Untuk waktu yang lama, sistem pendidikan kita dibangun di atas asumsi bahwa belajar adalah proses linier. Guru menyampaikan materi, siswa menerima, lalu diuji. Aktivitas belajar ditempatkan dalam ruang dan waktu yang sangat terbatas: jam pelajaran, kelas fisik, dan buku pelajaran. Di bawah paradigma ini, siswa dianggap sebagai “penadah” yang pasif, menunggu informasi datang dari atas, dari otoritas yang disebut guru.
Paradigma Lama yang Mulai Usang
Paradigma lama ini tidak hanya mengatur relasi antara guru dan murid, tetapi juga membentuk cara kita memaknai keberhasilan belajar. Keberhasilan itu diukur dari nilai ujian, hafalan rumus, atau kemampuan mengulang materi. Sementara pertanyaan kritis, kreativitas, atau refleksi personal dianggap gangguan atau tidak terukur. Guru yang baik adalah yang mampu mengendalikan kelas, menyelesaikan silabus, dan menjaga keteraturan. Siswa yang baik adalah yang duduk diam, mendengarkan, dan patuh.
Model belajar seperti ini tidak sepenuhnya salah pada zamannya. Ia dibentuk oleh kondisi sosial dan teknologi yang belum menyediakan alternatif lain. Namun, tetap saja, model ini memarjinalkan potensi belajar yang lebih luas. Ia menutup ruang bagi keragaman cara berpikir dan belajar. Ia menyepelekan proses personal yang terjadi di dalam benak siswa. Yang lebih berbahaya, ia melanggengkan gagasan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang hanya bisa diberikan, bukan dibangun sendiri.
Kita tahu bahwa dunia di luar sekolah tidak lagi seperti itu. Pengetahuan kini tersedia di mana-mana. Anak-anak dapat belajar dari YouTube, podcast, forum daring, atau komunitas digital. Mereka bisa mencari sendiri, menguji kebenaran informasi, dan bahkan menciptakan konten pembelajaran sendiri. Jika sekolah tidak berubah, maka jarak antara sistem pendidikan dan kenyataan hidup akan semakin lebar. Dan semakin lebar jarak itu, semakin besar potensi alienasi yang dialami siswa.
Maka menjadi sangat mendesak untuk mengkaji ulang asumsi paling dasar dalam pendidikan: apa itu belajar? Jika kita masih memandang belajar sebagai proses satu arah, maka seluruh sistem akan terus tertinggal dari kenyataan. Kita tidak sedang butuh metode baru dalam sistem lama. Kita butuh kerangka berpikir baru yang memampukan kita melihat belajar sebagai proses yang hidup, cair, dan bermakna.
Belajar dalam Dunia yang Multi-Arah dan Personal
Di era sekarang, belajar tidak lagi bersifat tunggal dan statis. Belajar telah menjadi proses yang bersifat multi-arah. Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama teman, dari media sosial, dari komunitas, dan bahkan dari pengalaman hidup mereka sendiri. Mereka bisa mengakses materi pembelajaran dari berbagai platform digital. Mereka bisa menonton, berdiskusi, membuat, dan membagikan ulang pengetahuan.
Fenomena ini menggeser pusat belajar dari ruang kelas ke ruang kehidupan. Ruang kelas tetap penting, tetapi tidak lagi eksklusif. Belajar kini berlangsung secara asinkron—tidak tergantung pada jadwal—dan terpersonalisasi sesuai minat serta kecepatan masing-masing siswa. Model ini memberikan kebebasan sekaligus tanggung jawab kepada siswa untuk mengelola proses belajarnya sendiri.
Namun, transformasi ini juga membawa tantangan baru. Tidak semua siswa siap belajar mandiri. Tidak semua mampu memilah informasi yang kredibel. Tidak semua tahu bagaimana cara mengelola waktu dan membangun strategi belajar yang efektif. Di sinilah peran guru menjadi sangat penting, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Guru bukan lagi “pengatur” kelas, melainkan “pendamping” perjalanan.
Guru harus mampu memahami bahwa belajar adalah proses membangun makna, bukan menghafal. Guru harus menciptakan ruang-ruang diskusi, bukan hanya penyampaian materi. Guru harus mampu memfasilitasi keragaman gaya belajar, bukan menyeragamkan siswa. Pendekatan seperti ini menuntut fleksibilitas, empati, dan kesediaan untuk mendengarkan siswa sebagai subjek, bukan objek.
Paradigma belajar yang baru menuntut kita untuk percaya pada kemampuan siswa. Bahwa mereka mampu mengelola pembelajarannya jika diberi kepercayaan, bimbingan, dan ruang untuk tumbuh. Ini bukan berarti guru kehilangan otoritas, tetapi otoritas itu kini bersifat kolaboratif, bukan koersif. Guru menjadi navigator yang menuntun, bukan supir yang menentukan arah sendirian.
Guru: Dari Pengajar Menuju Fasilitator dan Mitra Belajar
Transformasi paradigma belajar tidak bisa berjalan tanpa transformasi peran guru. Dalam sistem lama, guru adalah pemilik pengetahuan. Ia bicara, siswa mencatat. Ia menilai, siswa menerima. Tapi dalam paradigma baru, guru harus berubah menjadi fasilitator, pendamping, dan mitra belajar. Peran ini bukan lebih rendah, justru lebih kompleks dan menantang.
Guru kini harus merancang lingkungan belajar yang memungkinkan siswa menemukan sendiri jalannya. Ia harus memahami bahwa setiap anak memiliki latar belakang, cara berpikir, dan cara belajar yang unik. Maka, satu metode tak akan pernah cukup. Guru dituntut untuk berpikir diferensial: merancang strategi belajar yang adaptif terhadap kebutuhan masing-masing siswa.
