Beberapa waktu yang lalu aku kedatangan tamu. Seorang alumni sekolahku bersama ibunya. Anak ini seharusnya sudah kuliah tahun kedua, tetapi sampai saat ini dia belum mau kuliah. Keinginannya hanya satu. Belajar agama ke luar negeri.
“Saya datang mengantarkan Niko, Bu,” sang ibu membuka pembicaraan kami.
“Waah, ada perlu apa nih, Mas Niko?” ujarku penasaran.
“Ini Bu, Niko besok malam mau berangkat.”
“Kemana?”
“Alhamdulillah Bu, akhirnya Niko bisa berangkat ke Mesir.”
“Subhanallah walhamdulillah…”
“Iya, Ustadzah. Saya besok berangkat. Mohon do’a restu,” anak yang dulu terkenal sebagai da’I cilik itu berucap malu-malu.
“Barakallah, Mas Niko. Semoga perjalanan lancar.”
“Iya Bu, Alhamdulillah akhirnya Niko bisa berangkat.”
“Baik-baik di sana ya, Mas. Semoga Allah memudhakan segala urusan Mas Niko di sana. Ustadzah titip do’a, semoga anak Ustadzah ada yang bias menuntut ilmu di sana juga.”
“Terima kasih, ustadzah. Insya Allah.”
Ya, aku sedikit banyak mengikuti perkembangan muridku yang satu ini. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi ustadz, ulama yang mengajarkan agama. Lulus dari SDIT ini dia melanjutkan ke MTsN di kotaku. Setelah itu dia menghabiskan masa SMA di sebuah pondok pesantren di Pacet. Lulus SMA tahun 2019, dia sempat mengatakan padaku sudah mendaftar dan diterima di Sudan, tinggal menunggu panggilan saja.
Tetapi tampaknya Allah masih ingin menguji kesungguhan hatinya. Beasiswa ke Sudan batal, tak tahu karena apa. Ibunya sempat bercerita bahwa Niko agak down dengan kejadian ini. Akhirnya dia melanjutkan pendidikan ke sebuah pondok pesantren. Selama itu ternyata perjuangannya untuk mendapatkan beasiswa ke Timur Tengah tidak pernah berhenti. Dia pupuk mimpinya sambil terus berusaha. Alhamdulillah Allah menjawab do’a-do’anya sekarang.
Tak terkira haru rasa hatiku. Akhirnya tercapai keinginan dan cita-citanya untuk menuntut ilmu agama di Mesir, di universitas tertua di dunia. Al Azhar. Yang membuatku lebih terharu lagi adalah, dia mengkhususkan datang ke rumahku untuk meminta do’a restu. Aku merasa menjadi orang yang istimewa di matanya, sehingga dia perlu mendatangiku secara khusus.
Bagiku, momen-momen seperti inilah yang menjadikan seorang guru itu terharu dan bahagia. Saat seorang alumni yang sudah lama meninggalkan sekolah tempatnya belajar masih mengingat gurunya dengan baik. Bahkan masih menyertakan gurunya dalam peristiwa penting yang sedang dia alami. Hal ini mengalahkan rasa bahagia ketika muridnya menang dalam sebuah perlombaan.
Bagiku pribadi, kebahagiaan saat menang lomba adalah kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan saat didatangi murid untuk minta do’a restu ini adalah kebahagiaan yang hakiki. Itu artinya aku tetap ada di dalam hatinya meski dia telah bertahun-tahun meninggalkan bangku sekolah tempatnya belajar bersamaku.
Teriring do’a untukmu Mas Niko, semoga Allah melancarkan perjalananmu, memudahkan segala urusanmu, dan memberkahi ilmu yang kau dapatkan dengan cara memuliakan gurumu. Duh, air mataku menitik lagi karena terharu.