama saya hilang dari pengumuman online yang dinyatakan tidak lulus. Dan saya pun bersabar dan berbesar hati menerima perlakuan ini. Pasti ada hikmah dibalik perjalanan ini.
Tahun 2014 saya sudah mulai bergerak dan menggerakkan teman-teman guru lebih banyak lagi. Event-event nasional Kemdikbud, LPMP dan P4TK sudah banyak yang saya ikuti, sampai dapat julukan guru SD bergelar SH, karena seringnya “Saba Hotel” yaitu sering nginap di hotel yang difasilitasi penyelenggara Diklat dan Workshop. Yang lebih membanggakan bagi kami adalah karena hampir setiap tahun di setiap event nasional selalu ada anggota Komunitas Guru Kediri Lagi yang saya gawangi dengan beberapa teman guru di Kabupaten Kediri mampu menjadi finalis pada kegiatan lomba-lomba itu, bahkan pernah beberapa kali jumlah peserta terbanyak yang masuk menjadi nominator juara. Dan inilah yang terus menjadikan saya terus bergerak dan menggerakkan teman-teman sekeliling saya, meski tergolong guru jadul namun masih eksist untuk update dan upgrade kompetensi diri baik di tingkat Kabupaten, Provinsi, maupun Nasional.
Kegiatan di event nasional membuat guru jadul ini juga dikenal oleh beberapa guru dari beberapa penjuru Nusantara, baik hanya sebatas teman maupun menjadi sahabat bahkan sudah kayak saudara yang siap berbagi dan menginspirasi serta melakukan kolaborasi dengan teman guru lainnya. Kecakapan hidup abad 21 wajib dimiliki oleh guru Indonesia, agar mampu berdayasaing dan berhasilguna di era Merdeka Belajar dan Merdeka Mengajar saat ini. Sudah terbukti dan teruji bahwa; Critical thinking and problem solving, Creative, Comunicative dan Collaborative jadi bekal seorang guru jadul yang selalu bergerak dan menggerakkan ini. Semoga menginspirasi.