Tantangan terbesar guru hari ini bukan lagi bagaimana menguasai materi, tetapi bagaimana memahami manusia. Guru harus mampu membaca kebutuhan siswa, mengenali potensi tersembunyi, dan menciptakan ruang yang aman untuk belajar. Ini membutuhkan keterampilan sosial, emosional, dan reflektif yang tinggi. Guru bukan hanya profesional, tapi juga pemelajar sepanjang hayat.
Perubahan ini sering tidak mudah diterima. Banyak guru merasa kehilangan otoritas. Banyak yang cemas dengan teknologi yang terasa asing. Banyak pula yang dibebani administrasi, sehingga tidak punya waktu untuk mendalami peran barunya. Oleh karena itu, perubahan paradigma belajar harus dibarengi dengan dukungan struktural: pelatihan berkelanjutan, komunitas belajar guru, dan kebijakan yang memberdayakan.
Namun satu hal yang perlu ditegaskan: guru tetap penting. Justru di era banjir informasi, peran guru sebagai penyaring dan penuntun menjadi lebih vital. Tapi bukan guru yang memonopoli, melainkan guru yang memfasilitasi. Bukan guru yang memberi jawaban, melainkan guru yang mengajukan pertanyaan bermakna. Di sinilah wajah baru pendidikan harus dibangun.
Teknologi Pendidikan sebagai Kaca Pembesar Perubahan
Perubahan paradigma belajar ini bukan datang tiba-tiba. Dalam dunia teknologi pendidikan, perubahan seperti ini sudah lama diprediksi. Teknologi pendidikan tidak hanya bicara alat, tetapi menyajikan pendekatan sistemik dan analitis dalam memahami pembelajaran. Ia menyatukan unsur psikologi belajar, desain instruksional, media, dan manajemen pembelajaran dalam satu kerangka terpadu.
Sayangnya, teknologi pendidikan di banyak sekolah masih dipahami secara sempit. Guru-guru kerap menganggapnya sebatas aplikasi atau perangkat. Padahal, inti dari teknologi pendidikan adalah bagaimana kita mendesain pembelajaran secara holistik: memahami proses belajar dari awal hingga akhir, dari rancangan hingga evaluasi. Dalam kerangka ini, guru menjadi arsitek, bukan operator.
Teknologi pendidikan juga mengajarkan bahwa perubahan dalam belajar adalah hal yang niscaya. Karena itu, ketimbang melawan arus, lebih baik kita membekali guru dengan keterampilan untuk bersinergi. Teknologi tidak akan menggantikan guru, tetapi guru yang tidak memahami perubahan zaman, bisa tergeser oleh sistem yang lebih adaptif.
Namun kita juga tidak bisa menuntut guru berubah sendirian. Harus ada dukungan sistemik: waktu yang cukup untuk refleksi, ruang untuk eksperimen, dan kepemimpinan sekolah yang memberi kepercayaan. Tanpa itu, wacana perubahan hanya akan menjadi jargon, bukan transformasi.
Teknologi pendidikan bukan ujung dari perubahan, melainkan jembatannya. Ia membantu guru membaca zaman, memahami siswa, dan merancang pengalaman belajar yang bermakna. Maka, sinergi antara paradigma baru dan teknologi pendidikan bukan sekadar tambahan, tapi kebutuhan mendesak.
Menggeser Paradigma, Mengubah Masa Depan
Pendidikan tidak bisa terus berjalan dalam cara lama, sementara dunia terus berubah. Paradigma belajar telah bergeser: dari satu arah menjadi banyak arah, dari seragam menjadi personal, dari otoritatif menjadi kolaboratif. Jika kita tidak merespons perubahan ini, maka sistem pendidikan kita akan kehilangan relevansi, dan siswa akan kehilangan makna dalam proses belajar mereka.
Guru tetap menjadi aktor utama dalam perubahan ini. Tapi bukan sebagai pemilik tunggal ilmu, melainkan sebagai fasilitator pertumbuhan. Perubahan peran ini menuntut cara pandang baru, keterampilan baru, dan keberanian untuk terus belajar. Ini bukan pelemahan profesi guru, justru penguatan dalam bentuk yang lebih kontekstual dan manusiawi.
Kita juga perlu membongkar cara pandang kita sendiri terhadap belajar. Bahwa belajar bukan sekadar nilai, tetapi perjalanan menjadi manusia yang berpikir, merasa, dan bertindak secara sadar. Bahwa belajar bukan soal instruksi, tetapi soal interaksi dan refleksi. Bahwa belajar bukan soal sekolah saja, tetapi tentang hidup itu sendiri.
Dan dalam perjalanan itu, teknologi pendidikan hadir bukan sebagai alat bantu, tapi sebagai kaca pembesar yang memperlihatkan betapa pentingnya pergeseran paradigma ini. Ia menjadi pendukung, bukan pengganti. Ia menjadi penguat, bukan pusat. Tapi tanpanya, kita bisa saja buta terhadap arah perubahan.
Kini saatnya memilih: tetap berada di zona nyaman paradigma lama, atau menjemput masa depan dengan keberanian untuk memahami ulang apa itu belajar. Karena hanya dengan memahami, guru bisa mengajar dengan lebih bermakna.
Zahid Zufar At Thaariq
Peneliti Teknologi Pendidikan
Mahasiswa PhD Curriculum and Instruction, Cukurova University, Turkiye
Penyunting: Putra